Konten dari Pengguna

Paus Fransiskus: Gembala Murah Hati Telah Kembali ke Rumah Bapa

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
21 April 2025 17:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perjumpaan dengan Paus Fransiskus, sumber: Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Perjumpaan dengan Paus Fransiskus, sumber: Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
Kepergian Paus Fransiskus ke Rumah Bapa, Senin 21 April 2025 meninggalkan duka mendalam bagi umat Katolik di seluruh dunia. Duka ini bukan sekadar karena wafatnya seorang Paus, melainkan karena berpulangnya sang gembala yang telah mengubah wajah Gereja dengan ketulusan, kesederhanaan, dan keberanian moralnya.
ADVERTISEMENT
Bagi saya pribadi, mengingat beliau berarti mengenang momen-momen istimewa ketika saya diberi rahmat bertemu langsung dengannya, baik di Vatikan maupun saat kunjungan paus ke Jakarta.
Dalam dua perjumpaan itu, saya merasakan pancaran kasih yang tidak dibuat-buat. Beliau hadir bukan sebagai penguasa Vatikan, tetapi sebagai seorang sahabat iman yang menatap dengan mata penuh belas kasih dan menyapa dengan ketulusan yang menyentuh lubuk hati terdalam.
Dalam kedua momen membekas itu, saya menyaksikan bagaimana aura kesucian dan kelembutan menjelma dalam setiap geraknya. Paus Fransiskus tidak sekadar memberi berkat; beliau menyapa setiap pribadi dengan kedekatan luar biasa.
Tatapannya teduh, suaranya hangat namun mantap, dan cara beliau memperlakukan setiap orang—baik rohaniwan, umat biasa, atau bahkan orang yang sakit dan terpinggirkan—menjadi cermin dari spiritualitas Ignatian yang telah lama menjadi napas hidupnya.
ADVERTISEMENT
Dalam dirinya, tampak bahwa kekudusan bukanlah sesuatu yang eksklusif atau jauh, tetapi hadir nyata dalam kerendahan hati, dalam tindakan kecil penuh makna, dan dalam kehadiran yang membuat siapa pun merasa dihargai dan didengarkan.
Jorge Mario Bergoglio (dalam britannica.com) lahir di Buenos Aires pada 17 Desember 1936, dari keluarga imigran Italia sederhana. Masa mudanya ditandai oleh semangat kerja keras dan keteguhan iman.
Sebelum masuk seminari, ia menempuh pendidikan sebagai teknisi kimia dan sempat bekerja di industri makanan. Akan tetapi di usia sekitar 21 tahun, sebuah penyakit serius menyerang hingga sebagian paru-parunya harus diangkat. Dari situ, jalan hidupnya berubah.
Bergoglio masuk Serikat Yesus pada tahun 1958, menempuh studi filsafat dan teologi dengan tekun, serta menunjukkan kapasitas intelektual dan spiritual mendalam. Ia kemudian mengajar sastra dan psikologi di SMA sembari menempuh studi lanjutan, sebelum ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1969 dan mengikrarkan kaul akhir Jesuit pada tahun 1973.
ADVERTISEMENT
Masa kepemimpinannya sebagai provinsial Jesuit Argentina (1973–1979) terjadi di tengah gejolak politik berbahaya. Di bawah rezim militer Jorge Rafael Videla, Argentina dilanda “Perang Kotor” yang menyebabkan ribuan orang hilang dan dibunuh secara sistematis.
Dalam situasi penuh ancaman ini, Pater Bergoglio berusaha melindungi sejumlah orang dari kejaran militer, meski kemudian muncul kontroversi mengenai dua imam Jesuit yang sempat diculik dan kemudian ditemukan dalam keadaan tidak sadar.
Tuduhan terhadap dirinya sempat muncul, namun Bergoglio membantah telah bekerja sama dengan rezim, dan pengadilan akhirnya menolak gugatan tersebut. Di balik kontroversi itu, beliau terus menjalani pelayanannya dengan penuh tanggung jawab, memperjuangkan keadilan dengan cara yang tidak mencolok tapi efektif.
Perutusan dirinya secara lebih besar berlanjut dengan menjadi uskup bantu Buenos Aires pada 1992 dan kemudian diangkat sebagai Uskup Agung pada 1998. Pada 2001, ia diangkat sebagai kardinal, dan saat itu pula mulai dikenal luas sebagai sosok berbeda.
