Konten dari Pengguna

Membangun Kembali Minat Sastra di Kalangan Pelajar

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
1 November 2024 15:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi harta karun "Dunia Sastra", sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi harta karun "Dunia Sastra", sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Sastra merupakan jendela kebudayaan yang menyimpan jejak perjalanan bangsa, melintasi waktu dan tempat. Sastra (dalam britannica.com, 2024) didefinisikan sebagai kumpulan karya tulis. Sastra tersebut secara tradisional telah diterapkan pada karya-karya imajinatif berupa puisi dan prosa yang dibedakan berdasarkan maksud pengarang dan keunggulan estetika yang dirasakan dalam pelaksanaan. Sastra sendiri dapat diklasifikasikan menurut berbagai sistem, termasuk bahasa, asal negara, periode sejarah, genre, dan pokok bahasan.
ADVERTISEMENT
Dunia sastra dalam konteks Indonesia, diperkenalkan dan diajarkan melalui modul ajar Bahasa Indonesia. Perpustakaan-perpustakaan sekolah pun menyimpan banyak karya sastra besar yang berjajar rapi di rak-rak buku, mulai dari puisi Chairil Anwar hingga novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer. Akan tetapi ironi muncul ketika kita bertanya, “Siapa yang membaca karya-karya tersebut secara serius?” Generasi muda kita berdasarkan berbagai sumber, terutama pelajar, tampak semakin jauh dari minat menjadikan sastra sebagai bagian dari hidup mereka.
Di sinilah pentingnya peran guru Bahasa Indonesia. Guru bukan hanya sebagai pengajar bahasa, tetapi juga sebagai mediator antara karya sastra dan siswa, pembangun rasa ingin tahu, dan pencipta lingkungan di mana sastra menjadi hal menarik dan penuh makna. Dalam modul ajar Kurikulum Merdeka, misalnya, ruang bagi sastra sudah tersedia. Namun, tanpa dorongan aktif dari guru untuk membawa siswa ke dalam dunia sastra, bacaan-bacaan ini akan tetap menjadi sekadar kata-kata di atas kertas yang sepi.
ADVERTISEMENT
Menengok Kejayaan Sastra di Negara-Negara Maju
Sejarah sastra menunjukkan bahwa sastra sering kali menjadi cerminan perkembangan peradaban suatu bangsa. Negara-negara maju seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok menganggap sastra sebagai aset penting dalam pembangunan karakter nasional.
Di Inggris, karya-karya besar seperti karya William Shakespeare masih terus dibaca, dikaji, dan menjadi bagian dari kehidupan budaya modern. Perancis memiliki Victor Hugo dan Jean-Paul Sartre, Amerika Serikat memiliki Ernest Hemingway dan Langston Hughes, sedangkan Jepang memiliki sastrawan besar seperti Yukio Mishima dan Toyohiko Kagawa, yang karyanya memberikan inspirasi tentang kehidupan dan kemanusiaan.
Toyohiko Kagawa, misalnya, dikenal sebagai sastrawan yang memberikan pengaruh besar pada masyarakat Jepang. Karya-karyanya berisi kritik sosial yang membuka mata banyak orang mengenai kondisi masyarakat, kemiskinan, dan perlunya solidaritas.
ADVERTISEMENT
Di Tiongkok, karya-karya klasik seperti Journey to the West dan Dream of the Red Chamber masih dianggap sebagai warisan budaya yang hidup. Semua karya ini bukan hanya dikagumi, tetapi juga terus diperbincangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Indonesia sebenarnya memiliki warisan sastra yang tidak kalah penting. Nama besar seperti Chairil Anwar, dengan puisi-puisinya yang penuh semangat revolusioner, berhasil mengobarkan semangat perjuangan di masa kemerdekaan. Namun, apakah para pelajar kita saat ini merasakan relevansi dan keindahan sastra Indonesia dengan cara yang sama? Tampaknya ada jarak yang semakin melebar antara pelajar modern dan karya-karya sastra lokal.
