Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Doom scrolling: Bahaya di Balik Kebiasaan Pasca-Pandemi
29 Oktober 2024 10:50 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Benedict Noah Anindra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dahulu perkembangan teknologi dan penyebaran berita belum berkembang seperti sekarang. Akses masyarakat terhadap berita dapat terhitung sangat terbatas dan membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk mengaksesnya atau memperolehnya. Salah satu contoh media informasi dahulu adalah koran. Seperti yang kita ketahui, koran tidak dapat diakses ataupun diperoleh kapanpun dan dimanapun sehingga dapat membuat masyarakat ketinggalan berita terkini. Namun di era modern sekarang, pertumbuhan serta perkembangan teknologi sudah semakin maju. Perubahan zaman yang membuat adanya digitalisasi ini menyebabkan penyebaran informasi dihitung sangat cepat, baik dalam konteks jarak maupun waktu yang mempermudah masyarakat dalam memperoleh berita terkini.
ADVERTISEMENT
Karena adanya digitalisasi, penyebaran informasi yang ada berpusat pada media sosial yang sudah dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat. Hal ini membantu mereka mengakses berita atau informasi karena adanya aturan dan regulasi yang longgar. Penyebaran informasi ini menjadi lebih prevelan saat dunia mengalami lockdown pada tahun 2020. Hal ini terjadi karena semua informasi mengenai update keadaan dunia, bencana yang terjadi semua nya dapat diakses dengan 1 tekan saja. Situasi ini menciptakan sebuah fenomena adiksi sosial media dalam bentuk Doom scrolling.
Menurut Dictionary.com, Doom scrolling adalah, “Kebiasaan mengecek berita daring secara obsesif untuk mendapatkan informasi terkini, terutama di media sosial, dengan ekspektasi bahwa beritanya akan buruk, sehingga perasaan takut akibat ekspektasi negatif ini memicu dorongan untuk terus mencari informasi terkini dalam siklus yang berulang. Melainkan menurut Merriam-Webster, Doom Scrolling adalah tindakan dimana orang menghabiskan waktu dengan cara melihat informasi/berita yang membuat mereka sedih, gugup, marah, dst secara eksesif.
ADVERTISEMENT
Doom scrolling membawa banyak dampak dan perubahan pada masyarakat. Dalam sebuah penelitian awal oleh individu, yang melaporkan bahwa masyarakat menghabiskan lebih banyak waktu untuk berita terkait pandemi COVID-19 ditemukan mengalami tingkat kecemasan, tekanan, stres, dan depresi yang lebih tinggi (Wathelet et al., 2020). Penelitian lainnya milik Buchanan dan rekan-rekannya (Buchanan et al., 2021) melaporkan bahwa konsumsi berita negatif terkait COVID-19 di media sosial dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah.
Doom scrolling muncul sebagai lingkaran setan di mana pengguna mendapati diri mereka terjebak dalam pola mencari informasi negatif tanpa mempedulikan seberapa buruk beritanya ataupun dampaknya bagi diri mereka. Selain itu, karena sosial media sangat menyadari apa yang paling memikat kita dengan menggunakan sistem algoritmik, mereka menyajikan kita dengan konten yang akan menarik perhatian kita dengan mempertimbangkan riwayat kita sebelumnya di internet. Doom Scrolling menghilangkan kendali diri seseorang karena sistem algoritmik yang menawarkan umpan berita atau wabah dan krisis tanpa akhir, yang akhirnya akan mengarah pada perilaku kompulsif.
ADVERTISEMENT
Doom Scrolling ini menyebabkan perubahan perilaku yang menjadi lebih kompulsif dan perubahan ini paling menonjol di generasi muda. Adanya pandemi ini mengharuskan mereka berkembang di suatu lingkungan yang semua berpusat pada teknologi dan media sosial pada saat kemampuan berpikir mereka belum berkembang secara maksimal. Mereka tumbuh bersama teknologi dan sosial media yang membuat mereka ketergantungan dengan sosial media seperti twitter/x, instagram, tiktok, dll. Ini juga menyebabkan mereka untuk memikir bahwa doom scrolling adalah hal yang normal. Mereka tidak sadar bahwa hal yang mereka memikirkan sebagai normal, ternyata merupakan hal yang buruk. Kebiasaan doom scrolling pun masih dirasakan jauh setelah masa pandemi.
