Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Paus Leo XIV dan Arah Baru Kepausan
10 Mei 2025 11:46 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pemilihan Leo XIV sebagai Paus baru Gereja Katolik merupakan peristiwa penting dalam sejarah gereja universal, dan menggambarkan arah baru dalam dinamika kepemimpinan rohani dan pastoral umat Katolik di abad ke-21.
ADVERTISEMENT
Sebagai Paus pertama dari Ordo Agustinus dan Paus kedua dari Benua Amerika (Utara dan Latin) setelah Paus Fransiskus, Robert Francis Prevost membawa serta harapan besar bagi kesinambungan visi reformis yang telah dijalankan selama lebih dari satu dekade terakhir. Akan tetapi lebih dari itu, Leo XIV menjadi simbol konkret akan semangat globalisasi Gereja, kebangkitan spiritualitas ordo dalam kepemimpinan tertinggi, dan pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran.
Lahir pada 14 September 1955 di Chicago, Illinois, dari pasangan Louis Marius Prevost dan Mildred Martínez, Leo XIV tumbuh dalam keluarga multikultural yang menggabungkan warisan Prancis, Italia, dan Spanyol.
Pendidikan awalnya di bidang matematika dan filsafat menunjukkan kapasitas intelektual luas dan mendalam, namun panggilan sejatinya ditemukan saat bergabung dengan Ordo Santo Agustinus (O.S.A.). Beliau kemudian melanjutkan studi teologi dan hukum kanon di Roma, di mana ditahbiskan sebagai imam pada usia 26 tahun.
ADVERTISEMENT
Namun yang paling membedakan Leo XIV dari banyak tokoh gereja lainnya adalah pengabdiannya sebagai misionaris di Peru selama hampir dua dekade. Dari komunitas miskin di Trujillo hingga pelayanan pastoral intensif di daerah pinggiran, beliau menjelma menjadi sosok gembala yang sungguh mengakar dalam kehidupan umat.
Peranannya sebagai prior komunitas, direktur pembinaan, vikaris yudisial, hingga profesor seminari memperlihatkan keterampilan multiaspek—spiritual, administratif, edukatif, dan pastoral. Di tengah masyarakat yang berjuang melawan kemiskinan dan ketidaksetaraan, Leo XIV hadir bukan sebagai pejabat gereja yang berjarak, tetapi sebagai sahabat dan pelayan umat.
Pengangkatan Leo XIV sebagai Paus dari Amerika Utara memiliki makna simbolis dan strategis. Secara historis, takhta kepausan di waktu silam kebanyakan berasal dari tokoh-tokoh dari Eropa, khususnya Italia. Namun sejak terpilihnya Jorge Mario Bergoglio dari Argentina sebagai Paus Fransiskus pada 2013, terjadi perubahan besar dalam penekanan gereja terhadap pentingnya wilayah-wilayah non-Eropa.
ADVERTISEMENT
Pilihan terhadap Leo XIV menegaskan bahwa masa depan Gereja tidak lagi semata-mata ditentukan oleh pusat, tetapi justru tumbuh dan berkembang dari pinggiran—wilayah-wilayah yang selama ini kerap terlupakan namun kini menjadi jantung denyut kehidupan iman Katolik.
Leo XIV bukan hanya wakil dari realitas Amerika Utara, tetapi juga representasi dari jaringan misi global yang hidup. Beliau adalah jembatan antara dunia Utara dan Selatan, antara gereja modern yang menghadapi sekularisme di Barat dan dinamika gereja misioner di Amerika Latin.
Kepemimpinannya memungkinkan terjadinya dialog yang lebih seimbang antara berbagai konteks lokal Gereja, serta menjanjikan pendekatan lebih partisipatif, kontekstual, dan inklusif terhadap tantangan zaman.
