Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Digital Manuskrip “Syair Perang Menteng” Potret Sejarah Penjajahan Belanda
14 Desember 2020 10:04 WIB
Tulisan dari Bella Choirunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awal Mula Penjajahan Belanda
Kemerdekaan yang dapat diraih oleh masyarakat Indonesia, tentu tidak terlepas dari cerita berbagai perjuangan para pahlawannya. Sejarah penjajahan Belanda menjadi salah satunya. Penjajahan Belanda mulai masuk Indonesia melalui jalur perdagangan yang pertama kali diinisiasi oleh Cornela de Houtman pada tahun 1562. Tujuan yang awalnya untuk perdagangan terutama rempah-rempahnya menjadi keinginan menguasai wilayahnya. Penjajahan Belanda saat sudah mulai menguasai Indonesia, mulai mendirikan VOC yang mana merupakan organisasi dagang untuk mengatur segala macam jual beli kekayaan Nusantara. Segala macam perdagangan khususnya rempah-rempah harus berada dibawah pengawasan Belanda. Semakin lama, rakyat pribumi ingin lepas dari penjajahan Belanda, karena beberapa sistemnya yang tidak masuk akal dan sangat merugikan. Maka mulai berdirilah gerakan nasionalis pertama di tahun 1905, yaitu serikat Dagang Islam dan lahirnya sumpah pemuda pada tahun 1928. Hal ini menandakan bahwa seluruh rakyat pribumi bersatu untuk mengusir penjajah. Pada tahun 1940, Belanda mengalami serangan dari negara oposisinya yaitu Jepang. Hal tersebut menjadikannya kehilangan kekuasaan atas Indonesia. Namun setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Belanda kembali memasuki Indonesia untuk dapat berkuasa kembali. Tentu saja rakyat Nusantara tidak membiarkannya. Pertumpahan pun terjadi dengan melibatkan ribuan perjuang. Akhirnya setelah melalui pertumpahan darah tersebut, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada akhir tahun 1949.
ADVERTISEMENT
Digitalisasi Manuskrip
Sejarah menjadi kajian masa lalu yang sangat erat kaitannya dengan manusia. Banyak cara untuk mempelajari sejarah, salah satunya melalui kegiatan membaca manuskrip. Manuskrip atau naskah kuno merupakan kesaksian tertulis yang berasal dari tangan pertama yang disusun oleh bangsa yang bersangkutan di masa hidupnya. Manuskrip menjadi salah satu peninggalan budaya yang khazanah bagi setiap bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Di dalamnya terdapat pengetahuan yang berguna untuk dipahami oleh pembaca di masa kini. Setiap bangsa dapat melihat perjalanan hidup bangsanya melalui naksah-naskah yang telah ditulis. Melalui manuskrip, kita dapat mengetahui dan mempelajari cara berpikir, perasaan, sejarah dan kebudayaan bangsa yang bersangkutan.
Banyaknya naskah-naskah kuno yang rusak atau bahkan punah keberadaannya akibat dimakan usia maupun bencana alam, membuat beberapa filolog mencetuskan gerakan pendigitalisasian naskah, dimana hal tersebut berisi kegiatan alih media dari bentuk kertas ke bentuk digital. Hal itu bertujuan agar naskah tetap tersimpan rapih dalam satu tempat tanpa perlu khawatir terjadi kerusakan pada medianya dan menyelamatkan informasi yang terkandung di dalamnya, serta ke depannya dapat memberikan kemudahan akses bagi pengguna ketika membutuhkan informasi mengenai manuskrip tersebut. Oleh karena itu, mulai banyak bermunculan situs-situs manuskrip digital yang dapat diakses, seperti DREAMSEA, SAOS, Leiden, RAS, EAP, BNF, PNM, Khastara Perpusnas, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Naskah Syair Perang Menteng
Naskah berjudul “Syair Perang Menteng” ditemukan di situs khastara.perpusnas.go.id dengan catalog ID 220226. Memiliki jenis bahan naskah kuno dan subjek manuskrip melayu. Penerbitannya dilakukan pada tahun 1819. Mengenai deskripsi fisik, naskah ini memiliki 31 halaman dengan ukuran 20 x 32 cm sama dengan ukuran sampulnya. Ukuran blok teks 10 x 20 cm dan memiliki 18 baris perhalamannya. Naskah ini dalam kondisi kurang baik, kertas berwarna kecoklatan dan lapuk akibat keasaman, serta berlubang-lubang akibat ngengat. Naskah ditulis dengan menggunakan tinta yang kini warnanya pudar menjadi coklat. Namun demikian, tulisan pada naskah ini masih jelas terbaca. Naskah dijilid dengan karton bersampul kertas marmer coklat. Nomor halaman diletakkan di samping kanan manuskrip dengan simbol angka biasa.
