Konten dari Pengguna

Membaca Buku, Hobi yang Keren

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
10 April 2025 9:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
43
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi remaja yang sedang membaca, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi remaja yang sedang membaca, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun lalu, saya menyaksikan sesuatu yang membuka mata dan hati, yakni seorang murid SMA berbicara dengan penuh semangat tentang matematika, khususnya yang berkaitan dengan aktuaria. Ia menjelaskan konsep-konsep rumit dengan begitu lugas dan percaya diri, seolah-olah ia telah menguasai dunia angka dan risiko yang jarang disentuh oleh anak seusianya.
ADVERTISEMENT
Yang lebih mengagumkan lagi, ia mengaku bahwa sebagian besar pengetahuannya diperoleh secara mandiri—dengan membaca buku, jurnal, dan sumber-sumber daring. Ia menggali literatur dari berbagai bidang, memperkaya pemahaman dan pemikiran dengan bahan-bahan bacaan yang bahkan jarang disentuh murid lain. Saat itulah saya menyadari satu hal penting, yaitu membaca itu ternyata keren, bahkan bisa menjadi jembatan menuju keunggulan intelektual dan karakter yang kuat.
Sosialisasi pentingnya membaca, sumber: Dok. Strada
Sayangnya, dalam keseharian hidup, membaca sering kali dianggap membosankan, ketinggalan zaman, atau kalah menarik dibandingkan hiburan visual seperti media sosial, gim digital, atau video singkat. Anak-anak muda cenderung menghindari bacaan panjang, dan budaya baca terpinggirkan oleh kebiasaan scroll secara instan. Padahal, membaca justru adalah aktivitas yang paling mampu memperluas cakrawala berpikir.
ADVERTISEMENT
Buku—baik fiksi maupun nonfiksi—memberikan ruang refleksi yang tidak ditawarkan oleh media cepat. Dalam diamnya halaman-halaman buku, sesungguhnya ada ruang dialog antara pembaca dan dunia secara lebih luas, ada ruang pertumbuhan pribadi yang tidak bisa tergantikan oleh hal lain. Banyak pakar pendidikan dan psikologi menyatakan bahwa membaca bukan sekadar sarana memperoleh informasi, melainkan latihan memperkuat konsentrasi, empati, serta keterampilan analitis dan kritis.
Setiap kali kita membuka sebuah buku, kita sesungguhnya sedang membuka jendela ke dunia yang baru. Imajinasi kita dipicu oleh cerita, ide, atau gagasan yang ada di dalamnya. Dengan membaca, kita dapat mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah didatangi, memahami pengalaman orang-orang dari latar belakang berbeda, dan membayangkan masa depan yang belum dijalani.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit tokoh dunia—ilmuwan, penulis, politisi, atau pemimpin perubahan sosial—yang mengakui bahwa buku-buku yang dibaca di masa muda sangat membentuk cara pandang dan jalan hidup mereka. Kemampuan berimajinasi yang dibangun melalui bacaan menjadi kekuatan sangat penting, terutama dalam dunia yang terus berubah dan membutuhkan kreativitas tinggi.
Selain memperkaya imajinasi, membaca juga melatih orang berpikir kritis dan sistematis. Dalam era informasi yang begitu padat seperti sekarang, di mana hoaks dan disinformasi menyebar dengan mudah, membaca dari sumber kredibel menjadi sebuah kebutuhan. Ketika kita terbiasa membaca tulisan analitis atau argumentatif, kita diajak membandingkan berbagai pendapat, memilah antara fakta dan opini, serta membangun kesimpulan berdasarkan data, bukan asumsi. Aktivitas demikian merupakan keterampilan hidup yang tak ternilai.
Membaca dengan cara menyenangkan dapat meningkatkan kualitas berpikir, sumber: Pexels.
Orang yang rajin membaca akan lebih tahan terhadap manipulasi, tidak mudah percaya pada isu viral, dan cenderung mencari pembuktian sebelum mengambil keputusan. Membaca bukan hanya melatih otak, tetapi juga membentuk karakter bijaksana dan penuh pertimbangan.
ADVERTISEMENT
Negara-negara maju sangat menyadari pentingnya budaya literasi dalam membangun masyarakat cerdas dan sehat secara demokratis. Salah satu contoh menarik datang dari Selandia Baru, di mana budaya membaca koran menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Di sana, koran tidak hanya dibaca di rumah, tapi tersedia di berbagai ruang publik seperti kafe, halte, bahkan taman kota. Survei Roy Morgan tahun 2020, 75,6 % masyarakat usia 14 tahun ke atas menjadikan koran baik edisi cetak maupun online sebagai rujukan utama.
Pemerintah dan masyarakat di sana percaya bahwa media berkualitas adalah salah satu senjata paling efektif dalam menangkal hoaks. Mereka menekankan pentingnya membaca dari sumber terpercaya sebagai kebiasaan harian. Dalam konteks ini, membaca bukan lagi soal hobi pribadi, tapi menjadi strategi kolektif dalam memperkuat ketahanan informasi dan membangun warga negara yang aktif serta terinformasi.
ADVERTISEMENT
Contoh murid SMA yang saya sebut di awal adalah bukti nyata bahwa membaca juga membentuk karakter mandiri dan rasa ingin tahu yang tinggi. Ia tidak bergantung pada kurikulum formal atau menunggu guru menjelaskan semuanya, melainkan berinisiatif sendiri untuk mencari tahu, bertanya, dan mendalami hal-hal yang menarik minatnya.
Karakter seperti demikian lahir dari kebiasaan membaca, karena setiap bacaan dapat menimbulkan pertanyaan baru dan mendorong pembaca menggali lebih dalam. Sikap inisiatif dan kemampuan belajar sepanjang hayat (lifelong learning) sangat dibutuhkan di era saat ini, ketika dunia kerja dan kehidupan sosial terus menuntut kemampuan adaptasi yang cepat.
Kita perlu mengubah cara pandang terhadap membaca. Ia bukan sekadar tugas sekolah atau kewajiban pekerjaan, melainkan bagian dari identitas dan gaya hidup yang sehat secara intelektual dan emosional. Orang yang membaca memiliki ketajaman berpikir, kedalaman perasaan, dan kekayaan batin yang sulit ditemukan di tempat lain.
ADVERTISEMENT
Membaca memberikan ruang merenung dan memahami diri sendiri, selain juga membuka mata terhadap dunia luar. Ketika membaca menjadi gaya hidup, seseorang tidak hanya memperkaya diri sendiri, tetapi juga berkontribusi pada lingkungan sekitarnya lewat pemikiran dan tindakan yang lebih bernas dan bertanggung jawab.
Menjadikan membaca sebagai kebiasaan berarti kita sedang berinvestasi pada masa depan yang lebih cerah. Tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga masyarakat. Bayangkan jika mayoritas anak muda di negeri ini memiliki kebiasaan membaca yang kuat—tentu kita akan memiliki generasi lebih kritis, kreatif, dan berdaya saing global.
Kebiasaan membaca akan membantu mereka mengenali isu-isu besar dunia, memahami kompleksitas kehidupan, dan mampu merumuskan solusi-solusi baru untuk berbagai tantangan zaman. Di tengah peradaban yang serba cepat dan kadang membingungkan ini, membaca memberikan penyeimbang kokoh dan menenangkan.
ADVERTISEMENT
Kita tentu bisa mulai dari langkah-langkah kecil. Memilih satu buku setiap bulan, meluangkan waktu 15 menit setiap hari membaca, atau bergabung dalam komunitas baca. Orang tua dan guru juga memiliki peran penting dalam menumbuhkan kecintaan pada membaca, tidak dengan paksaan, tetapi dengan keteladanan dan suasana menyenangkan.
Sekolah-sekolah bisa menyediakan lebih banyak ruang literasi dan waktu membaca bebas. Pemerintah bisa mendorong industri buku dan media cetak yang berkualitas, sambil memperkuat perpustakaan digital dan fisik. Semua ini akan mempercepat terbentuknya ekosistem yang mendorong masyarakat untuk menjadikan membaca sebagai gaya hidup.
Akhirnya, mari kita ubah narasi bahwa membaca itu membosankan. Justru sebaliknya—membaca adalah petualangan intelektual dan emosional yang mengasyikkan. Membaca menjadi aktivitas keren yang membentuk manusia menjadi pribadi cerdas, peka, dan siap menghadapi masa depan.
ADVERTISEMENT
Jadikan membaca sebagai bagian dari keseharian kita. Membaca, bukan hanya karena keharusan, tetapi karena kita inginkan. Karena membaca itu keren, dan orang yang membaca dengan sungguh-sungguh akan selalu menemukan jalan bertumbuh dan menginspirasi.