Konten dari Pengguna

Refleksi Perang Peloponnesian dalam Perspektif Thucydides

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
18 November 2024 8:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi, kesiapan perang, di era klasik Yunani, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi, kesiapan perang, di era klasik Yunani, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Awalnya, saya tidak sengaja meminjam buku di perpustakaan salah satu kampus di Jakarta. Kesalahan ini justru menjadi momen tidak terduga ketika saya mulai tertarik membaca buku tersebut. Judulnya The Peloponnesian War, sebuah karya klasik dengan tebal 516 halaman, diterbitkan pada tahun 1951. Di tengah kesibukan, saya mendapati diri tergerak menyelami halaman-halamannya, merasakan daya tarik sejarah yang dituturkan dengan detail dan kedalaman analisis.
ADVERTISEMENT
Perang Peloponnesian (431–404 SM) menjadi tema utama dalam buku ini, sebuah konflik monumental dalam sejarah Yunani Kuno. Thucydides, seorang sejarawan yang juga menjadi saksi mata, menuliskan catatan yang tidak hanya faktual, tetapi juga kaya akan refleksi.
Thucydides mengisahkan persaingan antara Athena dengan Liga Delian-nya melawan Sparta yang memimpin Liga Peloponnesian. Melalui karya ini, dia menghadirkan tidak hanya kronologi peristiwa, tetapi juga analisis mendalam mengenai penyebab perang, strategi yang digunakan, dan dampaknya terhadap masyarakat kala itu.
Kekuatan karya tersebut terletak pada kemampuan menembus batas waktu. Thucydides tidak sekadar mencatat kejadian, tetapi juga mengeksplorasi dimensi moral dan politik dari konflik tersebut. Buku ini menjadi lebih dari sekadar dokumentasi sejarah.
ADVERTISEMENT
Sang penulis menawarkan pelajaran relevan hingga masa kini, terutama mengenai ambisi politik, kepemimpinan, dan dampak peperangan terhadap manusia dan peradaban. Membaca buku ini bukan hanya membuka wawasan, tetapi juga menantang dalam merenungkan bagaimana konflik serupa dapat memberikan cerminan bagi dunia modern.
Latar Belakang dan Penyebab Perang
Thucydides mengidentifikasi penyebab perang tersebut melalui lensa politik, ekonomi, dan psikologi kekuatan besar. Salah satu penyebab utama, yakni adanya peningkatan kekuasaan Athena setelah kemenangan mereka dalam Perang Persia.
Athena, melalui Liga Delian, membangun kekuatan maritim yang dominan dan menjadi pusat perdagangan serta budaya di dunia Yunani. Hal ini menimbulkan ketakutan di pihak Sparta, sebuah negara-kota yang didasarkan pada kekuatan militer darat dan nilai konservatif (Thucydides, 1951).
ADVERTISEMENT
Thucydides (1951) menyebut ketakutan Sparta terhadap ekspansi Athena sebagai penyebab mendasar perang ini. Dia menuliskan bahwa pertumbuhan kekuatan Athena, dan kekhawatiran yang ditimbulkannya di Lacedaemon, membuat perang tidak dapat dihindari. Selain itu, pertentangan ideologis antara dua negara-kota ini memperkeruh suasana. Athena mewakili demokrasi dan inovasi, sedangkan Sparta merupakan simbol oligarki dan stabilitas tradisional.
Faktor lainnya adalah konflik regional yang lebih kecil, seperti perseteruan antara Korintus dan Athena terkait koloni Korcyra (Corfu). Perselisihan ini menarik Liga Peloponnesian ke dalam konflik, karena Korintus merupakan sekutu penting Sparta. Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana perselisihan lokal dapat menjadi katalis bagi perang besar melalui aliansi yang terlibat.
Bukti peradaban Athena di masa silam, sumber; Pexels.
Jalannya Perang Secara Singkat
Perang Peloponnesian terbagi menjadi tiga fase utama: Perang Archidamian (431–421 SM), Perang Sisilia (415–413 SM), dan fase terakhir yang dikenal sebagai Dekelean War atau Perang Ionia (413–404 SM).
