Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Waspada Trauma Akibat Eksibisionisme
16 Desember 2020 14:59 WIB
Tulisan dari Bella Luthfianna prameswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Saat ini, masih banyak masyarakat yang acuh terhadap adanya fenomena yang mampu meninggalkan trauma yang mendalam bagi korbannya. Kita tidak dapat menutup mata dengan suatu fenomena yang nyata. Adanya penyimpangan seksual eksibisionisme seharusnya cukup meresahkan masyarakat. Eksibisionisme merupakan gangguan psikoseksual yang dikategorikan dalam parafilia. Dimana parafilia sendiri berarti ketertarikan, fantasi, atau dorongan yang menimbulkan gangguan mental. Hal ini dapat terjadi karena adanya penyimpangan hasrat seksual secara intens dan berkelanjutan. Eksibisionisme sendiri juga diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk memperoleh kepuasan seksual dengan cara mempertunjukkan alat kelaminnya kepada orang lain yang bahkan tidak dikenal serta tidak mengkehendaki hal tersebut. Namun, mereka tidak mengajak atau berniat untuk berhubungan lebih akrab. Ibarat seperti hanya memancing ikan tanpa mengolah ikan tersebut. Sayangnya, masyarakat saat ini tidak banyak yang mengetahui tentang adanya penyimpangan ini. Bahkan menurut Odoemelam (2012), eksibisionis seringkali dijadikan bahan tertawaan yang sebenarnya hal ini adalah hal yang serius dan seringkali membuat korban menjadi sangat takut.
ADVERTISEMENT
Tentunya banyak yang bertanya-tanya apa sebenarnya yang menjadi alasan seseorang berperilaku demikian. Dalam bidang neurosains, hubungan otak dengan prilaku eksibisionisme ini dapat disebabkan oleh cedera atau penyakit pada otak khususnya bagian lobus temporal atau amigdala. Hal ini sesuai dengan riset Neurological Control of Human Sexual Behavior (2007) yang mengumpulkan bukti bahwa lobus temporal adalah wilayah kritis dalam mediasi perilaku seksual manusia, dengan amigdala memainkan peran integral dalam pengaturan dorongan seksual manusia. Sehingga, adanya kelainan dalam bagian otak ini akan mempengaruhi prilaku dan dorongan seksual manusia. Encyclopedia of Mental Disorders (2013) menuliskan bahwa di Amerika, 50% pelaku eksibisionisme sudah menikah dan melakukannya karena memiliki masalah pada pernikahan mereka. Ada beberapa juga faktor pada masa kanak-kanak yang berisiko pada munculnya penyimpangan seksual eksibisionisme pada saat dewasa (Swindell, 2011). Terdapat dua perspektif dalam kajian psikologi kriminal untuk menelaah penyimpangan ini. Pertama, perspektif psikodinamika. Perspektif ini melihat eksibisonis sebagai bentuk kegagalan perkembangan anak di fase seksualnya. Selain itu, perspektif ini juga melihat adanya bentuk tindakan defensif (pertahanan diri) untuk melindungi ego yang berasal dari rasa takut terhadap memori yang menyakitkan. Kedua, perspektif kognitif. Perspektif ini melihat adanya kesalahan dalam proses berpikir dan preferensi seksual pelaku. Terdapat pula faktor psikososial dimana eksibisionisme dapat menjadi cara mereka untuk mengontrol kecemasan mereka mengenai kastrasi atau kehilangan cinta dari suatu objek yang dianggap penting. Sehingga, mereka meyakinkan diri sendiri tentang maskulinitasnya dengan menunjukkan kelaki-lakian pada orang lain.
ADVERTISEMENT
Pelaku Eksibisionis rata-rata terbatas pada laki-laki heteroseksual yang mengincar atau memamerkan alat kelaminnya pada wanita dewasa, remaja, bahkan terdapat pula anak kecil sejalan dengan pendapat Zacky (2019) yang menyebutkan sasaran pelaku penyimpangan ini juga mayoritas adalah perempuan dan remaja. Namun, menurut Kevin L. Nadal (The SAGE Enyclopedia of Psychology and Gender, 2017) meskipun mayoritas pelaku eksibisionisme ini adalah laki-laki dengan mayoritas korban ialah perempuan, disebut pula bahwa perempuan dapat memiliki kecenderungan untuk eksibionisme. Menurut Albert Ellis dan Albert Abarbanel (The Encyclopedia of Sexual Behaviour, 1961), perilaku eksibisionisme seringkali terjadi di moda transportasi publik seperti kereta api, dan bus. Namun, terdapat pula tempat-tempat umum yang menjadi sasaran lokasi pelaku eksibisionisme tersebut.
ADVERTISEMENT
Eksibisionisme ini dapat menimbulkan dan memberikan efek trauma yang cukup signifikan bagi korban. Berdasarkan laporan korban, efek negatif yang muncul berupa merasa menjadi korban kekerasan, perubahan prilaku bahkan stres psikologis jangka panjang (Clark, et.al, 2016). Selain itu, korban juga dapat mengalami dampak psikis yang berupa depresi, kecemasan (anxiety), trauma, dan histeria (dr.Resthie, 2018). Kebanyakan korban juga syok dan bahkan kebingungan. Hal ini dapat mempengaruhi aktivitas para korban. Aktivitas mereka tak jarang juga pasti terganggu dengan ingatan-ingatan yang membekas. Terlebih lagi apabila para korban memilih untuk bungkam karena merasa takut dengan adanya stigma masyarakat sekitar yang bisa memandang ia dengan rendah bahkan kotor.
