Menjadi Saksi Kebaikan: Tugas dan Tanggung Jawab Manusia

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Mahasiswa Doktoral Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
Konten dari Pengguna
11 Maret 2024 14:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi manusia bergerak menjadi saksi kebaikan, sumber Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi manusia bergerak menjadi saksi kebaikan, sumber Pexels.
ADVERTISEMENT
Dalam menjadi saksi kebaikan, seseorang sering kali merenung dan bertanya-tanya, di mana sebenarnya tempat individu-individu dalam kehidupan ini? Penulis, sebagai individu, terlibat dalam perjalanan hidup yang penuh warna, dimulai dari masa kecil hingga saat ini sebagai seorang dewasa. Sejarah pribadi setiap orang penuh dengan liku-liku, suka dan duka, yang membentuk perjalanan eksistensi kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Orang per-orang tidak hanya ada sebagai individu, tetapi juga merupakan bagian dari keluarga, masyarakat, negara, dan bahkan dunia. Dari sudut pandang fisik, orang bertransformasi dari individu menjadi kelompok, menjadi kami, dan akhirnya kita, sebagai bagian dari entitas yang lebih besar seperti anak-anak bangsa dan warga dunia.
Sebagai individu yang ada di hadapan masyarakat, negara, dan dunia, seseorang secara manusiawi merasa memiliki tanggung jawab memberikan kontribusi positif. Orang baik akan berupaya menjadi individu yang tidak hanya berorientasi pada diri sendiri, melainkan juga memiliki keinginan tulus untuk berkontribusi pada keteraturan dan kebaikan lebih luas.
Namun, penulis menyadari bahwa, seperti individu lainnya, juga rentan terhadap kelemahan, baik secara individu maupun dalam konteks kolektif. Kesalahan dan kekurangan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup, dan dengan sewajarnya, seseorang yang bertobat seharusnya bersedia mengakui serta belajar dari mereka yang memiliki pemahaman dan pengalaman lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya memberikan penghiburan rohani yang meneguhkan, penulis mengidentifikasi tiga aspek penting. Pertama, rasa syukur atas pemahaman diri sebagai manusia, dengan memahami asas dan dasar mengapa seseorang diciptakan sebagai individu.
Kedua, melalui latihan dan pembelajaran terus menerus, manusia dapat mengembangkan potensi diri secara optimal. Ketiga, menaburkan benih-benih kebaikan adalah kunci untuk menjadi individu yang siap untuk diutus, mampu mencintai sesama dengan hati yang tulus, peduli pada mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Dengan memiliki ladang untuk konsisten melakukan perbuatan baik, seseorang dapat memberikan dampak positif pada kehidupan sekitar dan menciptakan harmoni dalam eksistensi diri sebagai bagian dari masyarakat yang lebih besar.
Seseorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang dirinya sendiri dan terus mengasah kemampuan sambil tetap berkomitmen berbuat kebaikan merupakan individu yang terlatih dalam menghadapi kompleksitas dan ketegangan kehidupan.
ADVERTISEMENT
Pandangan manusia terhadap realitas menurut Sarmento (2024) dapat menjadi lebih jernih ketika tatapan itu dilandaskan pada empat titik pijak esensial.
Pertama, rasa syukur dan perdamaian dengan masa lalu, termasuk warisan sejarah pribadi dan biografi masa lalu yang membentuk identitas seseorang. Kedua, keterbukaan dan kelenturan kehendak yang mendorong kebebasan, membimbing seseorang menuju masa depan yang penuh tantangan namun dipenuhi harapan.
Ketiga, pengakuan rendah hati terhadap keterbatasan dan kerentanan sendiri, menyelami zona tersembunyi dan liku-liku gelap dalam hidup dengan kesadaran diri yang menciptakan apa yang disebut sebagai 'mistik gembala yang terluka'.
Keempat, pengangkatan jiwa dan sikap mendengarkan sabda yang memanggil dan memberdayakan, memungkinkan seseorang menjawab panggilan yang lebih besar dan menerima tanggung jawab dengan penuh kesadaran. Dengan fondasi empat titik pijak ini, seseorang mampu menghadapi ketegangan hidup dengan bijaksana dan mengembangkan diri dalam harmoni dengan eksistensi yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Dari tingkat kesadaran diri yang mendalam, manusia melalui rekonsiliasi diri menemukan panggilan untuk ambil bagian dalam menjalankan misi kebaikan, dengan tekad menyelamatkan jiwa-jiwa melalui berbagai bentuk karya yang memberdayakan dan memanusiakan manusia, baik dalam bidang pendidikan maupun sosial.
Ilustrasi kesadaran diri, gerak maju demi nilai-nilai luhur yang diperjuangkan, sumber:Pexels.
Dalam analisis Bernstein (dalam quotlr.com, 2024), misi setiap orang yang memiliki niat baik adalah untuk dengan tekun menegaskan, walaupun berisiko menjadi repetitif dan membosankan, namun tetap konsisten dalam menyoroti pencapaian dunia di mana kekuatan pikiran mampu mengatasi berbagai persoalan. Niat baik seseorang, perlu diangkat pada kesadaran diri manusiawi.
Kesadaran diri menjadi landasan penting, mengingatkan bahwa setiap individu, sebagai makhluk yang diutus oleh yang Ilahi, diciptakan dengan keunikan tertentu dan dipanggil untuk melaksanakan kebaikan yang dapat dipertanggungjawabkan. Melalui kesadaran ini, seseorang menjadi tahu dan mengerti di mana posisi dan peran dirinya dalam dunia.
ADVERTISEMENT
Sadar diri tentang tempat dan peran pribadi membantu seseorang memfokuskan energi dan perhatian pada apa yang sedang dilakukan di dunia. Dengan pemahaman yang jelas tentang siapa dirinya pada tempat tertentu, individu tersebut mampu mengembangkan potensi dirinya dan siap sedia melayani dengan tulus sesuai dengan perutusan dan tanggung jawab yang melekat pada posisi dan lingkungan.
Kesadaran demikian tidak hanya mengubah desolasi atau kekeringan rohani yang mungkin timbul karena kerapuhan diri, melainkan juga menjadikannya sebagai hiburan rohani yang memperkuat, memberikan daya tahan untuk tumbuh dan berkembang di tengah situasi dan kondisi yang mungkin menantang.
Dengan demikian, kesadaran diri menjadi inti dalam mengarahkan individu untuk berkontribusi pada kebaikan dan menghadapi ketegangan hidup dengan kepala tegak. Keberanian sebagai saksi kebaikan untuk menghadapi kerentanan, bersinergi dengan panggilan Ilahi, dan mengintegrasikan diri dalam konteks kehidupan menjadi fondasi bagi seseorang untuk menjadi agen perubahan yang memancarkan cahaya kebaikan di dalam keberadaan di dunia.
ADVERTISEMENT