Salah satu alasan utama pentingnya sastra dalam pendidikan adalah peranannya dalam membentuk karakter dan identitas bangsa. Membaca sastra adalah cara merenung, memahami kompleksitas kehidupan, dan belajar dari berbagai perspektif.
ADVERTISEMENT
Melalui karakter-karakter dalam cerita, kita dapat mengasah empati dan kemampuan berpikir kritis terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Misalnya, dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, pembaca dapat belajar tentang perjuangan menghadapi kolonialisme, kegigihan, dan pencarian identitas sebagai seorang manusia.
Di sisi lain, sastra juga memberikan pelajaran penting tentang moralitas dan etika. Banyak karya sastra yang tidak hanya memuat cerita, tetapi juga refleksi filosofis tentang kehidupan dan kemanusiaan. Membaca karya sastra yang berkualitas dapat menjadi media introspeksi mendalam, yang membantu pembaca muda dalam membentuk sudut pandang mereka terhadap dunia.
Menghidupkan Kembali Sastra di Kalangan Pelajar
Mengembalikan "rasa antusias" sastra ke dalam keseharian pelajar Indonesia memerlukan pendekatan holistik dan kolaboratif. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil, yakni:
ADVERTISEMENT
Pertama, guru Bahasa Indonesia dapat memainkan peran penting dengan menggunakan metode pengajaran interaktif, seperti diskusi kelompok, bermain peran, atau menulis ulasan dari perspektif tokoh. Kegiatan semacam ini dapat membantu siswa memahami karya sastra bukan hanya dari sisi alur cerita, tetapi juga pesan moral dan konteks sosialnya.
Kedua, sekolah dapat mengadakan acara membaca karya sastra bersama atau panggung sastra, di mana siswa dapat merasakan kekayaan bahasa dan emosi yang terkandung dalam karya tersebut. Panggung sastra dapat menjadi media dalam mengenalkan sastra secara langsung kepada siswa dengan cara lebih menarik.
Ketiga, mengundang sastrawan atau kritikus sastra agar bersedia berbagi pengalaman dan berdiskusi tentang sastra dapat memberikan inspirasi dan wawasan langsung bagi siswa. Hal ini juga dapat membantu mengurangi jarak antara dunia akademis dan dunia sastra nyata.
ADVERTISEMENT
Keempat, memanfaatkan media sosial. Di era digital ini, media sosial bisa menjadi alat efektif menarik minat generasi muda pada sastra. Misalnya, kutipan-kutipan puisi atau resensi singkat karya sastra bisa dipublikasikan di media sosial, dengan desain visual yang menarik.
Kelima memberikan penghargaan dan pengakuan pada karya sastra lokal melalui aneka lomba sastra, festival sastra, atau pameran sastra di sekolah atau komunitas dapat menjadi cara memberikan penghargaan terhadap karya-karya sastra lokal. Hal ini juga dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap sastra nasional.
Dengan membudayakan sastra di kalangan pelajar, kita tidak hanya melestarikan kekayaan budaya, tetapi juga mempersiapkan generasi muda yang memiliki karakter kuat, empati, dan pemahaman mendalam tentang identitas mereka. Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai seni dan literasi sebagai bagian dari fondasi peradabannya. Apabila kita ingin mencetak generasi kreatif, berdaya pikir kritis, dan berbudaya, maka sastra perlu menjadi bagian dari pendidikan karakter.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya sastra membangun bangsa besar di dunia, di Indonesia sastra juga perlu dihargai dan dilestarikan agar tidak kehilangan roh kebudayaan yang melekat pada setiap generasi. Pada akhirnya, sastra bukan hanya tentang kata-kata melulu, tetapi tentang kehidupan itu sendiri yang dibingkai dalam imajinasi dan refleksi mendalam. Saatnya kita semua, mulai dari guru, pelajar, hingga masyarakat luas, menghidupkan kembali sastra Indonesia dan merasakan keindahan serta kekuatan estetika yang tidak lekang oleh waktu.