Konten dari Pengguna

Menghidupkan "Neural WiFi" di Kalangan Pelajar

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
26 April 2025 16:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi membangun keterhubungan sosial antara para murid dan guru, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi membangun keterhubungan sosial antara para murid dan guru, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota yang makin sibuk dan individualistik, sekolah tidak cukup hanya menjadi tempat transmisi pengetahuan akademik. Karya pendidikan dapat menjadi ruang pembelajaran bagi relasi antar manusia, tempat para pelajar membangun kepekaan terhadap orang lain dan memperkuat keterhubungan sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, kecerdasan sosial diposisikan sebagai pelengkap, dan juga inti dari pembentukan pribadi utuh. Pendidikan yang berfokus menekankan pada pencapaian kognitif semata tanpa memperhatikan dimensi emosional dan sosial akan melahirkan generasi kompeten secara intelektual tetapi miskin dalam kepedulian dan empati.
Daniel Goleman (2007) dalam bukunya Social Intelligence memperkenalkan istilah “neural WiFi”, sebuah metafora yang menggambarkan kemampuan otak manusia untuk saling terhubung secara emosional dan nonverbal. When two people interact face to face, contagion spreads via multiple neural circuits operating in parallel each person’s brain.
Dengan sistem saraf sosial dan keberadaan neuron cermin (mirror neurons), manusia memiliki kemampuan alami “membaca” perasaan orang lain melalui isyarat sosial seperti ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh, dan bahkan suasana hati.
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang tersenyum tulus, misalnya, otak orang yang melihatnya cenderung ikut menanggapi dengan perasaan senang—seakan-akan ada sinyal nirkabel emosional yang langsung terhubung. Potensi ini sangat kuat dalam membangun hubungan sosial yang sehat, termasuk dalam lingkungan pendidikan.
Sayangnya, di tengah kemajuan teknologi yang membentuk gaya hidup cepat dan individualistis, banyak anak tumbuh dalam kondisi sosial yang terputus. Privatisasi emosi dan orientasi hidup yang serba rasional membuat interaksi manusiawi kehilangan kedalaman dan kehangatannya. Anak-anak kini terbiasa berinteraksi melalui layar, tetapi kehilangan keahlian dasar guna mendengarkan, memahami, dan merasakan kehadiran orang lain.
Sebaliknya, dalam masyarakat pedesaan yang masih menjunjung nilai kekerabatan, tantangan semacam ini mungkin tidak terlalu menonjol, karena ada ruang sosial yang terbuka dan relasi lebih kuat antar individu. Namun, tetap perlu disadari bahwa kecerdasan sosial bukanlah bawaan, melainkan sesuatu yang perlu diasah dan diajarkan.
ADVERTISEMENT
Sekolah, dalam konteks demikian, perlu mengambil peran aktif sebagai jembatan yang menghidupkan kembali fungsi sosial pendidikan. Mengajar tidak lagi cukup hanya menyampaikan materi, tetapi juga turut menghadirkan suasana belajar yang penuh interaksi, penghargaan, dan kasih sayang.
Kurikulum dan praktik belajar perlu dirancang sedemikian rupa agar para murid bisa mengalami secara nyata dinamika hubungan antar manusia. Aktivitas seperti kerja kelompok, diskusi terbuka, kegiatan pelayanan masyarakat, dan praktik refleksi sosial menjadi wahana penting untuk mengaktifkan “neural WiFi” dalam diri para pelajar dan guru.
Berbagai penelitian dalam ilmu psikologi dan pendidikan menunjukkan bahwa relasi sosial yang sehat menjadi fondasi penting bagi kesehatan mental, perkembangan karakter, dan bahkan pencapaian akademik. Ketika siswa merasa diperhatikan dan dihargai oleh guru maupun teman sekelasnya, motivasi belajarnya meningkat secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Demikian pula, kehangatan hubungan sosial dapat mencegah terjadinya perundungan (bullying), membangun kepercayaan diri, dan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif. Inilah kekuatan dari koneksi emosional yang tidak bisa digantikan oleh sistem evaluasi berbasis angka atau peringkat semata.
Pendidikan yang menumbuhkan kecerdasan sosial bukan sekadar proyek idealis atau wacana moral, melainkan kebutuhan strategis dalam menghadapi dunia yang kian terfragmentasi. Kita hidup di zaman di mana konektivitas teknologi melimpah, tetapi koneksi antar hati sering kali minim. Anak-anak perlu dilatih menjadi peka terhadap perasaan orang lain, mampu mengelola emosi, serta bisa bekerja sama dalam keragaman sosial.
Di sinilah urgensi menjadikan sekolah sebagai ruang perjumpaan, bukan sekadar tempat belajar. Sekolah yang memfasilitasi dialog, empati, dan perhatian akan membentuk generasi pintar, dan juga penuh welas asih.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, guru sebagai agen utama pendidikan harus hadir sebagai figur yang tidak hanya mengajar dengan kepala, tetapi juga mendidik dengan hati. Hubungan antara guru dan murid bukanlah relasi satu arah, tetapi sebuah interaksi sosial sarat makna.
Ketika seorang guru mampu membangun koneksi emosional yang tulus dengan para pelajar, maka proses belajar menjadi lebih efektif dan menyenangkan. Guru pun ditantang agar terus mengembangkan kecerdasan emosional dan sosial dirinya, agar mampu menjadi teladan dalam membangun hubungan manusiawi di tengah tuntutan profesionalisme dan administratif.
Tugas besar pendidikan masa kini dan masa depan adalah menyeimbangkan antara pencapaian akademik dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah yang baik menjadi tempat memformat individu unggul secara kognitif, dan sekaligus pribadi yang mampu merasa, memahami, dan membangun hubungan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan tidak boleh terjebak pada perlombaan skor ujian dan indeks prestasi, melainkan kembali kepada pertanyaan mendasar, yakni siapa manusia yang ingin dibentuk? Siapa yang dipedulikan dalam proses pendidikan?
Pada akhirnya, menghidupkan “neural WiFi” di sekolah adalah upaya strategis untuk menyambung kembali benang-benang kemanusiaan yang tercerabut. Dalam dunia yang dipenuhi algoritma dan otomatisasi, hanya hubungan manusiawi yang autentik yang mampu memberikan makna sejati.
Pendidikan perlu mengajarkan cara berpikir, dan juga cara merasakan. Sebab, dalam relasi antar manusia, yang abadi bukanlah apa yang dikatakan, tetapi bagaimana kita membuat orang lain merasa. Di sinilah letak misi luhur pendidikan sejati, yaitu mendidik para pelajar bukan hanya demi masa depan, tetapi demi perjumpaan utuh di masa kini.
ADVERTISEMENT