Konten dari Pengguna

Selubung Jalan Berliku

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
9 Februari 2025 10:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang dokter yang membantu sang pasien, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang dokter yang membantu sang pasien, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Di sebuah sekolah menengah atas di pinggiran kota, Yuna berdiri di depan ruang guru dengan pakaian sederhana. Meskipun kehidupan penuh tantangan, ia memiliki semangat yang tak tergoyahkan. Dengan ragu, ia mengetuk pintu, lalu masuk setelah mendapat izin dari Pak Burhan, guru muda yang bijaksana.
ADVERTISEMENT
"Pak, saya ingin berbicara sebentar," ucap Yuna lirih namun mantap.
Pak Burhan menatapnya dengan lembut. "Tentu, Yuna. Ada apa?"
Yuna menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian. "Saya ingin menjadi dokter, Pak. Saya ingin menyembuhkan orang-orang sakit. Tapi... biaya kuliahnya mahal. Apa ada cara agar saya bisa mewujudkannya?"
Pak Burhan tertegun, kagum dengan tekad Yuna, tetapi juga menyadari betapa berat jalan yang harus ditempuh gadis itu. Dengan hati-hati, ia menjawab, "Yuna, peluang itu ada. Tapi kamu harus berusaha keras dan mengejar beasiswa."
Tanpa ragu, Yuna mengangguk. "Saya siap, Pak! Saya akan belajar sebaik mungkin."
Namun, perjalanan Yuna tidaklah mudah. Di sekolah, teman-temannya, Vera, Pia, dan Ani, sering mengejeknya karena penampilan yang sederhana dan mimpinya yang dianggap mustahil.
ADVERTISEMENT
"Mau jadi dokter? Kamu bahkan beli buku baru saja susah!" ejek Pia suatu hari, diikuti tawa sinis dari Vera dan Ani. "Iya, lihat saja seragamnya yang lusuh, masa dokter tampil seperti itu?" tambah Vera dengan nada mengejek.
Ani menggeleng-gelengkan kepala, berpura-pura prihatin. "Yuna, mimpi itu gratis, tapi jangan sampai terlihat konyol. Kamu lebih baik cari cita-cita yang masuk akal."
Setiap kali Yuna lewat di koridor sekolah, mereka sering berbisik-bisik sambil meliriknya, seolah-olah keinginannya menjadi dokter adalah sebuah lelucon. "Dokter kok miskin," terdengar lirih dari mulut Pia, disusul tawa kecil yang menyakitkan.
Namun, meskipun ejekan itu menyakitkan, Yuna tetap bertahan. Beruntung, Yuna memiliki sahabat setia, Rio dan Nita, yang selalu mendukungnya. Ia tidak merasa sendirian. Rio dan Nita, selalu membelanya.
ADVERTISEMENT
"Biar saja mereka bicara, Yuna. Yang penting kamu tetap berusaha," kata Rio menenangkan. "Mereka tidak tahu seberapa besar tekadmu. Suatu hari mereka akan melihat hasilnya," tambah Nita penuh keyakinan.
Meski sering merasa sakit hati, Yuna tetap berjuang dan tidak membiarkan hinaan mereka meruntuhkan mimpinya.
Sejak saat itu, Yuna semakin giat belajar. Ia duduk di barisan depan, mengerjakan tugas dengan tekun, dan selalu berusaha lebih baik. Namun, cobaan besar datang ketika ia duduk di kelas XII. Ayahnya meninggal dunia, menyusul kepergian sang ibu tiga tahun sebelumnya. Kini, ia dan adik-adiknya menjadi yatim piatu.
Pamannya di kampung meminta Yuna agar pulang mengurus adik-adiknya. Dengan berat hati, Yuna menemui Pak Burhan. "Pak, saya harus pulang ke kampung. Om saya meminta saya mengurus adik-adik. Saya tidak bisa melanjutkan sekolah atau kuliah..."
