Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Membaca Hans Jonas dalam Deru Teknologi dan Bencana Ekologis
6 Mei 2025 9:22 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah gempuran krisis iklim, kehancuran keanekaragaman hayati, es di kutub bumi mulai mencair, dan makin parah bencana ekologis akibat aktivitas manusia, pertanyaan mendasar yang diajukan oleh filsuf Jerman, Hans Jonas (1903-1993), dalam The Imperative of Responsibility (1984) menjadi semakin relevan, yakni apakah manusia sebagai pelaku sejarah telah bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa-bangsa dan planet ini?
ADVERTISEMENT
Jawaban atas pertanyaan itu tidak bisa diserahkan semata pada kemajuan teknologi, kebijakan pemerintah, atau retorika hijau dalam forum-forum global. Pertanyaan perlu dijawab dengan membangun ulang fondasi etika modern yang sering kali gagal menyentuh dimensi paling genting, yaitu tanggung jawab antar generasi dalam menghadapi dampak jangka panjang dari tindakan manusia terhadap lingkungan.
Hans Jonas, seorang murid Heidegger yang kemudian menjauh dari sang guru karena keberpihakannya pada Nazi, menulis bukunya dengan semangat eksistensial dan moral secara mendalam. Ia memandang bahwa etika tradisional, baik yang berbasis deontologi Kantian maupun utilitarianisme klasik, tidak cukup untuk menjawab tantangan zaman teknologi.
Etika lama dibentuk untuk relasi antara manusia dengan manusia, dan tidak memperhitungkan bahwa tindakan manusia modern — melalui teknologi — bisa mengubah wajah planet, membuat bencana ekologis, dan bahkan memusnahkan kehidupan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Jonas mengajukan sebuah imperatif moral baru, “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat dari tindakanmu selaras dengan kelestarian kehidupan manusia otentik.” Pernyataan ini merupakan transformasi dari imperatif kategoris Kant, tetapi dengan dimensi baru, yaitu memperhitungkan konsekuensi jangka panjang, serta tanggung jawab terhadap manusia yang belum lahir.
Dalam konteks hari ini, imperatif tersebut terdengar seperti seruan moral yang mestinya menggema dalam setiap keputusan politik, bisnis, dan pribadi yang berkaitan dengan perubahan iklim, energi, dan eksploitasi sumber daya alam.
Sayangnya, dunia modern belum mengambil gagasan ini secara serius. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang terbaru menyatakan bahwa manusia tinggal memiliki waktu sangat sempit untuk mencegah krisis iklim yang tidak terkendali.
Akan tetapi tindakan nyata dari negara-negara penghasil emisi terbesar masih minim. Retorika hijau lebih sering dijadikan alat pencitraan daripada komitmen etis. Di sinilah peringatan Jonas menemukan kekuatan penuhnya, yakni teknologi memberi kekuatan setingkat dewa, tetapi etika kita masih seukuran manusia abad pertengahan.
ADVERTISEMENT
Salah satu kunci argumen Jonas, yaitu bahwa teknologi modern menghasilkan “asimetri antara pengetahuan dan tanggung jawab.” Kita tahu bagaimana membuat energi nuklir, mengedit genetik, atau memanipulasi iklim lewat geoengineering, tetapi manusia tidak tahu dengan pasti seluruh konsekuensi jangka panjangnya. Meski demikian, manusia tetap bertanggung jawab atas akibat-akibat itu — bahkan yang belum bisa diperkirakan.
