Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Sore Kelabu di SMA Mitra Sentosa
3 Maret 2025 10:07 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sore itu, hujan rintik-rintik membasahi lapangan sekolah. Langit kelabu, seakan turut berduka atas kepergian seseorang yang begitu berarti bagi kami. Aku, Franky, Tina, Rita, dan Rahmat berdiri dalam diam di depan papan pengumuman sekolah, tempat sepucuk surat penghormatan terakhir kepada Wina ditempelkan.
ADVERTISEMENT
Wina. Nama itu masih lekat dalam ingatan kami. Dia adalah sosok kakak kelas kami yang baru saja kembali dari Amerika Serikat setelah mengikuti program pertukaran pelajar selama satu tahun. Namun, karena perbedaan kurikulum, dia kini seangkatan dengan kami.
Kami sempat mengira bahwa Wina akan menjadi sosok yang sulit dijangkau, mengingat pengalaman dirinya yang luas. Akan tetapi kenyataannya, dia begitu hangat, sederhana, dan penuh perhatian.
Aku teringat hari ketika kami mengikuti lomba di sebuah studio tak jauh dari Istora Senayan. Itu merupakan kali pertama kami berkompetisi di tempat sebesar itu, dan jujur saja, kami benar-benar kebingungan. Berasal dari sekolah di pinggiran kota, kami merasa seperti orang asing di dunia yang penuh sorotan lampu dan kamera.
ADVERTISEMENT
Saat kami duduk menunggu giliran tampil, seorang kru tiba-tiba berkata, "Kalian harus di-makeup terlebih dahulu supaya wajah Anda semua nggak kelihatan pucat di kamera."
Aku, Tina, Rita, dan Rahmat saling pandang. Franky bahkan sampai menelan ludah keras-keras. Kami tidak pernah membayangkan harus memakai makeup untuk sebuah lomba. Di antara kebingungan itu, Wina mengambil alih.
"Tenang aja, aku yang makeup-in kalian," katanya, mengeluarkan bedak dari tasnya.
Satu per satu kami duduk di depannya. Dengan tangan cekatan, Wina membedaki wajah kami dengan ringan. Dia tahu persis bagaimana menyesuaikan riasan agar kami tetap terlihat alami. Saat tiba giliran Franky, suasana sempat canggung.
Franky terdiam, memandangi wajah Wina dari jarak yang begitu dekat. Ada sesuatu dalam tatapan matanya -- mungkin gugup, bisa jadi juga sesuatu yang lebih dalam daripada itu. Wina tersenyum kecil.
ADVERTISEMENT
"Jangan tegang, Frank. Cuma biar kamu kelihatan lebih segar aja," katanya sambil menepuk ringan pipi Franky setelah selesai.
Momen itu berlalu begitu saja, tetapi Franky tampak terdiam lebih lama dari biasanya. Aku tahu, sejak hari itu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Berkat dorongan dan semangat Wina, kami berhasil melaju ke babak berikutnya. Saat nama sekolah kami diumumkan sebagai salah satu yang lolos, kami melonjak kegirangan. Hal itu menjadi momen indah, -- peristiwa yang kini terasa seperti kenangan kehidupan yang berbeda.
Beberapa hari setelahnya, kabar buruk itu datang begitu tiba-tiba, seolah-olah menghantam kami tanpa peringatan. Suasana kantin yang biasanya penuh canda tawa mendadak terasa sunyi dan berat.
Tina, dengan suara bergetar, berbisik pelan, “Wina mengalami kecelakaan di jalan.” Aku menatapnya, mencoba memahami maksud kata-katanya, berharap ada makna lain yang lebih ringan. Namun, keheningan yang mengikuti membuat hatiku mulai tenggelam dalam kecemasan.
ADVERTISEMENT
“Dia... nggak selamat,” lanjut Rita dengan mata berkaca-kaca. Kata-kata itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam, membuat napasku tercekat. Dunia yang kukenal sepertinya berhenti berputar, seakan-akan segalanya berubah dalam sekejap.
Franky, yang sejak tadi diam, membuang napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari kursinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku melihat rahangnya mengeras, ekspresinya kaku, seperti ada sesuatu yang hampir meledak dalam dirinya, tetapi ia berusaha menahannya.
Aku tahu betul bagaimana perasaannya -- terpukul, marah, dan kehilangan, semua bercampur menjadi satu dalam diamnya yang menyakitkan.
Tak ada yang bisa dikatakan untuk mengurangi beban yang kami rasakan saat itu. Kehilangan Wina bukan sekadar kehilangan seorang teman, melainkan kehilangan bagian dari cerita yang telah kami jalani bersama.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari setelah pemakaman, Franky akhirnya mengungkapkan isi hatinya.
"Aku nggak ngerti," katanya dengan suara penuh amarah. "Kenapa Tuhan harus ambil dia? Orang sebaik Wina, yang peduli sama teman-temannya, yang selalu bantuin kita …. Kenapa?"
Tak ada yang bisa menjawab. Kami semua merasakan kehilangan yang sama, hanya saja, Franky merasakan kehilangan lebih mendalam.
Akan tetapi, di balik kesedihan itu, kami tahu bahwa Wina tidak ingin kami larut dalam duka. Dia ingin kami maju.
"Kita harus terusin lombanya," ucap Rahmat suatu sore.
"Ya," Tina mengangguk. "Wina pasti ingin kita menang."
Kami pun berlatih lebih keras daripada sebelumnya. Setiap kali merasa lelah, kami mengingat senyum Wina. Setiap kali ingin menyerah, kami mengingat kata-katanya yang kerap menyemangati kami.
ADVERTISEMENT
Kami berhasil melaju hingga babak semifinal. Akan tetapi, langkah kami terhenti dengan selisih skor tipis. Tidak ada piala yang dibawa pulang, tetapi di hati kami, kemenangan sejati telah diraih.
Kami telah belajar bahwa keberhasilan bukan hanya soal trofi atau gelar juara. Wina telah mengajarkan kami tentang arti kepedulian, persahabatan, dan perjuangan. Dia telah meninggalkan warisan lebih berharga dari sekadar kemenangan -- warisan tentang bagaimana menjadi seseorang yang berarti bagi orang lain.
Di sore kelabu itu, saat kami berdiri di depan papan pengumuman, kami tahu dan mengerti bahwa Wina tidak benar-benar pergi. Dia tetap hidup dalam kenangan kami.
Dan kami akan terus berjalan maju, membawa semangat dirinya dalam setiap langkah kehidupan.
ADVERTISEMENT