ADVERTISEMENT
Beliau menolak tinggal di istana uskup, memilih hidup sederhana di apartemen kecil, memasak sendiri makanannya, dan bepergian dengan bus umum. Ia menjadi figur keuskupan yang dekat dengan rakyat kecil, tidak segan berjalan kaki menelusuri jalan-jalan kumuh Buenos Aires, dan berbicara dengan warga tersisih. Gaya hidupnya kontras dengan citra hirarki “Gereja mewah” justru memperkuat wibawa dirinya sebagai pemimpin rohani otentik dan penuh kasih.
Terpilih sebagai Paus pada 13 Maret 2013, Bergoglio mengambil nama “Fransiskus”—sebuah pilihan simbolis yang mencerminkan panggilan merendahkan diri, mencintai orang miskin, dan menghormati alam ciptaan.
Beliau merupakan Paus pertama dari Amerika Selatan, dari benua Amerika, dan dari Serikat Yesus. Sejak awal, Paus menolak protokol mewah Vatikan, memilih tempat tinggal sederhana di Casa Santa Marta dan menggunakan kendaraan biasa untuk mobilitasnya. Lebih dari sekadar simbolisme, sikapnya itu menjadi awal dari reformasi moral dalam kepemimpinan Gereja: membawa Gereja dari menara gading ke jalanan, dari legalisme menuju belas kasih.
ADVERTISEMENT
Paus Fransiskus dikenal dunia sebagai pemimpin spiritual yang tidak takut berbicara tentang isu-isu besar, mulai dari perihal ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, hingga perlunya dialog lintas agama. Ensiklik Laudato si’ pada 2015 menjadi tonggak besar dalam ajaran sosial Gereja, menyerukan pertobatan ekologis dan mengkritik habis-habisan gaya hidup konsumeristik yang merusak bumi.
Di samping itu, beliau menunjukkan keberanian moral luar biasa dengan meminta maaf secara resmi kepada para korban pelecehan seksual oleh imam, mengakui kelalaian institusi Gereja, dan menyerukan pertobatan serta reformasi struktural mendalam. Dalam banyak kunjungannya ke negara-negara yang terluka oleh perang dan krisis, Paus Fransiskus menjadi simbol harapan dan penyembuhan.
Sebagai seorang gembala, Paus Fransiskus menolak dikultuskan. Beliau lebih memilih duduk bersama orang miskin, memeluk anak-anak pengungsi, mencium penderita penyakit kulit, dan membasuh kaki para narapidana. Beliau juga menyederhanakan liturgi, memperlunak pendekatan Gereja terhadap umat LGBTQ, serta membuka ruang dialog teologis lebih segar dan bersahabat.
ADVERTISEMENT
Paus Fransiskus bukan pemimpin yang menghakimi dari jauh, tetapi seorang ayah rohani yang memeluk umatnya dengan kehangatan yang menyembuhkan. Ketika beliau berkata “Siapa saya yang menghakimi?”, itu bukan relativisme moral, melainkan ekspresi dari iman yang telah matang—iman yang mengenal belas kasih Tuhan sebagai pusat dari seluruh hukum dan perintah.
Kini, ketika Paus Fransiskus kembali ke Rumah Bapa, dunia kehilangan tokoh suci yang lembut, namun “Rumah Bapa” pastilah bersukacita menyambutnya. Beliau telah menyelesaikan perlombaan dengan baik, menjaga iman dengan teguh, dan melayani dengan segenap hatinya. Warisannya tak akan pudar dalam sejarah Gereja.
Paus Fransiskus telah meninggalkan jejak mendalam dalam hati para miskin, para pencari kebenaran, dan siapa pun yang merindukan Gereja lebih manusiawi, inklusif, dan relevan dengan zaman. Lebih dari sekadar Paus, beliau adalah ikon moral dunia modern, jembatan antara tradisi dan pembaruan, dan wajah belas kasih Allah di tengah dunia yang terluka.
ADVERTISEMENT
"Requiescat in pace, Papa Fransiskus. Terima kasih atas semua yang telah engkau berikan. Dalam hidupmu, kami melihat gambaran tentang Kristus yang merendahkan diri untuk menyelamatkan, yang hadir di tengah umat, dan yang tidak lelah menyuarakan harapan dalam dunia yang sering kehilangan arah. Engkau tidak hanya membicarakan Injil, tetapi juga menjalaninya—dalam kesederhanaan, dalam keberanian, dan dalam kasih tanpa syarat. Semoga engkau berbahagia di surga, dan tetap mendoakan kami yang masih berziarah di tengah-tengah dunia."