Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Yang Tersisa dari Sekolah
20 Februari 2025 15:12 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Angin semilir berhembus di antara padang ilalang yang luas. Di sana, seorang lelaki tua berjalan tertatih-tatih dengan napas terengah-engah. Langkahnya pelan namun penuh tekad. Tangan keriputnya menggenggam erat sebuah meteran dan obeng dalam kantong celana yang lusuh.
ADVERTISEMENT
Dialah "Bukan Siapa-Siapa", demikian orang-orang menyebutnya. Tidak ada yang benar-benar tahu siapa dia, hanya sedikit orang yang mengingatnya sebagai guru terakhir di sekolah yang sudah lama runtuh.
Dengan penuh kehati-hatian, dia mencapai sebuah titik yang ditandai oleh bekas pohon tua yang telah ditebang. Mata tuanya menatap sekeliling, lalu dengan langkah pasti, Pak Tua mengukur ke arah utara sejauh 8,17 meter. Setelah menemukan titik yang dicarinya, ia mulai menyibak semak-semak dan menggoreskan obeng ke tanah.
Perlahan, setelah beberapa saat menggali, obengnya menyentuh sesuatu yang keras. Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu melanjutkan usahanya dengan tangan yang mulai gemetar. Rasa penasaran dan cemas bercampur menjadi satu, membanjiri pikirannya dengan berbagai kemungkinan.
ADVERTISEMENT
Semakin dalam ia menggores tanah, semakin jelas terlihat sebuah fondasi tua yang tersembunyi di balik gumpalan tanah dan akar-akar liar. Pak Tua menatapnya dengan tatapan kosong, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja ditemukan.
Sekolah itu ... tempat yang pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya, tempat ia pernah menjaga, mengajar, dan memperjuangkan mimpi anak-anak. Kini, yang tersisa hanyalah jejak-jejak bangunan yang nyaris terlupakan, terkubur di bawah ilalang yang tumbuh liar, seakan menutupi sejarah yang hampir sirna.
Pak Tua itu duduk di atas fondasi yang perlahan mulai tampak jelas, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam keheningan panjang. Pandangannya menerawang jauh ke masa lalu, menelusuri kenangan yang masih tersimpan dalam benaknya.
Ia bisa mendengar kembali suara tawa dan canda anak-anak yang dulu berlarian di halaman sekolah, berteriak riang sambil bermain kejar-kejaran di bawah rindangnya pepohonan. Ia masih ingat betapa bangunan sekolah ini dulunya sederhana, tetapi selalu dipenuhi semangat dan harapan.
ADVERTISEMENT
Setiap pagi, anak-anak datang dengan wajah penuh semangat, membawa buku-buku kusam tapi tetap berharga bagi mereka. Kini, semua itu tinggal kenangan yang membayang di benaknya, sebuah fragmen kehidupan yang tidak akan kembali.
Ingatan itu membawa pada sosok-sosok yang pernah menjadi bagian dari sekolah ini. Ia teringat pada Bu Dani dan Bu Anna, dua guru yang selalu bersemangat mengajar meski dengan segala keterbatasan yang ada. Mereka mengajar dengan penuh ketulusan, berusaha memberikan ilmu dan inspirasi meski fasilitas yang mereka miliki jauh dari kata cukup.
Setiap hari, mereka datang lebih awal dan pulang lebih larut, memastikan tidak ada satu pun anak yang tertinggal dalam pelajaran. Lalu, ada Pak Jimmy, kepala sekolah yang dengan penuh keberanian mempertahankan keberadaan sekolah ini di tengah ancaman penggusuran dan tekanan dari berbagai pihak.
ADVERTISEMENT
Beliau yakin dan percaya bahwa pendidikan harus tetap ada, dan tetap diperjuangkan, meskipun dunia di sekelilingnya perlahan berubah dan semakin tak berpihak.
Kini, di tempat yang dulunya penuh kehidupan itu, hanya ada kesunyian yang menggantung di udara. Ilalang yang tumbuh liar menggantikan anak-anak yang dulu berlarian di halaman, sementara dinding-dinding yang dulu menjadi saksi perjuangan mereka telah lama roboh tanpa ada yang peduli.
Pak Tua itu meraba fondasi yang mulai terlihat jelas, merasakan sisa-sisa sejarah yang masih tersimpan di dalamnya. Ia tahu dan mengerti, sekolah ini mungkin telah lenyap dari peta, tetapi tidak dari ingatannya.
Baginya, tempat ini lebih dari sekadar bangunan -- ia adalah rumah bagi impian yang pernah tumbuh, tempat harapan-harapan kecil pernah dirajut, dan kini, di antara reruntuhannya, hanya kenangan yang tersisa, bertahan melawan waktu.
ADVERTISEMENT
Dan para murid...
Sanip, si anak yang selalu berlarian tak kenal lelah meski tugas sekolahnya sering terbengkalai. Wahyu, yang bercita-cita menjadi insinyur tetapi harus meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja di kota. Rina dan Nita, dua gadis yang selalu rajin belajar meski akhirnya mereka pun pergi, mengikuti jejak kakak-kakaknya merantau.
Pak Tua menundukkan kepala. Sekolah itu kosong bukan karena tidak berguna, melainkan karena zaman telah berubah. Anak-anak lebih memilih bekerja di kota, meninggalkan bangku sekolah demi bertahan hidup.
Orang tua mereka pun tidak melihat pentingnya pendidikan. Ditambah lagi, tak jauh dari tempat ini, sebuah sekolah yang lebih megah dibangun. Sekolah kecil mereka akhirnya ditinggalkan, perlahan-lahan runtuh hingga hanya menyisakan fondasi yang kini ia duduki.
ADVERTISEMENT
Pak Tua memejamkan mata, mencoba memahami apakah kesalahannya di masa lalu. Apakah dirinya kurang baik dalam mengajar? Apakah ia gagal meyakinkan orang tua murid tentang pentingnya pendidikan? Ia merasa sudah memberikan yang terbaik, tetapi mungkin, mungkin saja dirinya telah keliru.
Angin kembali berhembus, seakan membawa bisikan masa lalu. Pak Tua mengusap matanya yang mulai berair. Dengan suara bergetar, ia berkata lirih, "Mungkin ada yang salah dengan diriku... mungkin ada yang salah dengan sekolah ini. Tapi aku berharap... semoga masih ada sekolah-sekolah lain yang tetap berdiri kokoh. Semoga guru-gurunya tetap berjuang, tak peduli sekeras apa pun tantangannya."
Ia tersenyum getir, namun ada seberkas harapan di matanya. Runtuhnya sekolah ini bukan akhir dari segalanya. Fondasi yang tersisa adalah saksi bisu, bahwa di tempat ini, pernah ada impian, pernah ada harapan, pernah ada anak-anak yang ingin belajar.
ADVERTISEMENT
Pak Tua berharap, kelak, akan ada lebih banyak sekolah yang tidak hanya berdiri megah, tetapi juga menjadi tempat yang ramah bagi siapa pun yang ingin datang menuntut ilmu.
Ia menghela napas, lalu bangkit perlahan. Pak Tua menatap fondasi itu untuk terakhir kalinya sebelum melangkah pergi, meninggalkan masa lalu yang tak akan kembali, namun tetap hidup dalam kenangan.