Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Sang Jenius dari Kampung Suka Maju
14 Februari 2025 13:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi sang anak jenius, sumber: Pexels.](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jm14tqahjfczp9jp0yq234jr.jpg)
ADVERTISEMENT
Di Kampung Suka Maju, seorang anak lelaki bernama Sanusi tumbuh dengan kecerdasan luar biasa. Ia dikenal sebagai anak tekun yang memiliki tulisan tangan indah, penuh semangat belajar, dan memiliki cita-cita tinggi. Ayahnya, Pak Rahmat, adalah seorang perajin kayu yang ulet, sedangkan ibunya, Bu Lestari, mengurus rumah tangga dengan penuh kasih sayang.
ADVERTISEMENT
Sanusi adalah anak yang cerdas, tetapi kepandaiannya membuat beberapa teman merasa iri dan menjauh darinya. Meski begitu, ia memiliki empat sahabat setia -- Jaya, Ode, Eren, dan Santi -- yang selalu ada di sisinya, baik saat bermain maupun belajar. Di antara mereka, Sanusi paling menonjol dalam pelajaran dan tak pernah ragu membantu teman-temannya memahami soal-soal sulit. Kecerdasannya tak hanya dikagumi oleh para sahabat, tetapi juga oleh guru. Mereka kerap berkata dengan bangga, "Sanusi, kelak kau pasti jadi orang besar!"
Kendati demikian, mimpi Sanusi terancam kandas setelah lulus SD. Kondisi ekonomi keluarganya tidak memungkinkan ia melanjutkan ke SMP. "Sanusi, Ayah ingin kamu sekolah, tapi keadaan kita sulit," kata Pak Rahmat dengan wajah berat. Sanusi memahami situasi itu. Dengan hati yang lapang, ia memutuskan membantu ayah bekerja sebagai perajin kayu.
ADVERTISEMENT
Hari-hari berlalu, Sanusi tetap rajin belajar sendiri. Ia membaca buku-buku bekas yang ditemukan, mencatat hal-hal penting dengan rapi, dan terus mengasah pikirannya. Jaya, Ode, Eren, dan Santi sering datang menemuinya, membawakan buku atau sekadar mengobrol. "Su, kamu masih bisa sekolah suatu hari nanti," ujar Santi penuh harap.
Sanusi menjalani hari-harinya dengan penuh perjuangan. Sejak lulus SD, ia sudah merasakan getirnya hidup tanpa banyak dukungan. Ketika teman-teman sebayanya bisa menikmati masa SMP tanpa beban, Sanusi justru berhadapan dengan aneka ejekan dan hinaan. Mereka yang dulu iri dengan kecerdasan dirinya kini menertawakannya, seolah-olah kegagalan finansial keluarganya menjadi bahan hiburan.
Tetangga pun tak kalah sinis, menganggap Sanusi tak punya masa depan dan menyarankan agar menerima nasib saja. Akan tetapi Sanusi tidak membiarkan cemoohan itu menghancurkan tekadnya. Ia tetap menjalani hidup dengan kesabaran dan keyakinan bahwa suatu hari nanti, kerja keras yang dilakukan akan membuahkan hasil.
ADVERTISEMENT
Lima tahun berlalu, kesempatan itu akhirnya datang. Seorang guru lama yang mengenali tekadnya mendorong Sanusi agar kembali bersekolah melalui SMP Terbuka. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ia mendaftar tanpa ragu, meski sadar konsekuensinya berat. Siang hari ia tidak lagi menjadi perajin membantu sang ayah, melainkan bekerja serabutan -- kadang menjadi kuli bangunan, tenaga pembersih, atau buruh angkut di pasar -- sementara malamnya dihabiskan dengan belajar.
Sanusi sering kelelahan, tetapi tak pernah mengeluh. Setiap ujian, aneka tugas, dan keterbatasan diri dihadapi dengan penuh ketekunan. Tidak ada yang bisa mengalahkan semangatnya dalam mengejar pendidikan, meskipun jalan yang ditempuh lebih berliku dibandingkan orang yang hidupnya beruntung.
