Konten dari Pengguna

Pendidikan sebagai Landasan Legislatif dalam Karya Platon

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
22 Agustus 2024 11:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto patung Platon, sumber: Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto patung Platon, sumber: Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang Platon, karya The Republic ditujukan untuk membangun sistem pendidikan yang kuat. Pendidikan bagi Platon (dalam Jaeger, 1986) merupakan proses menyeluruh yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan moral manusia, sebuah konsep yang disebut paideia. Hubungan antara pendidikan dan paideia, Platon memperdalam gagasan tentang bagaimana pendidikan dapat mengarahkan individu menuju kebajikan tertinggi.
ADVERTISEMENT
Platon lebih jauh juga membahas pentingnya keadilan dalam jiwa individu dan negara. Pendidikan dianggap sebagai sarana dalam menghasilkan harmoni dalam diri individu, sehingga menghasilkan masyarakat yang adil dan bijaksana. Dengan demikian, bagi Platon, pendidikan adalah fondasi utama bagi pembangunan negara yang ideal.
Dalam konteks perdebatan modern tentang peran pendidikan dalam masyarakat, karya-karya klasik seperti "The Republic" dan "The Laws" oleh Platon menawarkan perspektif yang mendalam dan relevan. Kedua karya ini, meskipun berbeda dalam pendekatan dan tujuan, menggarisbawahi pentingnya pendidikan sebagai fondasi bagi legislatif dan pengaturan masyarakat yang ideal.
Platon dalam "The Republic" menggambarkan sebuah dunia ideal di mana pendidikan begitu sempurna sehingga hukum menjadi tidak diperlukan. Dalam masyarakat utopis, setiap warga negara telah dibentuk sejak lahir untuk memahami dan mengejar kebaikan tertinggi, sehingga mereka secara otomatis akan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etika. Dalam pandangan ini, pendidikan menjadi alat utama guna mencapai keharmonisan sosial, dengan asumsi bahwa jika individu dibentuk dengan benar, maka kebutuhan akan aturan eksternal akan berkurang atau bahkan hilang.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam "The Laws," Platon tampaknya mengakui realitas yang lebih kompleks. Di sini, dia tidak lagi berasumsi bahwa pendidikan sempurna dapat menggantikan kebutuhan akan hukum. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa hukum tetap diperlukan, tetapi peran utamanya perlu diubah dari sekadar instrumen pencegahan dan hukuman menjadi alat pendidikan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, Platon (dalam Jaeger, 1986) menyarankan bahwa hukum perlu dirancang tidak hanya mengatur tindakan tetapi juga mendidik warga negara, membimbing mereka menuju pemahaman lebih dalam tentang keadilan dan kebajikan.
Platon (dalam Jaeger, 1986) membedakan antara dua jenis pembuat hukum: legislator buruk, yang dia bandingkan dengan dokter “budak”, dan legislator baik, yang mirip dengan dokter manusia bebas. Legislator yang buruk bertindak seperti dokter “budak” yang memberi resep tanpa diagnosis memadai, hanya mengikuti praktik yang sudah ada atau berdasarkan pengalaman pribadi. Sebaliknya, legislator baik, seperti dokter manusia bebas, tidak hanya berusaha menyembuhkan pasien tetapi juga mengajarkan mereka dalam memahami penyebab penyakit mereka, sehingga pasien dapat menjadi lebih sadar akan kesehatannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Analogi ini sangat relevan dalam konteks legislatif modern. Legislator yang hanya berfokus pada penerapan hukuman tanpa memberikan pemahaman kepada warga negara tentang alasan di balik hukum tersebut akan gagal dalam jangka panjang. Sebaliknya, seorang legislator baik, menjadi pendidik yang membimbing masyarakat dalam memahami dan menginternalisasi prinsip-prinsip moral yang mendasari hukum.
Dalam "The Laws," Platon mengambil pendekatan lebih praktis dengan mengakui bahwa hukum adalah komponen yang tak terpisahkan dari kehidupan negara, tetapi dia juga menekankan bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat pendidikan. Dalam hal ini, Platon (dalam Jaeger, 1986) melihat legislasi sebagai perpanjangan dari pendidikan, di mana hukum bukan hanya untuk menghukum tetapi juga mencegah tindakan salah dengan mengajarkan warga negara tentang pentingnya hidup sesuai dengan nilai-nilai kebajikan.
ADVERTISEMENT
Pergeseran ini menunjukkan kematangan dalam pemikiran Platon. Dari idealisme "The Republic," di mana pendidikan sempurna dianggap dapat menggantikan hukum, hingga realisme "The Laws," di mana hukum menjadi instrumen guna memperkuat pendidikan. Dengan demikian, "The Laws" mengusulkan bahwa legislasi efektif perlu didasarkan pada prinsip-prinsip pendidikan, menjadikannya lebih dari sekadar serangkaian aturan tetapi sebagai cara efektif membentuk karakter warga negara.
Sebagai catatan akhir, karya Platon menggarisbawahi pentingnya pendidikan sebagai landasan bagi legislatif efektif. Dalam dunia yang semakin kompleks dan plural, peran legislatif sebagai pendidik masyarakat menjadi semakin penting. Hukum tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga dapat membimbing masyarakat menuju pemahaman lebih baik tentang keadilan dan kebajikan, dengan demikian menjadikan pendidikan sebagai inti dari setiap sistem hukum yang berkelanjutan dan adil.
ADVERTISEMENT