ADVERTISEMENT
Pada lembar naskah pertama, dapat ditemukan judul naskah yang menggunakan aksara Arab. Kata pertama diawali dengan huruf Syin yang diartikan sebagai huruf S, Y, dan A dalam bahasa Melayu, kemudian huruf ‘ain dan ya diartikan sebagai huruf I dalam bahsaa Melayu, dan huruf Ra diartikan sebagai huruf R dalam bahasa Melayu. Maka dari keseluruhan huruf jika digabung membentuk kalimat “Syair”. Kemudian kata kedua, diawali dengan huruf fa yang diartikan sebagai huruf P dalam bahasa Melayu, huruf Ra diartikan sebagai huruf R dalam bahasa Melayu, dan huruf ‘ain dengan titik tiga diatas diartikan sebagai huruf G dalam bahasa Melayu. Maka dari keseluruhan huruf jika digabung membentuk kalimat “Perang”. Pada kata terakhir, diawali dengan huruf mim yang diartikan sebagai huruf M dalam bahasa Melayu, huruf nun diartikan sebagai huruf N dalam bahasa Melayu, huruf ta diartikan sebagai huruf T dalam bahasa Melayu, dan huruf ‘ain dengan titik tiga diatas diartikan sebagai huruf G dalam bahasa Melayu. Maka dari keseluruhan huruf jika digabungkan membentuk kalimat “Menteng”. Oleh karena itu dengan adanya tulisan pada lembar pertama tersebut memudahkan ahli filolog dalam menentukan bahwa naskah tersebut adalah naskah “Syair Perang Menteng”.
ADVERTISEMENT
Perang Menteng menjadi salah satu sejarah perjuangan Indonesia melawan penjajahan Belanda. Sebab, perang tersebut menjadi pertempuran maritim terdahsyat bagi Belanda di abad ke-19. Cerita dimulai ketika wilayah Kesultanan Palembang Darussalam menjadi rebutan Belanda dan Inggris. Untuk mengamankan wilayah tersebut, Belanda mengirimkan Herman Warner Muntinghe, seorang sarjana hukum yang menjabat sebagai komisaris pemerintah kolonial di kawasan Palembang dan sekitarnya. Pada masa itu, Kesultanan Palembang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Wilayah kekuasaannya adalah salah satu penghasil lada. Sementara Bangka Belitung yang juga masih termasuk ke dalam kekuasaannya, merupakan daerah penghasil timah. Ketika Inggris menyerbu Jawa pada tahun 1811, Sultan Badaruddin II menyerang garnisun Belanda di Palembang. Penyerangan yang dilakukan Kesultanan Palembang itu menewaskan 87 orang, 24 di antaranya orang Belanda totok. Pada tanggal 12 Juni 1819, kapal-kapal Belanda ditembaki pasukan Kesultanan Palembang. Esoknya, pasukan Belanda melakukan serangan balik dan berusaha merebut keraton kesultanan, tetapi gagal. Belanda membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk mengalahkan Sultan Badaruddin II dan pasukannya. Ia kemudian dibuang ke Ternate hingga wafat pada tahun 1862. Perang tersebut kemudian diabadikan oleh orang Palembang dalam Syair Perang Menteng yang diambil dari nama Muntinghe. Nama Sultan Mahmud Badaruddin II pun terus dikenang, di antaranya dijadikan nama bandara internasional di Palembang dan wajahnya menghiasai uang pecahan sepuluh ribu rupiah yang dikeluarkan oleh bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005.
ADVERTISEMENT