Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Memori Durian di Pinggir Hutan
22 Januari 2025 7:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tepi hutan yang menyimpan kisah-kisah diam, terdapat sebuah kedai kecil di mana aroma kaldu bakso menguar bersama hembusan angin. Kedai itu milik seorang ibu, pejuang kehidupan yang ditemani anaknya, Anton. Anton, bocah lincah dengan tangan-tangan cekatan, menggiling daging dan mencuci sayur dengan kepiawaian yang terasah oleh kesederhanaan hidup. Bakso buatan sang ibu merupakan surga rasa bagi lidahnya, secuil kemewahan di tengah keterbatasan.
ADVERTISEMENT
Hari itu, langit tak berawan, biru sejernih kaca, seperti hati Anton yang ringan setelah seharian membantu di kedai. Ia melangkah ke lapangan di tepi hutan, tempat di mana ia dan teman-temannya -- Tomi, Bondan, dan Dina -- sering menenun cerita masa kecil mereka. Namun, di bawah pohon rindang itu, Anton menyimpan hasrat yang melampaui biasa sebab ia ingin sekali makan durian.
Musim durian telah tiba, dan pohon-pohon di pinggir hutan menggoda dengan buah-buah berduri yang bergelayut di cabang-cabang pepohonan. Aroma durian seringkali tercium samar di udara, seperti janji manis yang menunggu untuk dipenuhi.
Anton, yang tahu bahwa uang di sakunya tak cukup untuk membeli durian di pasar, mencoba peruntungan dengan mengusulkan ide sederhana. “Mari kita tunggu hingga satu jatuh,” katanya, dan teman-teman dirinya langsung menyambut ide itu dengan semangat. Bersama, mereka berjalan menuju pohon besar di tepi hutan, tempat di mana buah durian sering jatuh tanpa aba-aba.
ADVERTISEMENT
Waktu berlalu lambat, dibingkai bayangan pepohonan yang memanjang ketika matahari condong ke barat. Mereka duduk melingkar di tak jauh dari pohon itu, berbincang, bercanda, dan tertawa, mengusir jeda dengan cerita-cerita kecil yang hanya mereka pahami. Burung-burung berkicau di kejauhan, angin berbisik di antara dedaunan, membawa kesejukan yang menyelimuti tubuh kecil mereka.
“Kalau durian jatuh, siapa yang paling cepat lari, dia yang dapat!” seru Tomi, mencoba menyemangati suasana. Yang lain tertawa mendengar pernyataan itu. Bondan, yang selalu suka melontarkan lelucon, menambahkan, “Tapi kalau durian jatuh tepat di kepala, gimana?” Tawa mereka semakin riuh, menyatu dengan bunyi hutan yang hidup.
Namun, di tengah suasana ceria itu, keheningan datang mendadak. Dari atas, terdengar suara pelan namun tegas, pluk!
ADVERTISEMENT
“Durian jatuh!” seru Anton, lari mendahului yang lain. Tubuh kecilnya bergerak gesit, menerobos rumput liar dan semak-semak. Ia tiba lebih dulu di tempat asal suara itu, menemukan sebuah durian yang tergeletak di tanah lembap. Tetapi, durian itu tidak seperti yang ia bayangkan. Kecil, nyaris seukuran dua genggaman tangan. Meski kecewa, Anton memungut buah itu dengan hati-hati, seolah-olah ia membawa sebuah harta karun yang rapuh.
Ia kembali ke teman-temannya, membawa buah itu seperti piala kecil yang direngkuh dengan rasa bercampur. Mata mereka berbinar penuh harap ketika Anton memperlihatkan durian itu. “Kecil sekali,” gumam Bondan, tak bisa menyembunyikan kekecewaan. Namun, aroma khas durian yang mulai menyeruak dari buah itu membuat mereka tetap bersemangat.
ADVERTISEMENT
Anton membuka durian itu dengan tangan kosong, mengabaikan duri-duri tajam yang melukai sedikit kulitnya. Ketika kulitnya terbelah, hanya tiga biji terselip di dalamnya, seakan-akan semesta ingin menguji persahabatan mereka. Mata mereka saling berpandangan, bertanya tanpa kata. “Bagaimana kita membaginya?” tanya Dina, memecah hening.
Anton, dengan senyuman kecil dan mata yang menatap jauh, berkata, “Ambil saja kalian. Aku cukup senang melihat kalian bahagia.” Kata-kata itu jatuh seperti embun di pagi hari, pelan namun menusuk dalam.
Tomi, Bondan, dan Dina terdiam sejenak, seolah tak percaya pada apa yang baru saja mereka dengar. Namun, melihat ketulusan di wajah Anton, mereka akhirnya menerima. Dina mengambil biji pertama, diikuti Bondan dan Tomi. Mereka menikmati daging durian itu dengan senyum lebar, sementara Anton duduk memperhatikan mereka dari kejauhan, senyumnya kecil tapi tulus.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi Dina, yang hatinya tergerak oleh kebaikan Anton, mendekati temannya itu. Dengan lembut, ia membelah biji durian miliknya menjadi dua, lalu menyodorkan separuh bagian kepada Anton. “Kamu udah baik banget sama kami. Aku enggak tega kalau kamu enggak makan sama sekali,” katanya.
Anton menggeleng, menolak tawaran itu. “Enggak apa-apa, Dina. Kamu makan aja. Aku senang lihat kalian bahagia,” jawabnya. Tetapi Dina bersikeras. “Kebaikanmu terlalu besar, Anton. Terimalah,” katanya lagi.
Akhirnya, Anton menerima potongan kecil itu. Ia memakan perlahan, merasakan setiap gigitan seolah itu momen yang harus diabadikan. Meski kecil, potongan durian itu terasa luar biasa di lidahnya, membawa rasa manis yang menyebar hingga ke hatinya. Kebersamaan mereka di bawah pohon durian itu menjadi pengalaman tak terlupakan, sebuah pelajaran tentang berbagi dan keikhlasan.
ADVERTISEMENT
Saat malam tiba, Anton kembali ke kedai kecilnya, membawa cerita itu kepada ibunya. Perempuan itu, yang selalu mengajarkan nilai-nilai kebaikan kepada anaknya, tersenyum sambil mengusap kepala Anton penuh cinta. “Anakku,” katanya lembut, “memberi sering kali lebih manis daripada menerima.”
Anton mengangguk, menyerap setiap kata ibunya. Malam itu, di bawah langit yang kini dihiasi bintang, ia tahu bahwa kebahagiaan sejati bukanlah soal apa yang dimiliki, tetapi apa yang diberikan. Di tengah kesederhanaan hidupnya, Anton telah menemukan makna mendalam tentang kasih, persahabatan, dan kebahagiaan.
Di hutan yang sunyi, pohon durian itu tetap berdiri tegak, menyimpan cerita kecil tentang anak-anak yang belajar berbagi. Dan bagi Anton, hari itu menjadi pengingat bahwa dalam keterbatasan sekalipun, selalu ada ruang untuk kebaikan. Sebuah pelajaran yang mungkin sederhana, tetapi menggema hingga jauh ke masa depan.
ADVERTISEMENT