Sebagai Paus pertama dari ordo Agustinus, spiritualitas Leo XIV sangat ditandai oleh semangat Santo Agustinus, terutama dalam hal pencarian kebenaran melalui kasih dan komunitas. Moto episkopalnya, In Illo uno unum (“dalam yang satu, kita menjadi satu”), merujuk langsung pada khotbah Santo Agustinus tentang Mazmur 127, yang menekankan bahwa kesatuan umat tidak terletak pada keseragaman, melainkan pada keterikatan pada Kristus yang satu.
ADVERTISEMENT
Spiritualitas ini memberikan dasar teologis yang kuat bagi gaya kepemimpinan Paus baru—bukan sebagai penguasa tertinggi yang otoriter, melainkan sebagai pemersatu, peneguh, dan pendamping dalam perjalanan iman umat.
Dalam konteks dunia yang makin terpolarisasi, pesan persatuan dalam Kristus menjadi sangat relevan. Beliau mengingatkan umat bahwa di tengah perbedaan latar belakang, bahasa, budaya, dan ideologi, identitas Kristiani tetap dapat menyatukan dan memberi arah hidup.
Jabatan strategis yang diemban Leo XIV sebelum pemilihannya sebagai Paus menunjukkan bahwa beliau telah lama menjadi bagian dari formatio visi jangka panjang. Diangkat sebagai Prefek Dicastery untuk Para Uskup, anggota Kongregasi untuk Klerus dan Para Uskup, serta Presiden Komisi Kepausan untuk Amerika Latin, beliau menjadi figur penting dalam reformasi struktural Gereja, terutama dalam hal seleksi dan pembinaan para uskup yang lebih pastoral, sederhana, dan dekat dengan umat.
ADVERTISEMENT
Pengangkatannya sebagai Kardinal pada 2024 dalam Konsistori Vatikan semakin mengukuhkan posisinya sebagai calon kuat untuk melanjutkan visi gereja yang lebih sinodal dan terlibat. Dalam arti ini, kepemimpinan Leo XIV bukanlah pemutusan dari Paus sebelumnya, melainkan kesinambungan—namun dengan gaya, warna spiritual, dan konteks pengalaman yang berbeda.
Tentu saja, tantangan besar menanti Leo XIV. Dunia Katolik menghadapi berbagai persoalan serius, antara lain penurunan jumlah imam dan umat di banyak negara Barat, krisis kepercayaan akibat berbagai skandal, perdebatan internal seputar ajaran moral, hingga kebutuhan untuk berdialog secara lebih terbuka dengan dunia modern.
Di tengah semuanya itu, Leo XIV diharapkan dapat menjadi gembala bijak, reformis yang konsisten, dan pemimpin rohani yang tetap mengakar pada Injil Kristus.
ADVERTISEMENT
Namun justru karena latar belakang dan pengalamannya yang luas—baik di bidang akademik, pastoral, maupun administratif—Leo XIV memiliki bekal yang tidak kecil untuk menjawab tantangan-tantangan ini.
Beliau mengetahui dan mengerti bagaimana mencintai Gereja bukan hanya dalam bentuknya yang ideal, tetapi dalam realitasnya yang kompleks dan terkadang menyakitkan. Beliau telah hidup bersama umat miskin, memimpin dalam struktur hirarki, dan membentuk para calon imam. Beliau bukan hanya pemikir gereja, tetapi pelaku di lapangan.
Sebagai catatan akhir, kepemimpinan Paus Leo XIV adalah penanda era baru dalam perjalanan Gereja Katolik. Beliau menggabungkan semangat Agustinus, pengalaman misioner, dan visi global dalam satu pribadi.
Dalam dirinya, kita melihat kemungkinan baru bagi Gereja yang lebih mendengarkan, lebih melayani, dan lebih bersatu. Dunia Katolik kini menatap kepemimpinan baru dengan harapan, bahwa Gereja tidak sekadar bertahan di tengah zaman yang berubah, tetapi benar-benar menjadi tanda keselamatan dan persaudaraan sejati bagi seluruh umat manusia.
ADVERTISEMENT