Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menggugat Strukturalisme Teks Melalui Dialogisme dan Karnivalisme
13 November 2024 10:16 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap pendekatan strukturalis dalam kajian sastra, terutama dari perspektif Jacques Derrida dan Roland Barthes, menawarkan pandangan kritis terhadap struktur teks yang dianggap tetap dan kaku. Namun, kritik ini bukan hal baru; gagasan serupa sebenarnya telah diajukan oleh Mikhail Bakhtin, seorang pemikir yang menekankan pentingnya dialog dan unsur karnival dalam interpretasi sastra.
ADVERTISEMENT
Bakhtin bersama Umberto Eco dipandang oleh Smith & Riley (2000) sebagai penggagas pendekatan alternatif terhadap strukturalisme, yang lebih fleksibel dalam menghadapi dinamika pemaknaan teks. Dalam pandangan Bakhtin, pendekatan strukturalis ala Ferdinand de Saussure, yang menempatkan bahasa sebagai sistem tertutup, bersifat kaku dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan konteks pembaca, sehingga membatasi kemungkinan interpretasi.
Pendekatan teoretis Bakhtin terpusat pada dua konsep kunci, yaitu dialogisme dan karnivalisme. Teori Mikhail Bakhtin tersebut dapat digunakan sebagai pendekatan dalam menganalisis teks. Pada analisis Bakhtin (1984) dialogisme dipahami sebagai konsep yang menekankan keberagaman suara dalam teks, di mana tiap suara membawa perspektif dan ide sendiri, menghasilkan interaksi yang dinamis antara karakter dan narasi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa teks bukanlah monolog melainkan pertemuan berbagai pandangan. Bakhtin (1981) nampaknya melalui dialogisme berusaha menjelaskan bahwa teks sastra, khususnya novel, merupakan wadah komunikasi interaktif yang tidak terbatas pada makna tetap, melainkan memungkinkan terjadinya hubungan kreatif antara penulis, teks, pembaca, dan konteks budaya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, karnivalisme merupakan konsep yang menggambarkan subversi, kebebasan, dan pembalikan norma sosial dalam teks, menciptakan suasana yang sering kali mengolok-olok hierarki atau aturan yang ada. Dengan menggunakan pendekatan dialogisme dan karnivalisme, analisis teks menurut Bakhtin (1981,1984) dapat menjadi lebih kaya, karena dapat menggali lapisan-lapisan makna, interaksi ide, dan kekuatan sosial yang bekerja di dalamnya.
Makna Terbuka dan Fleksibel
Menurut Bakhtin, strukturalisme berisiko menghasilkan pembacaan pasif karena pendekatan ini mengabaikan dinamika konteks sosial, budaya, dan waktu yang dapat mempengaruhi makna teks. Melalui konsep dialogisme, Bakhtin menegaskan bahwa makna tidak bersifat tetap atau tunggal, melainkan terus berubah melalui dialog antara teks dan pengalaman pembaca.
Setiap pembacaan adalah sebuah proses kreatif di mana makna teks dikonstruksi dan dikembangkan seiring dengan respons pembaca (Bakhtin, 1984). Dalam pendekatan ini, menurut Bakhtin (1981) dan Gadamer (1989) teks bukanlah penyimpan makna tunggal, melainkan medan interaksi yang dapat menghasilkan interpretasi baru sesuai dengan konteks dan persepsi subjektif pembaca.
ADVERTISEMENT
Bakhtin membandingkan proses interpretasi teks dengan dialog, di mana “zona perbatasan” antara tanda-tanda objektif dalam teks dan reaksi subjektif pembaca menjadi ruang bagi terciptanya makna. Hal ini sejalan dengan konsep “fusi horison” dari Hans-Georg Gadamer (1989), yang memandang pemahaman sebagai suatu proses percakapan antara pembaca dan teks untuk mencapai pemahaman baru. Pendekatan demikian tentu saja memberikan fleksibilitas lebih besar dalam interpretasi, menjadikan makna teks tidak pernah final atau absolut, melainkan selalu terbuka terhadap pembacaan baru yang dipengaruhi oleh pengalaman dan persepsi subjektif.
