Melewati Tantangan: Pendidikan Humanis dalam Visi Harry S. Broudy

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Mahasiswa Doktoral Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
Konten dari Pengguna
18 April 2024 9:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi salah satu model dinamika siswa di ruang kelas, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi salah satu model dinamika siswa di ruang kelas, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam visi Harry S. Broudy, pendidikan humanis menjadi jalan guna melewati tantangan-tantangan kritis dalam sistem pendidikan. Broudy (1973) mengidentifikasi kebutuhan mendesak untuk mengatasi masalah penindasan dan tekanan konformitas di sekolah, khususnya terhadap siswa dari latar belakang yang rentan.
ADVERTISEMENT
Broudy berpendapat bahwa pendidikan humanis harus mengutamakan kesejahteraan emosional, pengembangan identitas, dan hubungan sosial siswa, sambil menekankan kebebasan dari tekanan-tekanan yang menghambat pertumbuhan individu. Dalam pandangannya, humanisme dalam pendidikan bukan hanya tentang akademik, tetapi juga tentang membentuk individu otonom dan sadar diri dalam masyarakat yang terus berkembang.
Dalam artikel berjudul "Humanism in Education," Broudy menggali lebih dalam tentang kritik terhadap pendidikan umum di Amerika dan mempertimbangkan peran humanisme dalam transformasi pendidikan. Sebagai Profesor Filsafat Pendidikan di University of Illinois di Urbana-Champaign, Broudy merenungkan argumen tentang ketidakmanusiaan di sekolah, khususnya terhadap anak-anak dari latar belakang ekonomi yang rentan.
Broudy (1973) mengakui keberadaan tudingan penindasan dalam pendidikan dan menekankan perlunya penilaian objektif terhadap situasi di kelas. Dia mencatat bahwa tudingan penindasan ini sering kali berwujud psikologis, bukan hanya fisik, dan menyoroti pentingnya memahami nuansa tekanan psikologis yang mungkin dihadapi siswa.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Broudy mempertimbangkan tuntutan akan humanisme dalam pendidikan, dengan menekankan pentingnya kebebasan dari tekanan konformitas dan aturan yang menghambat. Dia menghubungkan permintaan ini dengan gerakan pemberontakan di akhir tahun enam puluhan, di mana generasi muda berusaha mencari kebebasan dari norma-norma tradisional dan mengadvokasi perubahan dalam tata cara berpakaian, pandangan tentang narkoba, sex education, dan otonomi orang muda.
Dalam perspektif akademik, Broudy menyoroti perkembangan kelas terbuka dan sekolah alternatif, serta pergeseran dari pendekatan disiplin dan evaluasi tradisional. Dia berpendapat bahwa gerakan pemberontakan telah memberikan siswa lebih banyak suara dalam menentukan perilaku sekolah dan membentuk pendidikan mereka sendiri.
Humanisme dalam pendidikan, menurut Broudy, mengedepankan kesejahteraan emosional, pengembangan identitas, dan hubungan sosial, yang mengurangi tekanan pada pembelajaran akademik formal.
ADVERTISEMENT
Broudy juga mengeksplorasi sejarah pendidikan yang tidak populer di kalangan remaja dan upaya untuk membuat pendidikan lebih menarik dan relevan. Dia mengidentifikasi ketidaknyamanan dalam pendidikan pada struktur formal tugas pembelajaran di sekolah, yang sering kali tidak sesuai dengan dinamika kehidupan nyata dan tidak terorganisir.
Artikel ini juga membahas konsep penindasan dalam berbagai bentuk tekanan, mulai dari ketaatan terhadap aturan berpakaian hingga kesesuaian dengan nilai-nilai kelas menengah. Broudy berargumen bahwa humanisme dalam pendidikan berarti mencari kebebasan dari tekanan-tekanan ini, sejalan dengan aspirasi generasi muda yang memberontak.
Ilustrasi suasana aktif dan gembira di ruang kelas, sumber: Pexels
Selanjutnya, Broudy membandingkan antara humanisme klasik dan humanisme baru yang muncul di akhir abad kedua puluh. Humanisme baru, menurut Broudy, menggabungkan elemen romantis dan populis, dengan fokus pada hubungan antarmanusia, identitas, dan penghapusan hambatan. Gerakan ini menentang elitisme yang sering dikaitkan dengan humanisme klasik dan mendukung pendekatan pendidikan lebih egaliter.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks tantangan dan peluang dalam mencapai otentisitas individu di era teknologi maju, Broudy berpendapat bahwa meskipun humanisme baru telah memperluas kesadaran akan kebutuhan pengembangan diri, pendidikan emosional saja mungkin tidak mencukupi.
Broudy mengusulkan strategi yang memadukan warisan budaya, termasuk humaniora dan seni, sebagai alat mencapai otentisitas individu, membimbing mereka melewati kompleksitas masyarakat modern yang terus berubah.
Sebagai catatan akhir, pendidikan humanis menjadi solusi menghadapi tantangan-tantangan signifikan dalam sistem pendidikan. Menurut Broudy, ada kebutuhan mendesak menangani isu-isu penindasan dan tekanan konformitas di sekolah, terutama terhadap siswa yang berasal dari latar belakang lebih rentan.
Broudy menekankan bahwa pendidikan humanis seharusnya fokus pada kesejahteraan emosional, pengembangan identitas, dan interaksi sosial siswa, sambil menuntut kebebasan dari tekanan-tekanan yang dapat menghambat perkembangan individu.
ADVERTISEMENT
Bagi Broudy, humanisme dalam pendidikan tidak hanya berkaitan dengan aspek akademik, melainkan juga dengan pembentukan individu otonom dan memiliki kesadaran diri di tengah masyarakat yang dinamis.