Konten dari Pengguna

Mengurai Kerumitan, Belajar dari Sejarah dan Membangun Optimisme

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
16 Februari 2025 8:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kerumitan hidup, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kerumitan hidup, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan sejarah, kehidupan manusia penuh dengan jejak-jejak yang terukir dalam peradaban dan budaya. Dari generasi ke generasi, dinamika sosial dan politik terus mengalami perubahan, sering kali dalam bentuk konflik dan pergolakan. Garis terdekat dari dinamika ini dapat dilihat dalam sejarah Nusantara, khususnya sejak era Kerajaan Singasari yang dilanda konflik internal di antara para penguasa.
ADVERTISEMENT
Pertarungan kekuasaan kemudian berlanjut ke Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram Islam, yang pada akhirnya menghadapi tekanan kolonialisme. Pergulatan kekuasaan ini menimbulkan kecemasan yang terus-menerus menyertai masyarakat.
Konflik dalam skala kecil atau mikro sering kali tampak sebagai jalan buntu yang sulit diatasi. Akan tetapi jika kita dapat melihat dalam perspektif makro, berbagai persoalan ini sebenarnya dapat dianggap ringan dan dapat diselesaikan dengan pendekatan yang tepat.
Pemikiran demikian, sejalan dengan gagasan John Maxwell (2007), yang menekankan bahwa optimisme dalam menghadapi kesulitan dapat mendewasakan seseorang serta memberikan kontribusi positif dalam mengurai kompleksitas kehidupan. Optimisme memungkinkan seseorang melihat tantangan sebagai peluang pertumbuhan, bukan sekadar hambatan yang menghancurkan.
Para pemikir di era Pencerahan juga berupaya mencari solusi atas berbagai permasalahan manusia. Jean-Jacques Rousseau (1762), misalnya, mengajukan gagasan tentang kontrak sosial yang menekankan pentingnya kehendak umum dalam membangun masyarakat adil dan harmonis.
ADVERTISEMENT
Voltaire (1763) memperjuangkan kebebasan berpikir dan toleransi sebagai jalan menuju peradaban lebih maju. Sementara itu, Immanuel Kant (1785) menekankan pentingnya rasionalitas dan etika dalam kehidupan sosial. Gagasan-gagasan ini menjadi fondasi dalam memahami bagaimana manusia dapat mengatasi konflik dan ketidakadilan melalui pemikiran kritis dan perubahan sistem sosial secara lebih adil.
Namun demikian, meskipun gagasan-gagasan besar telah diperkenalkan, belenggu keserakahan dan penindasan tetap terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Tradisi feodalisme yang berakar kuat dalam sejarah panjang peradaban masih mencuat dan menggejala hingga saat ini.
Sistem yang menempatkan segelintir orang dalam posisi dominan sering kali memicu kesenjangan sosial yang sulit dihapuskan. Dalam masyarakat modern, meskipun bentuknya telah berubah, pola feodalisme masih terlihat dalam berbagai aspek, mulai dari hubungan kekuasaan dalam politik hingga ketimpangan ekonomi yang semakin tajam.
ADVERTISEMENT
Kesadaran kolektif menjadi kunci untuk mengatasi tantangan hidup yang kompleks. Manusia perlu saling menghargai dan membantu satu sama lain agar dapat keluar dari jebakan konflik yang berkepanjangan.
Hidup dalam kebersamaan dan keberagaman, sumber: dok. pribadi.
Gotong royong, sebagai salah satu nilai budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun, merupakan kekuatan utama dalam membangun solidaritas sosial. Dengan semangat gotong royong, masyarakat dapat mengatasi berbagai tantangan hidup secara bersama-sama, menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan inklusif.
Dalam konteks Indonesia, budaya gotong royong telah menjadi bagian dari identitas bangsa. Sejak dahulu, masyarakat Nusantara telah menerapkan prinsip kebersamaan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari bertani hingga membangun rumah. Sayangnya, dalam era modern, nilai-nilai ini mulai terkikis oleh individualisme yang semakin menguat.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang dihadapi sekarang, yakni bagaimana menghidupkan kembali semangat gotong royong dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga pemerintah dan lembaga sosial yang memiliki peran dalam memperkuat ikatan sosial di masyarakat.
Optimisme dalam menghadapi kerumitan hidup juga dapat diperkuat melalui pendidikan yang menanamkan nilai-nilai moral dan etika sejak dini. Pendidikan tidak hanya bertujuan mencerdaskan individu dalam aspek akademik, tetapi juga membentuk karakter yang berorientasi pada kepedulian sosial dan kebersamaan.
Dengan pendidikan yang berbasis nilai-nilai luhur, masyarakat dapat tumbuh menjadi lebih inklusif dan memiliki kesadaran tinggi terhadap pentingnya kerja sama dalam mengatasi permasalahan.
Selain pendidikan, kebijakan publik yang mendukung kesejahteraan sosial juga menjadi faktor penting dalam mengurai kompleksitas kehidupan. Pemerintah perlu merancang kebijakan yang berfokus pada pemerataan akses terhadap sumber daya, sehingga kesenjangan sosial dapat dikurangi.
ADVERTISEMENT
Program-program yang mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat, misalnya, dapat menjadi solusi dalam mengatasi ketimpangan yang sering kali menjadi akar dari konflik sosial.
Di sisi lain, teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk membangun jaringan solidaritas yang lebih luas. Media sosial, yang sering kali menjadi alat menyebarkan informasi yang memperkeruh keadaan, sebenarnya dapat diarahkan sebagai sarana edukasi dan pemberdayaan masyarakat.
Pemanfatan teknologi dan media sosial, sumber: dok, Strada.
Kampanye-kampanye sosial yang positif dapat menjadi sarana menyebarkan semangat gotong royong dalam skala yang lebih besar, menjangkau berbagai lapisan masyarakat tanpa batasan geografis.
Dengan demikian, mengurai kerumitan hidup bukanlah sesuatu yang mustahil. Sejarah telah menunjukkan bahwa konflik dan tantangan selalu menjadi bagian dari perjalanan manusia, tetapi dengan optimisme, kerja sama, dan kesadaran kolektif, berbagai persoalan dapat diatasi.
ADVERTISEMENT
Penting bagi setiap individu agar tidak terjebak dalam pesimisme, melainkan berupaya mencari solusi konstruktif. Melalui nilai-nilai seperti gotong royong, pendidikan yang berorientasi pada kebersamaan, kebijakan publik yang mendukung kesejahteraan, serta pemanfaatan teknologi untuk hal-hal positif, masyarakat dapat membangun kehidupan yang lebih harmonis dan sejahtera.
Akhirnya, kesadaran bahwa hidup ini penuh dengan tantangan perlu disertai dengan keyakinan bahwa setiap tantangan dapat diatasi dengan cara yang lebih bijaksana. Seperti yang dikatakan oleh John Maxwell, optimisme bukan hanya sikap, tetapi juga kekuatan yang dapat mendewasakan dan memberikan kontribusi positif dalam kehidupan. Dengan sikap optimis dan kerja sama yang erat, kita dapat mengurai kerumitan hidup dan melangkah menuju masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT