Konten dari Pengguna

Revitalisasi Nasional Melalui Pendidikan Humanistik

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
19 April 2024 15:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi edukasi humanistik dinamis, dapat betumbuh walau ada perbedaan tingkat pendidikan setiap individu.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi edukasi humanistik dinamis, dapat betumbuh walau ada perbedaan tingkat pendidikan setiap individu.
ADVERTISEMENT
Revitalisasi nasional melalui pendidikan humanistik menekankan pentingnya pendekatan yang berorientasi pada pengembangan potensi manusia secara holistik.
ADVERTISEMENT
Pendidikan humanistik memandang manusia sebagai subjek yang memiliki kebebasan, otonomi, dan kemampuan untuk berkembang dalam segala aspek kehidupan.
Melalui pendidikan ini, individu diberdayakan untuk menjadi warga negara yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab, yang siap berkontribusi dalam memajukan bangsa.
Pendidikan humanistik mendorong pertumbuhan moral, etika, dan kecerdasan emosional, serta mempromosikan nilai-nilai universal seperti kasih sayang, keadilan, dan empati.
Dengan memprioritaskan pengembangan kualitas manusia, pendidikan humanistik berperan penting dalam membangun fondasi yang kuat untuk revitalisasi nasional yang berkelanjutan dan inklusif.
Pendidikan telah lama dianggap sebagai kunci untuk membuka potensi manusia, memperluas cakrawala pengetahuan, dan membentuk karakter baik.
Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, pertanyaan mendasar muncul: Apakah tujuannya hanya menciptakan individu produktif secara ekonomi atau ada dimensi lain lebih mendalam?
ADVERTISEMENT
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan gambaran pendidikan di Indonesia pada Maret 2023, dimana mayoritas penduduk berusia 15 tahun ke atas telah mencapai wajib belajar 9 tahun atau setara dengan tamatan SMP.
Tamatan pendidikan terbanyak berasal dari SMA atau sederajat dengan persentase 30,22%, diikuti oleh lulusan SD atau sederajat sebesar 24,62%, dan jenjang sekolah SMP atau sederajat mencapai 22,74%.
Namun, kondisi pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan. Proporsi penduduk yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya 10,15%, sementara yang tidak tamat SD atau sederajat mencapai 9,01%, dan yang belum pernah sekolah mencapai 3,25%.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang melibatkan 345 ribu rumah tangga di seluruh Indonesia memberikan gambaran komprehensif tentang status pendidikan nasional. Kondisi demikian menunjukkan potensi kerusakan suatu bangsa jika tidak diatasi karena masih minimnya pendidikan secara nasional.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi gap tersebut, memerlukan upaya keras dan cerdas guna meningkatkan kualitas pendidikan pada tataran berimbang dengan membuka ruang belajar di aneka ruang publik, seperti perpustakaan umum, ruang baca di mana-mana, tempat-tempat kursus, dan aneka media diskursif.
Dalam kondisi demikian, pendidikan humanistik muncul sebagai solusi edukatif menantang, menawarkan perspektif lebih luas dan holistik.
Humanisme menekankan pentingnya pengembangan pribadi mendalam baik secara formal maupun informal, tidak hanya dalam hal keterampilan dan pengetahuan, tetapi juga dalam membentuk karakter dan nilai-nilai moral.
Oleh karena itu, pendidikan humanistik menjadi relevan dalam membentuk warga global yang berpengetahuan luas, berempati, kritis, dan bertanggung jawab.
Istilah "humanisme" diciptakan pada abad ke-19 untuk menggambarkan suatu ideal pendidikan dan ilmiah yang berpusat pada kajian klasik.
ADVERTISEMENT
Humanis, yang berasal dari akhir abad ke-15, merujuk pada seorang guru humaniora yang menekankan studi klasik. Humaniora sendiri mencakup mata pelajaran seperti tata bahasa, retorika, sejarah, puisi, dan filsafat moral.
Sekolah klasik, yang berpusat pada humaniora, bertahan hingga abad ke-18 sebelum mengalami perubahan sebagai respons terhadap kebutuhan praktis dan filosofi pendidikan yang berkembang.
Namun, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, sekolah klasik mulai menghadapi kritik dan tantangan yang menyebabkan kemunduran. Kurikulum kemudian menjadi lebih beragam, mencakup ilmu pengetahuan, bahasa modern, dan sastra.
Kristeller (1978) mengakui krisis kontemporer dalam humanisme dan humaniora, menekankan perlunya memeriksa kembali asumsi-asumsi pendidikan.
Dia menentang penolakan terhadap studi klasik, menyatakan bahwa pendidikan humanistik secara luas sungguh penting dalam pengembangan pengetahuan, penilaian, selera, dan perspektif.
ADVERTISEMENT
Menurut Kristeller, pendidikan humanistik tidak hanya bertujuan untuk menjamin lulusan mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi. Lebih dari itu, pendidikan humanistik dianggap berguna dalam arti yang lebih substansial karena memperluas pemahaman dan membentuk karakter seseorang.
Pendidikan humanistik yang diusulkan oleh Kristeller menekankan pentingnya memperkaya pengetahuan dan membentuk karakter. Meskipun tidak memberikan jaminan terhadap keberhasilan finansial, pendidikan humanistik diakui sebagai alat untuk memperkaya pengetahuan dan membentuk karakter seseorang di semua tingkatan yang berbeda mulai pendidikan dasar hingga tinggi. Hal tersebut menciptakan individu yang lebih efektif dalam menilai dan meningkatkan masyarakat serta dunia secara keseluruhan.
Kristeller menganjurkan penekanan kembali pada pendidikan humanistik. Meskipun pendidikan humanistik memiliki keterbatasannya, dia menyoroti peran pentingnya dalam membentuk warga yang terinformasi dalam berbagai jenjang, berpengetahuan luas, dan memiliki kemampuan untuk memahami serta berkontribusi dalam perbaikan dunia.
ADVERTISEMENT
Pendidikan humanistik tidak hanya tentang memperoleh keterampilan atau pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk karakter, empati, dan pemahaman terhadap dunia yang kompleks. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan globalisasi, pendidikan humanistik dapat menjadi salah satu kunci untuk membentuk warga global yang lebih berpengetahuan, inklusif, dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, meskipun jenjang pendidikan formal berbeda-beda, setiap tingkat memiliki potensi mengembangkan pendidikan humanistik yang dapat diterapkan dalam konteks formal maupun informal.
Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang hanya lulus pendidikan dasar atau menengah memiliki kesempatan sama untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan humanistiknya seperti lulusan sarjana.
Kemampuan ini tidak terbatas oleh tingkat pendidikan formal, melainkan lebih pada bagaimana seseorang menerapkan dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan humanistik dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Jika individu tersebut mampu mengintegrasikan nilai-nilai humanistik ke dalam kehidupan, dia dapat mencapai kesuksesan dan kesejahteraan pribadi yang sama, bahkan mungkin lebih, dibandingkan dengan lulusan pendidikan tinggi.
Pengintegrasian tersebut menekankan pentingnya pendidikan humanistik sebagai fondasi yang memungkinkan individu terus belajar dan berkembang, menghadapi tantangan kehidupan dengan sikap kritis, empatik, dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, pendidikan humanistik tidak hanya relevan untuk lingkungan pendidikan formal, tetapi juga esensial dalam membentuk individu keseharian (informal) yang berdaya saing dan berkontribusi positif dalam masyarakat.