Konten dari Pengguna

Tantangan Teknologi dan Humanisme dalam Ruang Kelas

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
14 April 2024 8:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi integrasi teknologi dan humanisme di ruang kelas, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi integrasi teknologi dan humanisme di ruang kelas, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Mengintegrasikan teknologi dan humanisme dalam ruang kelas adalah tantangan yang kompleks namun penting dalam pendidikan kontemporer. Dalam upaya untuk menciptakan pengalaman belajar seimbang dan berdaya guna bagi siswa, pendidik dihadapkan pada tugas menggabungkan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai dan kebutuhan aspek-aspek kemanusiaan dalam pendidikan.
ADVERTISEMENT
Meskipun teknologi dapat menyediakan alat inovatif dan efisien untuk meningkatkan pembelajaran, humanisme menekankan pentingnya interaksi sosial, pemahaman emosional, dan pengembangan karakter.
Oleh karena itu, pendekatan yang berhasil akan memadukan kekuatan teknologi dengan esensi humanisme, menciptakan lingkungan belajar yang memanusiakan teknologi dan memanfaatkan potensi manusia dalam setiap siswa.
Dalam artikel Technology and Humanism in the Classroom: Frontiers of Educational Practice, Fox, Jr. & DeVault (1972) mengulas strategi yang bertujuan untuk meningkatkan kegembiraan dalam konteks pendidikan dengan cara menggabungkan unsur "humanisme" dan "teknokrasi".
Kendati ada banyak literatur yang cenderung memisahkan dan memandang keduanya sebagai dua konsep yang berlawanan atau saling bertentangan, artikel ini dengan tegas mengajukan pandangan bahwa kegembiraan sejati dalam pendidikan dapat ditemukan di kelas yang efektif dan produktif.
ADVERTISEMENT
Di kelas-kelas seperti ini, terjadi interaksi dan diskusi yang rutin antara elemen-elemen teknokratis dan humanistik, menciptakan sebuah dinamika yang kaya dan memperkaya.
Ilustrasi kegembiraan menggunakan teknologi, sumber: Pexels.
Artikel tersebut menyoroti pentingnya menciptakan sebuah lingkungan pendidikan yang memungkinkan interaksi dan integrasi antara teknologi dan aspek-aspek humanistik.
Dalam kelas yang berfungsi dengan baik, perdebatan sehari-hari antara aspek-aspek teknokratis dan humanistik membantu menciptakan sebuah atmosfer dinamis dan menarik bagi siswa.
Pendekatan demikian mengakui bahwa kedua aspek ini, meskipun berbeda, dapat saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain dalam menciptakan pengalaman pendidikan yang lebih menyeluruh dan bermakna.
Pendekatan terbesar bagi pendidik adalah menciptakan lingkungan yang memadukan kedua elemen tersebut. Artikel ini tidak secara mendalam mendefinisikan teknologi dan humanisme, tetapi memberikan kriteria untuk mendefinisikannya dalam konteks pendidikan.
ADVERTISEMENT
Contoh perbandingan antara teknologi dan humanisme menunjukkan perbedaan antara keduanya, seperti kegiatan mandiri dalam teknologi pendidikan versus kegiatan kelompok dalam humanisme pendidikan.
Model yang diperkenalkan oleh Fox, Jr. & DeVault (1972) mengungkapkan tiga implikasi utama yang menjadi fokus dalam diskusi pendidikan kontemporer.
Pertama, model tersebut mengidentifikasi lokasi batas-batas pendidikan, yaitu teknologi pendidikan dan humanisme pendidikan, serta bagaimana kedua aspek tersebut dapat diintegrasikan dalam kelas yang efektif.
Kedua, model ini menyoroti potensi penggunaan teknokrasi dan humanisme sebagai alat atau pendekatan dalam konteks pendidikan. Teknokrasi dapat menyediakan pendekatan lebih struktural dan berbasis teknologi, sementara humanisme menekankan pada aspek-aspek emosional, sosial, dan moral dalam pendidikan.