Etika ini berangkat dari rasa takut dan harapan. Jonas tidak menganggap ketakutan sebagai kelemahan, melainkan sebagai modal moral bertindak. Ketakutan terhadap kerusakan planet ini bukanlah histeria, tetapi panggilan kehati-hatian. Sebab justru karena mencintai kehidupan dan memiliki harapan akan masa depan anak cucu, kita sebagai manusia semestinya bersedia menahan diri. Inilah ethics of humility, etika kerendahan hati di hadapan kekuatan teknologi yang diciptakan sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun yang terjadi justru sebaliknya, manusia sering tersandera oleh ethics of progress, bahwa semua inovasi “harus” dilanjutkan karena kemajuan adalah tujuan itu sendiri. Dalam narasi ini, membatasi eksploitasi alam dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi, dan kehati-hatian dianggap sebagai pesimisme. Dunia modern telah menyulap kemajuan menjadi dogma, padahal Jonas ingin agar kita memeriksa ulang setiap langkah inovasi dari perspektif tanggung jawab terhadap masa depan.
Lingkungan dalam hal ini bukan sekadar korban dari kerakusan manusia, tetapi juga pengingat akan keterbatasan kita. Ketika laut naik dan pulau-pulau tenggelam, ketika kekeringan merajalela, ketika udara kota-kota besar menjadi racun, semua itu bukan hanya statistik, tetapi tanda moral, bahwa ada yang salah dalam hubungan manusia dengan bumi. Ekosistem rusak bukan hanya masalah teknis yang bisa diperbaiki dengan rekayasa lanjutan, tetapi tanda bahwa manusia telah gagal memahami batas dan tanggung jawab sebagai makhluk moral.
ADVERTISEMENT
Jonas menekankan bahwa responsibility (tanggung jawab) mendahului freedom (kebebasan). Hal demikian bertentangan dengan logika liberal-modern yang menempatkan kebebasan individu di atas segalanya. Bagi Jonas, kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab terhadap generasi mendatang adalah bentuk egoisme struktural. Dalam dunia yang saling terhubung oleh sistem ekologis yang rapuh, setiap tindakan — dari konsumsi energi hingga pola makan — menjadi tindakan moral.
Di sinilah gagasan Jonas menantang semua pihak; bukan hanya individu, tetapi juga pemerintah, korporasi, dan institusi global. Etika tanggung jawab tidak bisa sebatas dibebankan pada masyarakat akar rumput, sementara industri besar terus mencemari bumi. Prinsip kehati-hatian yang diajukan Jonas mesti menjadi standar dalam setiap kebijakan publik. Jika kita tidak yakin suatu teknologi atau kebijakan akan berdampak baik dalam jangka panjang, maka sebaiknya ditunda atau ditolak. Better safe than sorry menjadi prinsip etika ekologis baru.
ADVERTISEMENT
Pendidikan pun harus berubah. Generasi muda perlu diajarkan menjadi manusia bertanggung jawab, bukan sekadar pengguna teknologi. Sains dan teknologi mesti disertai mata pelajaran etika lingkungan. Anak-anak bertumbuh dengan kesadaran bahwa tindakan mereka hari ini membentuk dunia esok. Jonas menulis bukan hanya untuk para ilmuwan dan filsuf, tetapi juga untuk para pendidik, orang tua, dan pemimpin masa depan.
Sebagai catatan akhir, Hans Jonas menawarkan bukan hanya kritik, tetapi jalan, yakni bahwa kita bisa menata ulang peradaban dengan membangun etika baru yang berpijak pada tanggung jawab terhadap kehidupan, bukan sekadar kemajuan atau keuntungan.
Dunia tidak sedang kekurangan inovasi, tetapi kekurangan pertimbangan etis. Kita bisa merancang dan membuat kendaraan listrik, tetapi tetap bergantung pada tambang yang merusak. Kita bisa menjadikan kota pintar, tetapi tanpa jiwa ekologis. Kita bisa mengirim manusia ke Mars, tetapi gagal merawat bumi.
ADVERTISEMENT
Kini saatnya kita bertanya, apakah peradaban ini ingin dikenal sebagai generasi yang tahu segalanya tetapi tidak bertanggung jawab atas apa-apa? The Imperative of Responsibility adalah ajakan untuk bertindak sebelum terlambat. Dunia masa depan tidak meminta kita untuk menjadi sempurna, tetapi untuk menjadi bertanggung jawab.