ADVERTISEMENT
Pak Burhan menatapnya dengan sedih. Ia ingin membantu, tetapi kenyataan terlalu berat dan sulit. "Yuna, kamu telah berusaha. Pak guru percaya, suatu hari nanti, kamu akan menemukan jalan terbaikmu."
Dengan langkah berat, Yuna meninggalkan sekolah tercinta. Yuna tersenyum pahit. Ia berpamitan, dan dengan langkah gontai, berjalan menjauh. Pak Burhan menatap sampai sosok sang murid menghilang di balik tikungan jalan.
Di kampung, Yuna bekerja keras demi menghidupi adik-adiknya. Ia melakukan berbagai pekerjaan, mulai dari menjadi buruh cuci hingga pekerja toko. Mimpi menjadi dokter yang dulu ia genggam erat kini terkubur dalam-dalam.
Tahun demi tahun berlalu. Saat usia menginjak 24 tahun, ia bertemu dengan Romi, seorang pria baik hati yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Mereka menikah dan dikaruniai dua anak. Romi bekerja dengan tekun hingga kariernya berkembang pesat. Kehidupan mereka perlahan membaik, dan adik-adik Yuna pun tumbuh dewasa dengan baik.
ADVERTISEMENT
Namun, takdir punya cara sendiri untuk mengobati luka lama. Kedua anak Yuna, secara bergantian, diterima di fakultas kedokteran. Yuna hampir tak percaya. Mimpinya yang dulu ia kubur kini bersemi kembali dalam diri anak-anaknya.
Saat hari wisuda tiba, Yuna tak kuasa menahan haru. Air matanya mengalir saat melihat anak-anaknya saat mengucapkan sumpah menyandang gelar dokter yang dulu ia impikan. Ia merasa seolah-olah dirinya sendiri yang akhirnya berhasil meraih mimpi itu.
Suatu hari, dalam sebuah acara reuni sekolah, Yuna bertemu kembali dengan Pak Burhan. Rambut gurunya itu kini mulai beruban, tetapi sorot matanya tetap lembut dan penuh perhatian.
"Pak Burhan!" Yuna menyapa dengan suara bergetar.
Pak Burhan menoleh dan terkejut. "Yuna? Ya ampun, bagaimana kabarmu?"
ADVERTISEMENT
Yuna tersenyum dan mulai menceritakan perjalanan hidupnya. Bagaimana harus mengubur mimpi terbesar dalam hidupnya, bekerja keras bagi adik-adiknya, hingga akhirnya kedua anaknya berhasil menjadi dokter.
Pak Burhan mendengarkan dengan mata berkaca-kaca. Ia menatap Yuna dengan bangga. "Kamu mungkin tidak menjadi dokter, Yuna. Tapi kamu telah menghidupkan mimpi itu dalam diri anak-anakmu."
Yuna mengangguk, air mata kebahagiaan membasahi pipinya. Ia menyadari bahwa dalam setiap kesulitan, selalu ada harapan yang tersembunyi. Dan hari itu, ia tahu dan mengerti bahwa semua pengorbanannya tidak sia-sia.
Di reuni tersebut Yuna juga bertemu kembali dengan Vera, Pia, dan Ani. Mereka terkejut melihat bagaimana kehidupan Yuna telah berubah. Dengan penuh penyesalan, Pia berkata, "Maafkan kami dulu, Yun. Kami tidak tahu betapa kerasnya perjuanganmu."
ADVERTISEMENT
Yuna tersenyum, mengulurkan tangan. "Kita semua pernah muda dan melakukan kesalahan. Yang penting, kita belajar darinya."
Sahabat-sahabat lamanya, Rio dan Nita, turut bahagia melihat kebersamaan mereka kembali. Malam itu, Yuna menyadari bahwa perjuangan dan pengorbanan dirinya tidak sia-sia. Semua luka dan kesulitan yang dihadapi telah membentuknya menjadi pribadi yang kuat. Tidak ada kemustahilan bagi mereka yang pantang menyerah.