Setelah menuntaskan pendidikan di SMP Terbuka, Sanusi kembali menghadapi tantangan yang lebih besar. Ia ingin melanjutkan ke SMA, tetapi tidak punya biaya dan waktu untuk sekolah reguler. Tanpa putus asa, ia memilih Paket C, meskipun itu berarti harus belajar sendiri dengan bimbingan terbatas.
ADVERTISEMENT
Hidupnya semakin berat, dengan pekerjaan yang kian melelahkan dan waktu istirahat yang semakin berkurang. Namun, tak sekali pun ia berpikir agar menyerah. Setiap hari Sanusi bangun lebih awal, bekerja keras, dan tetap berusaha memahami pelajaran di sela-sela kesibukan.
Kadang dia harus belajar di sela waktu istirahat saat bekerja, atau membaca buku dengan pencahayaan redup karena listrik di rumahnya sering padam. Tetapi bagi Sanusi, pendidikan merupakan satu-satunya jalan keluar dari keterbatasan yang selama ini membelenggu hidupnya.
Ketika akhirnya lulus SMA melalui Paket C, Sanusi merasa semakin dekat dengan mimpinya. Ia memberanikan diri melanjutkan kuliah Manajemen, Fakultas Ekonomi di Universitas Terbuka. Sambil kuliah, Sanusi tetap bekerja keras. Ada kalanya ia harus mengangkat semen di proyek bangunan hingga tubuhnya terasa remuk, di lain waktu mesti membersihkan ruko-ruko dengan tangan lelah, dan kadang-kadang menjadi buruh serba bisa di keramaian orang demi mengumpulkan biaya kuliah.
ADVERTISEMENT
Setiap rupiah yang dihasilkan tidak pernah digunakan berfoya-foya; semuanya disisihkan demi memastikan masa depannya lebih baik. Sanusi tahu dan mengerti, jalannya masih panjang, tetapi dengan tekad yang tak tergoyahkan, ia percaya bahwa suatu hari nanti akan membuktikan kepada dunia bahwa kerja keras dan kesabaran akan membawa dirinya menuju kehidupan lebih baik.
"Sanusi, kapan kamu istirahat?" tanya Ode suatu hari.
"Aku akan istirahat kalau sudah jadi sarjana," jawabnya sambil tersenyum.
Dan hari itu pun tiba. Sanusi akhirnya lulus sebagai Sarjana Ekonomi. Dengan toga sederhana dan wajah penuh kebanggaan, ia berdiri di depan keluarganya. Pak Rahmat menepuk bahunya, menahan air mata haru. "Kau sudah membuktikan, Nak. Ayah bangga padamu."
Setelah lulus, Sanusi bertemu kembali dengan teman-teman lamanya. Santi, yang kini telah menjadi koki handal, mengusulkan sebuah ide. "Bagaimana kalau kita buka rumah makan bersama? Aku bisa masak, kalian bisa mengurus yang lain. Sanusi, kamu pimpin usaha ini. Kamu sudah kenyang makan asam garam kehidupan."
ADVERTISEMENT
Semua setuju. Dengan modal seadanya, mereka membuka rumah makan kecil di Kampung Suka Maju. Sanusi mengatur keuangan dan strategi pemasaran, sementara Santi memasak dengan sepenuh hati. Jaya, Ode, dan Eren pun berkontribusi sesuai keahlian mereka.
Perlahan tapi pasti, usaha mereka berkembang. Dari satu cabang, bertambah menjadi dua, lalu lima, hingga akhirnya tersebar di berbagai kota. Nama "Rumah Makan Suka Maju" menjadi terkenal, simbol kerja keras dan persahabatan yang tidak tergoyahkan.
Kini, Sanusi dan sahabat-sahabatnya menikmati keberhasilan mereka. "Dulu kita cuma anak kampung dengan mimpi besar," kata Jaya sambil tertawa. "Dan sekarang, lihat kita!"
Sanusi tersenyum. Ia memandangi rumah makan mereka yang ramai, lalu menatap teman-teman dengan penuh syukur.
Perjalanan hidupnya penuh tantangan, tapi dengan tekad, kerja keras, dan dukungan sahabat, akhirnya ia berhasil mewujudkan impian."Ini baru permulaan," ucapnya. "Kita masih bisa lebih maju lagi." Dan mereka pun terus melangkah, bersama
ADVERTISEMENT