Ramadhan, Kopi, dan Budaya

Allbi Ferdian
Jurnalis kumparan.com
Konten dari Pengguna
29 Mei 2018 20:24 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Allbi Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Melukis dengan ampas kopi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Melukis dengan ampas kopi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
Suara beduk hingga tabuhan drum bergema di pengujung malam. Kebiasaan itu berulang setiap kali Ramadhan datang. Kami berkeliling seraya berteriak --sahur... sahur... di setiap rumah yang kami lewati.
ADVERTISEMENT
Pukul 02.30 waktu itu, ada sepetak ruang di sudut roda tempat beduk yang kami bawa. Di situ, ada kopi yang airnya selalu terguncang oleh getaran beduk yang dipukul terus-menerus. Sesekali kawan-kawan menyeruput kopi itu secara bergiliran dan menaruhnya di tempat semula yang lagi-lagi terguncang oleh getaran beduk.
Setelah satu jam berkiling, giliran kami beristirahat dan bersiap untuk santap sahur. Gelas kopi yang sedari tadi diajak berkeliling, mulai tak bersisa. Di tengah lelah mendera dan embun yang mulai turun, Aris mulai berkelakar "Bi, kopinya habis. Gara-gara diguncang terus sebagian airnya tumpah dan kini aku haus. Kau tambah air sajalah ampasnya, biarpun pahit, yang penting ada kopi dan aku tak mati kedinginan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Belum sempat aku jawab, Joko memotong dengan cepat "Aris.. Aris.. jangan jadi kaum proletar lah, malu. Beli saja di warung si Mbak, tak jauh dari sini, jalan sedikit juga sampai," pungkasnya.
Mendengar kata-kata Joko, Aris mengernyitkan dahinya, "Hmm.. Apa yang kamu lihat dari kaum proletar? Kesengsaraan? Derita? Penghinaan? Kalau sebatas itu pikiranmu, kamu keliru, Jok." ungkap Aris.
Sembari membuka nasi bungkus yang diikat dengan karet gelang berwarna merah, Joko menjawab dengan lantang. "Memangnya kau mau jadi kaum proletar, kaum yang terpinggirkan, kaum sudra yang menjadi babu kaum brahmana, menjadi kacung kaum borjuis."
Aris tak buru-buru menyahut, ia tuangkan air ke dalam kopi yang tinggal ampasnya itu, lalu mengaduknya hingga pekat, menyeruput secara perlahan. Satu batang rokok yang diselipkan di sela-sela telinganya, mulai ia bakar dan menghisapnya dengan penuh perasaan.
ADVERTISEMENT
"Dahulu, di negara kita, negara Indonesia ini, masyarakat hidup dengan penuh kekeluargaan dan persodaraan. Mereka hidup dalam asas kemanusiaan dan kebersamaan. Dahulu, masyarakat kita tak mengenal yang namanya uang, maka sistem yang berlaku bukan kapitalisme seperti sekarang. Melainkan kembali pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Mereka menggunakan sistem barter, di mana dalam prakteknya orang-orang saling bertukar dari hasil panen yang mereka garap sebelumnya."
Dia berhenti sejenak, menyeruput kopi bersama ampas-ampasnya. Menghisap rokok dalam-dalam dan membuang asapnya ke udara. "Jok, jauh sebelum turis asing datang ke sini, lalu menjajah habis-habisan, masyarakat kita hidup (seperti) di dalam rumah. Fungsi rumah adalah tempat berlindung, di dalamnya ada keluarga. Di mana Ayah dan Ibu sebagai pelindung bagi anak-anaknya, sebagai pengingat sekaligus pendidik. Jika ada salah satu keluarga yang sakit, maka yang lain ikut sakit."
ADVERTISEMENT
Aris mulai membuka makanannya, sebungkus roti coklat ia santap bersama asap rokok yang masih tersisa di dalam mulutnya, "Lihat sekarang, oleh pemerintah kita telah disediakan hotel, hotel itu serba mewah, serba enak, apalagi perkara tidur di atas ranjang yang empuk, sudah pasti membuat semua orang terlena. Tapi, kenikmatan itu harus dibayar mahal, semakin banyak duit, semakin enaklah hotel yang kita tempati. Dengan ini, kau sudah bisa menebak, hotel seperti apa yang cocok untuk kita."
Sejurus kemudian Joko langsung menyambar celotehan Aris, "Semakin mantap niatku untuk tidak jadi kaum proletar," sambil tertawa terbahak-bahak.
Dengan tenang, Aris menyambung omongannya, "Belum selesai, jangan pongah dulu, Jok. Orang-orang yang tinggal di dalam hotel mewah tersebut, tetap harus mengikuti prosedur yang dibuat oleh pemilik hotel. Dalam artian, mereka tak bisa berbuat seenaknya. Jika terbukti melanggar, mereka bisa kena denda. Maka, semakin banyak uang yang mereka miliki, semakin besar peluang untuk melakukan pelanggaran. Mereka hidup dalam kepura-puraan, bersandiwara agar tidak didenda, menyogok sana-sini demi kebebasan."
ADVERTISEMENT
"Berbeda dengan kita yang tinggal di luar, kita tidak terikat langsung dengan aturan yang ada di dalam hotel tersebut. Biarpun aturan itu masih berlaku untuk kita, tapi kaum proletar tak ubahnya kaum liberal. Kita masih diberi kebebasan dengan syarat masih dalam koridor kewajaran, kita tak usah menyogok karena memang tak punya uang untuk menyogok. Kita lebih takut berbuat salah dibanding mereka, maka kejujuran adalah harga mati untuk kita. Kalau tak jujur, penjara ganjarannya."
"Selama kita tak mengusik orang-orang yang ada di dalam sana, maka hidup kita aman. Begitupun sebaliknya. Mereka kita beri kepercayaan untuk mengatur uang, tapi amanat itu pernah mereka abaikan. Satu waktu kita marah, karena merasa dibohongi, alhasil, pemimpin mereka dipaksa turun dan lengser dari jabatannya."
ADVERTISEMENT
Rokok itu semakin pendek, asap semakin mengepul di mulutnya, "Hidup kita seperti kopi ini, Jok. Kita seruput ramai-ramai, hingga kering, setelah jadi ampas, kita tuangkan lagi air, meski pahit, tapi tetap nikmat kan? Di dalam kopi ini, ada ludahmu, ada ludahku, ada ludah Ucup, ada ludah kita, tak jijik bukan untuk menikmatinya. Lihat sekarang, kopi ini benar-benar habis, coba kamu bandingkan dengan minuman yang dinikmati orang-orang kapitalis di dalam sana."
"Mereka minum di dalam gelas mewah, satu orang satu tempat minum, di atas meja bundar mereka simpan minuman itu, mereka duduk saling bersebelahan dengan jarak yang telah diatur sedemikian rupa. Menegakkan dadanya satu sama lain, dari sepuluh orang yang ada di dalam lingkaran tersebut, hanya satu yang menghabiskan minumannya, sisanya mereka buang ke selokan dan jadi air comberan."
ADVERTISEMENT
Rokok itu mulai habis, asap mulai memudar, "Sekarang, aku mau tanya! Sebenarnya, budaya siapa yang kita jalani hari ini? Masih malu menjadi kaum proletar? Mungkin kau sudah bisa menjawabnya, Jok?"
Belum sempat Joko menjawab, suara azan telah berkumandang. Aku bersama kawan-kawan yang lain sudah selesai makan. Sedangkan nasi bungkus yang Joko bawa masih tersisa banyak karena sedari tadi dia tertegun melihat Aris berkelakar.