Ketiga, model ini menawarkan saran dan rekomendasi praktis untuk mengimplementasikan dan mengintegrasikan kedua elemen ini dalam program pendidikan, dengan harapan menciptakan sebuah lingkungan pendidikan seimbang dan holistik.
ADVERTISEMENT
Implikasi utama dari model tersebut mencerminkan keyakinan bahwa ada potensi besar dalam menggabungkan teknologi pendidikan dan humanisme pendidikan untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih kaya dan berdaya guna.
Dengan memadukan kedua elemen ini dalam kelas yang berfungsi dengan baik, harapannya adalah bahwa batas antara teknologi dan humanisme dapat menjadi titik konvergensi, di mana pendidikan dapat mencapai potensi penuh.
Integrasi ini menciptakan sebuah lingkungan di mana siswa dapat memanfaatkan keuntungan teknologi untuk meningkatkan pembelajaran mereka sambil tetap mempertahankan nilai-nilai dan aspek-aspek kemanusiaan yang esensial dalam proses pendidikan.
Dalam diskusi mengenai integrasi antara teknologi dan humanisme dalam pendidikan, beberapa teoretikus telah memberikan kontribusi penting dengan ide-ide mereka.
Ivan Illich, misalnya, memperkenalkan konsep "convivial tools" yang menekankan pentingnya teknologi yang mendukung kebebasan dan partisipasi sosial.
ADVERTISEMENT
Konsep ini menyoroti bahwa teknologi yang digunakan dalam pendidikan perlu dirancang untuk mempromosikan interaksi sosial yang sehat dan pemberdayaan individu.
Ilustrasi memadukan teknologi dan humanisme dalam pendidikan, sumber: Pexels.
Selanjutnya, Dwayne Huebner (dalam Fox, Jr. & DeVault 1972) mengembangkan pemikiran mengenai teknologi "baik" dan "buruk", di mana ia membedakan antara teknologi yang dapat meningkatkan pengalaman belajar dan teknologi yang mungkin menghalangi atau merugikan proses pendidikan.
Sementara itu, Michael Apple dan Herbert Walberg telah memfokuskan pada evaluasi pendidikan, menyoroti pentingnya memahami dampak teknologi dan humanisme dalam meningkatkan efektivitas dan kualitas pendidikan.
Pertanyaan krusial yang sering muncul bagi praktisi pendidikan adalah bagaimana cara memanfaatkan kedua pendekatan ini dalam praktik sehari-hari mereka.
Salah satu pendekatan yang dianjurkan adalah kolaborasi antara teknokrat dan humanis untuk menentukan tujuan dan strategi pendidikan lebih holistik.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi ini memungkinkan para praktisi menggabungkan keahlian dan perspektif masing-masing dalam menciptakan pendekatan pendidikan lebih seimbang dan beragam.
Selain itu, model yang diajukan juga menyajikan tiga aturan praktis yang dapat dijadikan pedoman dalam mengubah atau mengembangkan program pendidikan.
Aturan-aturan tersebut menekankan bahwa perubahan yang radikal dalam satu arah saja, entah itu menuju humanisme atau teknologi, mungkin tidak menghasilkan hasil yang diharapkan.
Sebaliknya, perubahan bertahap dan seimbang dalam kedua bidang akan lebih mungkin menciptakan kemajuan yang berkelanjutan dan efektif dalam pendidikan.
Sebagai kesimpulan, artikel ini menegaskan pentingnya memahami dan mengintegrasikan baik teknologi maupun humanisme dalam pendidikan di ruang kelas.
Integrasi keduanya dianggap kunci untuk mencapai potensi pendidikan yang penuh dan holistik, dengan menggabungkan aspek teknologi dan humanistik dalam pendekatan seimbang dan berkesinambungan.
ADVERTISEMENT