Konten dari Pengguna

Konteks Pendidikan: Antara Disiplin Diri dan Budaya Santai

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
14 Mei 2025 9:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Belajar serius tetapi tetap santai, dan tidak menjadi tegang, sumber: Dok. Strada
zoom-in-whitePerbesar
Belajar serius tetapi tetap santai, dan tidak menjadi tegang, sumber: Dok. Strada
ADVERTISEMENT
Pada periode 2003 hingga 2005, penulis pernah menjalankan tugas sekolah sebagai Sub-Moderator dengan tanggung jawab mengawasi kedisiplinan para murid.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan aturan tata tertib dan janji pelajar, penulis menyadari bahwa menanamkan disiplin pada peserta didik memiliki kerumitan tersendiri, terutama dalam memenuhi harapan sekolah dan orang tua. Penulis juga memahami bahwa tantangan tersebut bukan melulu terjadi di tingkat lokal, melainkan merupakan permasalahan berskala nasional.
Membangun sistem pendidikan berkualitas di Indonesia bukanlah pekerjaan ringan. Selain persoalan teknis seperti infrastruktur, kurikulum, dan kualitas guru, tantangan utama justru datang dari akar budaya masyarakat itu sendiri.
Di negeri yang kaya akan keindahan alam dan keragaman budaya ini, pendidikan seringkali tersandung oleh gaya hidup santai yang mendarah daging dalam kehidupan bermasyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Lastminute.com, sebuah perusahaan agen perjalanan dan rekreasi online, bahkan menobatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan warga paling santai di dunia.
ADVERTISEMENT
Sebuah fakta yang pada satu sisi menunjukkan karakter masyarakat damai dan penuh syukur, namun di sisi lain justru menjadi tantangan tersendiri dalam membangun ekosistem pendidikan yang membutuhkan disiplin, ketekunan, dan kerja keras.
Belajar menuntut disiplin diri yang kuat. Proses pembelajaran sejati terkait erat dengan perjuangan panjang, penuh konsistensi, dan semangat terus memperbaiki diri. Namun hal ini tampak kontras dengan kecenderungan sebagian besar masyarakat Indonesia yang terbiasa menjalani hidup dengan santai.
Dukungan alam nan subur, iklim tropis yang ramah, serta budaya hidup "apa adanya" menjadikan sebagian orang enggan keluar dari zona nyaman. Tidak ingin hidup susah, cukup asal bisa makan dan hidup tenang, menjadi prinsip hidup yang umum dijumpai.
Kondisi ini menghasilkan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan. Dalam suasana budaya yang cenderung menghindari tekanan dan mengedepankan kenyamanan, menanamkan nilai disiplin dan etos kerja kepada peserta didik menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah.
ADVERTISEMENT
Apalagi ketika sikap santai ini juga menjalar ke dalam sistem pendidikan itu sendiri, baik dalam perilaku guru, kebijakan sekolah, maupun sikap orang tua.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak sekolah saat ini cenderung mengkondisikan murid dalam kenyamanan semu. Guru enggan menegur murid yang melanggar disiplin karena takut dicap keras atau mendapatkan tekanan dari orang tua. Sementara murid dibiarkan bergerak sesuai keinginan tanpa arahan tegas.
Ironisnya, ketika ada upaya pendisiplinan dari guru, tak jarang justru orang tua yang paling keras bereaksi — bukan memperbaiki perilaku anak, tetapi untuk "melindungi" anak dari hal-hal yang menurut mereka menyakiti.
Sekolah kemudian berubah menjadi tempat yang lebih mengedepankan ketenangan daripada proses pendewasaan karakter. Padahal, mendidik bukan hanya soal mengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk mental dan karakter murid agar siap menghadapi realitas kehidupan yang penuh tantangan.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini diperparah oleh kelemahan pengawasan terhadap aktivitas anak di luar sekolah. Tidak sedikit anak-anak yang setelah pulang sekolah justru tenggelam dalam dunia gadget. Media sosial, gim online, dan konten hiburan menjadi pelarian yang menyita waktu dan menggerus semangat belajar.
Sayangnya, banyak orang tua tidak peduli terhadap hal ini. Alih-alih membatasi penggunaan gadget, mereka justru menggunakan perangkat tersebut sebagai "pengasuh digital" yang membiarkan anaknya asyik sendiri, tanpa arah dan tujuan.
Dalam bukunya, Harry Wong (2009), seorang pendidik ternama asal Amerika, menegaskan pentingnya sistem prosedural yang kuat dalam dunia pendidikan.
Sistem bukan hanya soal aturan yang kaku, tetapi juga mencakup konsistensi, ekspektasi, dan budaya sekolah yang mendukung keberhasilan murid. Tanpa sistem kuat, sekolah akan kehilangan arah dan gagal menjadi institusi yang mampu membentuk karakter dan kecerdasan anak.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, pendidikan yang baik perlu ditopang oleh sistem yang menyeimbangkan antara kedisiplinan dan empati. Tidak berarti harus keras dan menekan, tetapi cukup tegas dan konsisten dalam menerapkan nilai-nilai yang mendidik. Ketekunan harus dihargai, keberhasilan harus dicapai dengan usaha, dan kesalahan harus dijadikan pelajaran — bukan ditutupi demi kenyamanan.
Perlu diakui bahwa gaya hidup santai memiliki nilai positif tertentu. Hidup santai bisa menumbuhkan rasa syukur, menghindari stres berlebih, dan memperkuat ikatan sosial.
Akan tetapi dalam konteks pendidikan, kesantaian perlu ditempatkan pada tempatnya. Kesantaian bisa hadir sebagai jeda di tengah kesibukan belajar, bukan menjadi gaya hidup utama yang menjauhkan anak dari kerja keras dan cerdas.
Kesantaian yang terlalu dominan justru akan mematikan daya juang. Ketika anak terbiasa hidup dalam kenyamanan, mereka akan sulit menghadapi realitas keras di luar tembok sekolah.
ADVERTISEMENT
Mereka tumbuh dengan ekspektasi bahwa hidup akan selalu menyenangkan, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Dunia kerja, persaingan global, dan tantangan zaman menuntut ketangguhan mental, bukan semata pengetahuan.
Mengubah budaya bukan perkara instan. Diperlukan kolaborasi semua pihak — pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang berpihak pada pembentukan karakter, bukan hanya soal nilai akademik.
Sekolah mempunyai keberanian membuat sistem yang konsisten dan menumbuhkan budaya belajar berkualitas. Guru perlu menjadi teladan dalam disiplin dan integritas. Orang tua pun perlu berperan aktif dalam pengawasan dan pendidikan karakter anak di rumah.
Pendidikan di Indonesia masih memiliki harapan besar. Namun harapan itu hanya akan menjadi kenyataan jika kita semua bersedia keluar dari zona nyaman dan mulai membangun budaya belajar yang sehat.
ADVERTISEMENT
Hidup santai tidak perlu dihapus, tetapi perlu diimbangi dengan semangat kerja keras, cerdas dan tekun. Karena pendidikan sejati bukan merupakan jalan tol mulus, melainkan rute jalur kehidupan berliku yang menuntut perjuangan, komitmen, dan disiplin diri.