Konten dari Pengguna

Pak Anwar dan Sekolah yang Terlupakan

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
6 Februari 2025 9:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sekolah, di balik harapan yang nampak, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sekolah, di balik harapan yang nampak, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Sekolah itu bernama SMA Bina Harapan. Ironis, karena harapan sudah lama pudar dari tempat itu. Di bawah kepemimpinan Pak Frans dan Bu Diana, sekolah itu berjalan seperti kapal yang kehilangan arah. Perkelahian antar murid, bolos massal, dan skandal keuangan yang berulang menjadi pemandangan biasa.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi semuanya seakan tertutupi oleh laporan administratif yang kelihatan sempurna di atas kertas. Guru-guru lain sudah lama memilih diam, karena mereka tahu, berbicara hanya akan membawa masalah.
Namun, semua mulai berubah ketika Pak Anwar datang.
Sebagai guru baru, Pak Anwar bukan orang sembarangan. Ia memiliki reputasi sebagai seorang pendidik tegas dan berintegritas. Tapi juga realistis; ia tahu bahwa melawan sistem yang sudah rusak bukan perkara mudah. Sejak hari pertama, ia melihat ketidakberesan di sekolah tersebut. Murid datang terlambat tanpa sanksi, guru-guru mengajar seadanya, bahkan ada kabar bahwa beberapa murid bisa "membeli" nilai dengan sejumlah uang.
"Pak Anwar, jangan terlalu berambisi," kata Bu Ratna, guru matematika senior, suatu sore di ruang guru. "Kami sudah bertahun-tahun di sini. Sudah banyak yang mencoba memperbaiki keadaan, tapi akhirnya menyerah."
ADVERTISEMENT
Pak Anwar hanya tersenyum. "Kalau semua diam, kapan sekolah ini akan berubah?"
Hari demi hari, Pak Anwar mencoba menanamkan disiplin di kelasnya. Ia memastikan tidak ada murid yang bolos dari mata pelajarannya. Menegur murid yang tidak serius belajar, dan bahkan mulai melakukan pendekatan kepada mereka yang sering terlibat masalah. Kendati demikian, upayanya tidak disukai semua orang. Beberapa guru melihat dirinya sebagai ancaman. Bu Diana, wakil kepala sekolah, mulai memperingatkan secara halus agar ia tidak "terlalu banyak ikut campur".
Tapi Pak Anwar tidak gentar. Ia semakin mendalami berbagai permasalahan yang terjadi.
Suatu hari, ia menemukan seorang murid bernama Reno, salah satu yang dikenal sering membuat onar. Reno ketahuan sedang merokok di belakang gedung sekolah. Alih-alih langsung menghukum, Pak Anwar malah mengajaknya berbicara.
ADVERTISEMENT
"Kenapa kamu seperti ini, Reno?"
Reno tertawa sinis. "Pak, sekolah ini nggak peduli sama kami. Kalau saya mau bolos, nggak ada yang peduli. Kalau saya mau berantem, nggak ada yang menghentikan. Lalu, kenapa sekarang Bapak tiba-tiba datang dan ingin mengubah semuanya?"
Jawaban itu menusuk hati Pak Anwar. Sekolah ini bukan hanya kehilangan disiplin, tetapi juga kehilangan kepercayaan para murid. Jika ingin mengubah keadaan, ia harus mengembalikan harapan kepada mereka.
Namun, di saat mulai meraih sedikit perubahan, ia mendapatkan ancaman. Malam itu, Pak Anwar menerima pesan anonim: "Jangan ikut campur urusan sekolah. Kamu hanya guru baru. Jika masih ingin aman, lebih baik diam."
Pak Anwar tahu, ini bukan sekadar ancaman kosong. Ada pihak-pihak yang tidak senang dengan kehadiran dirinya. Tapi diam bukan pilihan. Ia memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemudian, ia mendapatkan bukti bahwa dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) digunakan tidak semestinya. Buku dan alat belajar yang seharusnya dibeli ternyata tidak ada di sekolah. Sementara itu, laporan keuangan tetap terlihat rapi. Ia yakin, ini adalah permainan Pak Frans dan Bu Diana.
Pak Anwar menghadapi dilema besar. Jika melaporkan ini ke dinas pendidikan, kemungkinan besar ia akan mendapat masalah. Tapi jika ia tetap diam, ketidakadilan akan terus berlangsung, dan murid-murid akan tetap dirugikan.
Setelah berpikir matang, Pak Anwar memutuskan untuk bertindak. Ia mengumpulkan beberapa guru yang masih memiliki kepedulian, termasuk Bu Ratna. Mereka menyusun laporan dengan bukti yang cukup kuat, lalu mengirimkan semuanya ke pihak berwenang.
Beberapa minggu kemudian, tim inspektorat pendidikan datang untuk melakukan audit. Ketika hasil audit diumumkan, terbukti bahwa ada penyalahgunaan dana yang terjadi selama bertahun-tahun. Pak Frans dan Bu Diana dipanggil untuk pertanggungjawaban. Dalam waktu singkat, keduanya dicopot dari jabatan mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, perjuangan Pak Anwar belum selesai. Sekolah masih dalam kondisi kacau, dengan murid-murid yang tetap skeptis dan sebagian besar guru yang masih ragu untuk berubah. Situasi ini mencerminkan betapa sulitnya mengubah sistem yang sudah mengakar selama bertahun-tahun. Meskipun begitu, satu langkah besar telah diambil.
Pak Anwar telah menunjukkan keberanian dan tekad membawa perubahan, meskipun jalannya masih panjang dan penuh tantangan. Di tengah atmosfer yang masih dipenuhi ketidakpastian, ada secercah harapan yang mulai tumbuh, meski kecil dan rapuh.
Hari itu, Reno datang ke ruang guru dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya. Ia menatap Pak Anwar, bukan lagi dengan keraguan, melainkan dengan rasa hormat yang baru tumbuh. "Pak, saya kira Bapak cuma omong kosong seperti yang lain. Tapi ternyata, Bapak benar-benar berani. Saya harap, sekolah ini bisa jadi lebih baik," katanya dengan nada yang tulus.
ADVERTISEMENT
Pak Anwar tersenyum mendengar kata-kata itu. "Itu harapan kita semua, Reno. Dan perubahan itu dimulai dari kita sendiri," jawabnya mantap. SMA Bina Harapan belum sepenuhnya pulih, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Meskipun demikian di tengah semua ketidakpastian, ada satu hal yang kini semakin jelas, yakni harapan itu mulai kembali hidup.