Konten dari Pengguna

Quo Vadis Lembaga Pendidikan Katolik dalam Menjawab Tantangan Zaman

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
16 November 2024 18:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu kegiatan siswa di sekolah Katolik, sumber: dok. Strada.
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu kegiatan siswa di sekolah Katolik, sumber: dok. Strada.
ADVERTISEMENT
Paus Fransiskus dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa lembaga pendidikan Katolik harus menjadi saksi hidup bagi nilai-nilai Kristiani di tengah dunia yang terus berubah. Harapan beliau agar lembaga tersebut mampu memberikan akses pendidikan bermutu prima, menjadi ruang bagi pembentukan karakter, menghargai keberagaman, dan menjawab tantangan zaman, sejatinya bukan hanya sebuah visi ideal, tetapi juga tantangan nyata yang membutuhkan refleksi mendalam dan langkah strategis (Evangelii Gaudium, 2013). Pertanyaannya, quo vadis—ke mana arah lembaga pendidikan Katolik di era modern ini?
ADVERTISEMENT
Pendidikan Bermutu Prima, dan Terbuka
Dalam dokumen Gravissimum Educationis (1965), Konsili Vatikan II menegaskan bahwa pendidikan Katolik harus menyediakan pendidikan berkualitas kepada semua, tanpa memandang latar belakang sosial-ekonomi. Paus Fransiskus memperkuat pesan tersebut dengan menyerukan agar lembaga pendidikan Katolik membuka pintu bagi semua, khususnya bagi mereka yang terpinggirkan.
Akan tetapi realitas menunjukkan tantangan besar dalam mengimplementasikan akses keterbukaan. Beberapa lembaga Katolik di dunia terjebak dalam eksklusivitas karena tekanan ekonomi atau tuntutan masyarakat kelas tertentu yang mendominasi demografi siswa. Dalam konteks ini, pembaruan strategi seperti skema subsidi silang atau kemitraan strategis menjadi langkah penting agar mereka yang kurang mampu tetap dapat menikmati pendidikan berkualitas.
Cura Personalis
Konsep cura personalis, atau perawatan individu secara menyeluruh, merupakan salah satu prinsip dasar dalam pendidikan Katolik yang berakar pada tradisi Ignatian. Pedro Arrupe (1973), Superior Jenderal Serikat Yesus pada waktu itu, menekankan bahwa pendidikan Katolik harus melampaui transfer pengetahuan semata. Pendidikan tersebut dapat menghasilkan "manusia bagi sesama"—pribadi yang berkomitmen pada pelayanan dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Pendekatan demikian mengarahkan lembaga pendidikan Katolik agar dapat lebih fokus pada pembentukan karakter dan pendampingan personal. Dalam praktiknya, hal ini dapat diterjemahkan dalam program mentoring, kegiatan konseling, serta kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai humanistik dan spiritual.
Semangat Disiplin dan Sikap Hidup Baik
Tradisi disiplin dan pembentukan sikap hidup baik adalah salah satu keunggulan lembaga pendidikan Katolik. Carlo Maria Martini (1997), seorang teolog ternama, menekankan pentingnya pendidikan Katolik dalam membangun kedewasaan intelektual dan moral siswa. Semangat disiplin ini tidak hanya soal kepatuhan pada aturan, tetapi juga pengembangan tanggung jawab pribadi dan kolektif.
Dalam konteks modern, semangat disiplin dapat menjadi antidot bagi budaya instan dan permisif yang banyak ditemui di masyarakat. Siswa didorong mengembangkan etos kerja keras, ketekunan, dan rasa hormat terhadap sesama—nilai-nilai yang semakin relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi.
ADVERTISEMENT
Menghargai Keberagaman dan Pluralitas
Paus Fransiskus dalam berbagai ajarannya sering berbicara tentang dialog antarbudaya dan pentingnya menghargai keberagaman (Fratelli Tutti, 2020). Pendidikan Katolik dapat menjadi ruang di mana pluralitas dihormati dan keberagaman dirayakan. Hal ini sejalan dengan semangat Nostra Aetate (1965), yang menyerukan dialog dengan agama dan budaya lain.
Akan tetapi di beberapa tempat, masih ada tantangan dalam mengintegrasikan semangat pluralitas ini, terutama di wilayah dengan dominasi satu kelompok budaya atau agama tertentu. Lembaga pendidikan Katolik perlu memastikan bahwa nilai-nilai ini diterapkan tidak hanya dalam retorika, tetapi juga dalam praktik sehari-hari, baik melalui kurikulum inklusif maupun pengalaman lintas budaya yang nyata.
Ruang Belajar Seluas-Luasnya
Era digital menghadirkan tantangan sekaligus peluang besar bagi lembaga pendidikan Katolik. Memberikan ruang belajar seluas-luasnya berarti memanfaatkan teknologi guna membuka akses lebih inklusif, sambil tetap menjaga keseimbangan antara penggunaan teknologi dan pembentukan karakter.
Usai diskusi, quo vadis lembaga pendidikan Katolik di Sekolah Perubahan. Salah satu kajiannya, terkait sekolah Katolik unggul yang terbuka pada ruang belajar seluas-luasnya. sumber: dok. Pribadi.
Dalam dokumen Laudato Si’ (2015), Paus Fransiskus mengingatkan bahwa teknologi perlu digunakan demi memajukan martabat manusia, bukan hanya sebagai alat efisiensi. Lembaga pendidikan Katolik dapat memanfaatkan platform pembelajaran daring dalam mempromosikan kolaborasi, tanggung jawab, dan solidaritas, tanpa kehilangan dimensi humanistik.
ADVERTISEMENT
Membentuk Kader Kebaikan
Pedro Arrupe (1973) berbicara tentang pendidikan Katolik sebagai sarana pembentukan kader yang tidak hanya berkompeten, tetapi juga memiliki kepekaan hati terhadap penderitaan sesama. Pendidikan Katolik harus menghasilkan individu yang mampu menjadi agen perubahan di berbagai bidang kehidupan.
Pandangan ini didukung oleh Carlo Maria Martini (1990), yang percaya bahwa pendidikan adalah jalan untuk menghasilkan pribadi yang mampu membaca tanda-tanda zaman dan merespons dengan bijaksana. Dalam dunia yang semakin kompleks, pendidikan Katolik perlu menghasilkan pemimpin yang memiliki integritas, empati, dan visi yang mampu menjadikan dunia lebih adil.
Catatan Akhir
Quo vadis lembaga pendidikan Katolik? Jawabannya tentu saja terletak pada kemampuan untuk beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Pendidikan Katolik perlu terus menjadi pelita nilai-nilai Kristiani yang dapat diterima secara universal, sambil merangkul perubahan zaman dengan bijaksana. Hal ini membutuhkan komitmen dalam memberikan akses pendidikan inklusif, membangun karakter siswa dengan cura personalis, dan menjawab tantangan digital dengan tetap menghargai keberagaman.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana ditegaskan oleh Paus Fransiskus, lembaga pendidikan Katolik dipanggil menjadi “laboratorium dialog dan perjumpaan” (Fratelli Tutti, 2020). Dengan memegang teguh nilai-nilai kebaikan, pendidikan Katolik dapat terus relevan dan berdampak dalam membentuk generasi masa depan yang siap menjadi manusia bagi dan bersama sesama.