Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Benarkah Berita RKUHP Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE ?
15 Desember 2022 18:18 WIB
Tulisan dari Bellin Nafila Maulidiya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 6 Desember 2022 lalu menuai banyak kontroversi. Mulai dari aliansi masyarakat yang menolak, sampai para selebritas atau influencer yang menyepakati RKUHP ini dengan cara mengajak para pengikutnya di media sosial untuk mendukung RKUHP tersebut.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kontroversi tersebut, ada satu hal yang sedikit melegakan banyak pihak. Dikabarkan bahwa RKUHP menghapus pasal karet, yaitu pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej) mengatakan bahwa KUHP ini menghapus pasal-pasal terkait pencemaran nama baik yang ada di Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik, karena banyak kritikan yang menyatakan bahwa UU digunakan sebagai dalih untuk penangkapan dan penahanan.
Bagi kita semua, rasanya kabar itu sedikit melegakan, karena pasal karet itu tak dijadikan dalih semena-mena aparat dalam mencekal masyarakat. Selain itu ruang demokrasi menjadi terbuka lebar, karena masyarakat akan lebih mudah memberikan kritik atau tanggapan terhadap sesuatu tanpa perlu takut pidana. Sekilas memang seperti itu. Namun ada tudingan lain terhadap penghapusan pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
Penghapusan Pasal hanya Perpindahan
Pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE yang katanya dihapus pada RUKHP dituding hanya pindah rumah saja. LBH PERS melalui akun Twitter @lbhprsjakarta menuliskan bahwa pemerintah mengumbar janji palsu. Pasal pencemaran nama baik yang katanya dihapus dari UU ITE nyatanya hanya pindah rumah ke RKUHP.
Dalam UU ITE, pasal karet tersebut berada pada pasal 27 dan 28. Jika melihat RKUHP, hal tersebut sebenarnya terangkum kembali dalam Bab XVII Tindak Pidana Penghinaan bagian pencemaran Pasal 433 dan 434.
Pasal tersebut berbunyi:
1. Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda.
ADVERTISEMENT
2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat satu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda.
Lalu dalam pasal 434 berbunyi:
1. Jika setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 433 diberi kesempatan membukti kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda.
LBH juga menyoroti pasal 436 yang mengatur tentang penghinaan ringan karena dalam pasal tersebut berbunyi:
“Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda.”
ADVERTISEMENT
Bukankah hal tersebut hanya sekadar perpindahan rumah dari UU ITE ke RKUHP? Bahkan dalam RKUHP terdapat aturan yang mengatakan bahwa menghina kepala negara dan lembaga negara akan dikenakan pidana. Sebuah bentuk ketidaksehatan dalam napas demokrasi kita.
Negara dan Segala Kontroversinya
Melihat kabar awal, saya lumayan bisa bernapas lega karena menandakan bahwa demokrasi kita makin terbuka. Tetapi setelah mengetahui fakta dari LBH Pers Jakarta, rasa itu seketika sirna.
Banyak hal-hal yang kontroversi dari negara. Jika hendak menyebutkan, sebut saja mulai dari pelanggaran HAM pasca-tragedi 1965, 1998, Omnibus Law, dan lain sebagainya.
Lalu kita harus bersikap bagaimana? Hal semacam ini membuat kita makin cemas dalam memandang Indonesia, lebih-lebih bagi generasi muda Indonesia. Kecemasan ini menggelisahkan dan mengancam demokrasi Indonesia. Padahal negara seharusnya hadir untuk menyejahterakan masyarakat dan memperjuangkan kelayakan hidup bersama. Namun makin ke sini justru makin merepresi masyarakat. Beberapa hal yang bisa kita lakukan yaitu :
ADVERTISEMENT
Berbenah dari Diri Sendiri
Melihat kenyataan dari negara yang seperti itu, mana yang benar dan mana yang salah menjadi kabur warnanya, maka hal yang perlu dilakukan adalah membenahi diri sendiri. Sebab yang bisa diandalkan hanya diri sendiri. Berupaya memperbaiki diri dan memperbaiki kehidupan.
Jika negara mengancam hinaan dengan pidana, maka adanya hinaan perlu diminimalisir. Bahkan sejak belia pun kita sudah diajarkan agar tak mudah menghina orang lain. Masalahnya adalah negara terkadang gagal memahami hinaan dan kritikan.
Padahal memang itu esensi dari kritik, yaitu merobohkan tindakan yang tidak beres. Merobohkan tirani dan penindasan. Jadi membenahi diri sendiri seharusnya tak cukup bagi kita sebagai masyarakat sipil saja, melainkan menyeluruh termasuk bagian-bagian dari lembaga negara.
ADVERTISEMENT
Sudah sepatutnya kita bersatu bersama dan berjalan bersama-sama agar negara ini makin baik. Saya setuju dengan aspirasi koalisi masyarakat sipil, karena dengan begitu mereka telah membantu negara agar lebih baik. Saya pun juga berpikir bahwa apa yang dilakukan jajaran pemerintahan sebenarnya adalah tujuan-tujuan yang baik. Namun adanya pro-kontra dan kontroversi merupakan keniscayaan dalam sebuah negara demokrasi.