ADVERTISEMENT
Fase pertama dimulai dengan invasi Spartan ke Attica, wilayah Athena. Sparta menggunakan kekuatan darat untuk menghancurkan lahan pertanian, sementara Athena, dengan kekuatan maritim, melancarkan serangan laut ke wilayah-wilayah sekutu Sparta. Namun, Athena mengalami bencana besar akibat wabah penyakit yang melanda kota itu pada 430 SM, menewaskan hampir sepertiga penduduk, termasuk pemimpin karismatik Pericles.
Fase kedua ditandai oleh ekspedisi militer Athena ke Sisilia, yang bertujuan untuk menguasai Sirakusa, sekutu Sparta. Kampanye ini menjadi salah satu bencana militer terbesar dalam sejarah Athena. Armada besar mereka hancur, dan ribuan prajurit ditangkap atau dibunuh. Kekalahan ini melemahkan kekuatan militer dan moral Athena.
Fase terakhir melihat Sparta memperoleh dukungan dari Persia, yang menyediakan dana untuk membangun armada laut. Dengan kekuatan baru ini, Sparta mampu mengalahkan Athena di pertempuran laut penting seperti di Aegospotami pada 405 SM. Kekalahan ini memaksa Athena menyerah pada tahun 404 SM.
ADVERTISEMENT
Refleksi dari Perang Peloponnesian
Thucydides tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga memberikan analisis yang mendalam tentang sifat manusia, kekuasaan, dan politik. Dari perang ini, terdapat beberapa nilai refleksi yang dapat diambil:
Pertama-tama terkait keseimbangan kekuatan dan ketakutan. Salah satu pelajaran utama dari perang ini adalah pentingnya memahami dinamika kekuatan internasional. Ketakutan Sparta terhadap ekspansi Athena mencerminkan Thucydides Trap, istilah modern yang menggambarkan bagaimana kebangkitan kekuatan baru sering kali menimbulkan konflik dengan kekuatan yang sudah mapan. Dalam konteks global saat ini, pelajaran ini tetap relevan, terutama dalam hubungan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China.
Kedua, pemaknaan resiko imperialisme dan arogansi. Athena menunjukkan bagaimana imperialisme yang agresif dapat membawa kehancuran. Kegagalan ekspedisi Sisilia adalah contoh klasik dari kebijakan yang terlalu ambisius dan kurang perhitungan. Pemimpin Athena saat itu, seperti Alcibiades, sering didorong oleh hasrat akan kejayaan pribadi daripada kepentingan kolektif.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kerentanan demokrasi dalam perang. Perang juga mengungkap kerentanan demokrasi ketika dihadapkan pada tekanan perang. Athena, sebagai negara demokrasi, menunjukkan bagaimana emosi massa dapat mengarahkan keputusan yang fatal, seperti ekspedisi ke Sisilia. Kendati demikian, Thucydides tidak serta-merta mengutuk demokrasi; dia menyoroti pentingnya kepemimpinan yang bijaksana seperti Pericles, yang mampu menjaga kestabilan meski dalam situasi sulit.
Keempat, kehancuran moralitas dalam konflik. Perang ini juga memperlihatkan bagaimana konflik dapat merusak nilai-nilai moral dan sosial. Episode terkenal seperti Melian Dialogue menunjukkan pragmatisme ekstrem Athena, di mana mereka mengancam Melos dengan kehancuran jika tidak tunduk. Athena akhirnya menghancurkan Melos, membunuh semua pria dewasa, dan memperbudak perempuan serta anak-anak. Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa perang sering kali mengorbankan kemanusiaan demi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Catatan Akhir
Perang Peloponnesian, seperti dicatat oleh Thucydides, menjadi refleksi mendalam tentang sifat konflik manusia. Penyebabnya yang kompleks—meliputi ketakutan, ambisi, dan ideologi—memberikan wawasan tentang dinamika kekuasaan yang berlaku hingga saat ini.
Jalannya perang mengajarkan risiko dari ambisi imperialisme dan pentingnya kepemimpinan yang bijaksana. Sementara itu, kehancuran moralitas dalam perang mengingatkan kita akan perlunya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan bahkan di tengah konflik.
Sejarah ini bukan hanya catatan masa lalu, tetapi juga peringatan bagi generasi mendatang untuk memahami, mencegah, dan mengelola konflik secara bijaksana. Seperti yang dirangkum Thucydides (1951) sendiri, "History is philosophy teaching by examples".