Membebaskan Narasi dari Batas-batas Struktural
Konsep kedua dari Bakhtin, karnivalisme, menggambarkan bagaimana teks sastra dapat menjadi arena bagi keragaman suara dan perspektif beragam. Karnivalisme memungkinkan berbagai elemen dalam narasi bertukar posisi atau bahkan membalikkan hierarki sosial yang ada, menghasilkan ruang di mana karakter dari berbagai latar belakang sosial dapat “bertemu” dan berdialog.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks demikian, menurut Bakhtin (1984) novel menjadi wadah bagi perspektif berbeda yang hadir secara berdampingan, mencerminkan kompleksitas sosial dan budaya yang sebenarnya. Melalui karnivalisme, novel berpotensi menjadi representasi keragaman pengalaman manusia yang kaya dan dinamis, sehingga narasi tidak lagi terbatas oleh struktur rigid, melainkan membuka ruang bagi pluralitas makna (Todorov, 1984).
Bakhtin melihat karnivalisme sebagai bentuk pembebasan dalam narasi, di mana berbagai suara dapat menyuarakan pandangannya, bahkan menantang satu sama lain. Karnivalisme membebaskan narasi dari kekakuan pendekatan strukturalis, yang cenderung memandang teks sebagai entitas tertutup dan seragam. Dengan menempatkan banyak suara dalam satu ruang, karnivalisme memungkinkan teks mencerminkan konflik, kontradiksi, dan keragaman sosial (Bakhtin, 1984; Smith & Riley, 2000).
ADVERTISEMENT
Membuka Ruang bagi Ragam Interpretasi
Menurut Bakhtin, strukturalisme gagal menangkap dimensi relasional dari bahasa dalam teks sastra. Dengan memandang bahasa sebagai sistem simbol tetap, pendekatan strukturalis membatasi makna dalam kerangka objektif yang tidak memperhitungkan dinamika interpretasi subjektif. Hal tersebut menjadikan pendekatan strukturalis tidak memadai dalam memahami teks sebagai entitas yang selalu berubah dalam konteks sejarah dan budaya.
Sementara itu, pendekatan Bakhtin dapat dipandang sebagai jalan tengah yang seimbang antara objektivitas strukturalis dan subjektivisme radikal. Dia mengakui adanya elemen objektif dalam teks, tetapi juga menekankan pentingnya peran pembaca dalam menginterpretasikan makna. Dalam dialog antara tanda-tanda dalam teks dan reaksi subjektif pembaca, makna tercipta dan berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembacaan tidak hanya pasif, melainkan juga melibatkan interpretasi aktif yang membentuk pemahaman dinamis dan relevan (Bakhtin, 1981; Gadamer, 1989).
ADVERTISEMENT
Catatan akhir
Konsep dialogisme dan karnivalisme dari Bakhtin memberikan kontribusi yang signifikan dalam analisis teks sastra, terutama dalam menawarkan alternatif secara lebih fleksibel dan dinamis dibandingkan pendekatan strukturalis.
Dengan memandang teks sebagai ruang interaksi antara makna objektif dan respons subjektif, Bakhtin memberikan pemahaman bahwa makna teks teru berkembang seiring waktu, konteks, dan respons pembaca. Konsep yang demikian dalam catatan Smith & Riley (2000) telah memperkaya pendekatan interpretatif, di mana pembaca dapat menemukan interpretasi baru yang sesuai dengan perubahan konteks budaya dan pengalaman pribadi.
Pada akhirnya, konsep-konsep Bakhtin mengingatkan kita bahwa setiap teks adalah undangan untuk berdialog. Melalui dialogisme dan karnivalisme, setiap bacaan menjadi peluang bagi pembaca agar berinteraksi secara kreatif dengan teks, menghasilkan makna yang tidak pernah final, tetapi tetap hidup dan terbuka terhadap interpretasi baru.
ADVERTISEMENT