Masyarakat juga dominan memiliki pemahaman yang cukup kurang mengenai pelaku sehingga ketika eksibisionisme ini terjadi, reaksi yang mereka ekspresikan justru merupakan reaksi yang memang diharapkan oleh pelaku. Perlu diingat bahwa kunci kepuasan pelaku eksibisionisme ini ada pada reaksi atau respon dari korban yang berupa kaget, teriak, jijik bahkan menangis. Dari kunci tersebut, kita dapat mengetahui bahwa reaksi-reaksi tersebut wajib untuk dihindari apabila berjumpa dengan pelaku eksibisionisme. Meskipun terkadang sistem refleks kita ketika menemui suatu yang membahayakan terkadang membuat kita refleks berteriak dan lain sebagainya, kita harus mulai menanamkan pengetahuan ini pada memori kita sehingga ketika kita berada dalam kondisi tersebut, otak dapat memberikan sinyal untuk kita bereaksi berlawanan dengan yang diinginkan pelaku. Psikolog menyarankan ketika kita bertemu dengan pelaku eksibisionisme, hal pertama yang dapat kita lakukan adalah mengabaikannya dengan diam. Dengan mengabaikan pelaku, pelaku tidak akan mendapat Atensi kita sehingga mereka akan gagal memenuhi hasratnya. Kita dapat membelakanginya atau menjauhinya sebagai bentuk ketidakpedulian kita terhadap pelaku. Kedua, kita juga dapat memberitahu pelaku dengan tenang bahwa kita akan menghubungi polisi. Hal ini sedikit beresiko karena pelaku dapat sewaktu-waktu menggunakan fisik mereka. Untuk tindakan yang lebih aman, kita dapat menjauhi pelaku sambil menghubungi polisi atau pihak yang berwajib. Jika kita tidak bisa lepas atau terperangkap, kita dapat berpura-pura kejang yang akan membuat pelaku ketakutan dan melarikan diri. Anak-anak juga perlu wawasan dalam menghadapi eksibisionisme, kita dapat memberikan edukasi pada anak-anak untuk berteriak “kebakaran” guna mengecoh pelaku (Anandika,2019).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pemaparan tersebut, penting bagi kita untuk mengetahui salah satu penyimpangan psikoseksual yang satu ini, yaitu eksibisionisme. Seperti yang telah dijelaskan bahwa pelaku mayoritas laki-laki dengan korban mayoritas perempuan dewasa, remaja, bahkan anak-anak. Kunci kepuasan pelaku eksibisionisme ini terdapat pada reaksi kita dan atensi yang kita berikan pada mereka ketika mereka melancarkan aksinya. Reaksi yang wajib untuk kita hindari ketika bertemu dengan pelaku eksibisionisme ialah reaksi kaget, teriak, jijik bahkan menangis. Apabila salah satu dari kita pernah bertemu dengan pelaku eksibisionisme jangan ragu untuk melaporkan pada pihak yang berwajib. Selain itu, apabila terdapat anggota keluarga yang memiliki kelainan eksibisionisme, jangan ragu untuk menyarankan ia menemui psikolog atau psikiater untuk mendapatkan terapi perawatan.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Pawitri, Anandika. (2019). Jangan Takut, Ini Cara Mengahadapi Eksibisionis. Sehatq.com. https://www.sehatq.com/artikel/jangan-takut-ini-cara-menghadapi-eksibisionis
Putri, Resthie Rachmanta. (2018). 4 Dampak Psikis yang Dialami Korban Pelecehan Seksual. Klikdokter.com. https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3616236/4-dampak-psikis-yang-dialami-korban-pelecehan-seksual
Clark, Stephanie, et.al. (2016). More Than a Nuisance: The Prevalence and Consequences of Frotteurism and Exhibitionism. Sexual Abuse: A Journal of Research and Treatment, 28(1), p. 3 –19. DOI: 10.1177/1079063214525643
Ellis, Albert., Abarbanel, Albert. (1961). The Encyclopedia of Sexual Behavior 1st Ed. New York : Hawthorn Books.
Encyclopedia of Mental Disorders. (2013). Exhibitionism: Children, Causes, DSM, Effects,Therapy, Drug, Person, People.
Nadal, Kevin. (2017). SAGE Encyclopedia of Psychology and Gender. Sage Publications, Inc.
Odoemelam, A. (2014). “Incidence and Management of Male and Female Sexually Maladjusted Youngsters: Gender and Counselling Implications”. The Counsellor. Journal of the Counselling Association of Nigeria, 14(92), 160-171.
ADVERTISEMENT
Swindell, S.J. (2011). Correlates of Exhibition like Experiences in Childhood and Adolescence: A Model for Develoment of Exhibitionism in Heterosexual Males. Sexual Addiction & Compulsivity, 18 (3), 135-156.
Zhacky, Mochamad. (2019, February). Komnas Perempuan soal Teror Kelompok Pria Mesum di Karawang: Kriminal!. Detiknews.com. Oktober 20, 2019. https://news.detik.com/berita/d-4438949/komnas-perempuan-soal-teror-kelompokpria-mesum-di-karawang-kriminal