Perubahan dunia dalam bidang teknologi informasi semakin terlihat pada era lockdown pada tahun 2020 yang disebabkan oleh pandemi covid-19. Situasi yang sangat merugikan banyak orang ini karena tidak dapat berkontak langsung dengan masyarakat sekitar. Hal ini membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, tidak dapat menghadiri sekolah hingga akses belajar terbatas, kehilangan orang-orang terdekat, sulitnya memperoleh atau mengakses informasi terbaru, dan lain sebagainya. Dari sinilah muncul isolasi yang bersifat sebagai tempat berkembang biaknya berbagai perilaku buruk seperti fenomena Doom Scrolling. Fenomena ini memicu tantangan bagi orang sekitar untuk menemukan solusi atas keterpurukan dunia akibat lockdown covid-19 ini. Salah satu perubahan paling signifikan yang terjadi pada lockdown covid-19 adalah pertumbuhan pesat teknologi informasi. Karena adanya keterbatasan kontak langsung, salah satu upaya agar hubungan sosial serta penyebaran informasi masih dapat berlanjut adalah menggunakan teknologi, atau media sosial.
ADVERTISEMENT
Perubahan perkembangan teknologi yang pesat ini terdorong karena gagalnya media komunikasi tradisional di masa pandemi. Media komunikasi seperti, koran dan percakapan langsung tidak dapat digunakan di masa pandemi. Seperti teori perubahan sosial Fungsionalisme, Fungsi mereka pun digantikan oleh teknologi komunikasi seperti internet dan media sosial. Dunia serentak menjadi semuanya digital. Hal ini pun selaras dengan teori perubahan evolusi, dunia akan selalu berkembang ke arah yang lebih maju. Jadi, digitalisasi dan perkembangan teknologi ini pun pasti akan terjadi, hanya dipercepat dengan masa pandemi.
Saat dunia keluar dari masa pandemi, semuanya tentunya tidak akan balik seperti semula. Perkembangan teknologi dalam media sosial dan komunikasi sudah terjadi. Seperti teori evolusi, semuanya akan terus maju. Masyarakat pun sudah mengintegrasikan teknologi tersebut di kehidupannya masing-masing. Salah satu contohnya adalah blended learning dan kelas online dalam pendidikan. Pra-pandemi, kelas online yang dilakukan secara turing hanya dilakukan oleh beberapa institusi pendidikan, terutama institusi yang berasal dari negara maju. Namun pada masa pandemi, metode pembelajaran tradisional dalam kelas sudah tidak memungkinkan dilakukan. Perubahan pun terjadi dan hampir semua institusi pendidikan di dunia menerapkan kelas online. Keluar pandemi, masyarakat sudah terbiasa dengan kelas online ini dan merasakan keuntungan yang dibawanya. Pada akhirnya diterapkan blended learning yang mencampurkan pembelajaran tradisional dan online.
ADVERTISEMENT
Kami sudah tidak bisa hidup terlepas dari teknologi seperti handphone dan media sosial. Teknologi tersebut melakukan fungsi-fungsi yang integral bagi kehidupan kami. Hal ini menciptakan ketergantungan yang besar dengan handphone dan media sosial. Semakin teknologi ini berkembang, ketergantungan ini pun semakin besar. Ketergantungan ini juga sangat susah untuk dihilangkan. Terutama karena seluruh masyarakat sudah menggunakannya, menjadikan ketergantungan ini menjadi suatu norma di masyarakat.
Teknologi membawa banyak keuntungan dan memudahkan hidup kami. Namun dengan ketergantungan, setiap positif pasti ada negatifnya. Salah satu dampak negatif dari ketergantungan pada teknologi handphone dan media sosial untuk setiap aspek kehidupan adalah munculnya doom scrolling. Doom scrolling sendiri pun merupakan masalah ketergantungan, ketergantungan keadaan emosi manusia kepada informasi yang berada pada teknologi handphone dan media sosial. Doom scrolling menjadi suatu gejala sosial, efek samping dari suatu perubahan sosial yang besar.
ADVERTISEMENT
Dalam berjalannya waktu dan perkembangan, masyarakat modern akan semakin mudah untuk jatuh dalam doom scrolling. Terutama kepada generasi-generasi muda yang sudah ada dan yang akan datang. Generasi Gen Z menjadi salah satu generasi yang sangat terancam untuk jatuh dalam doom scrolling. Generasi Gen Z merupakan generasi yang bertumbuh dan berkembang di kelilingi masyarakat yang bergantungan pada teknologi di masa pandemi. Hal itu membiasakan mereka untuk hidup dalam ketergantungan dengan handphone dan media sosial, sekaligus mendorong kemungkinan mereka untuk melakukan doom scrolling. Generasi berikutnya seperti Generasi Alpha pun terancam untuk mengikuti jalur yang sama dengan Gen Z.
Doom scrolling dan siklus ketergantungan menjadi masalah yang harus diperbaiki secepat mungkin. Ketergantungan teknologi pada generasi muda harus bisa diminimalisir. Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah ketergantungan adalah dengan teori peran atau Role Theory dan sosialisasi yang baik sejak kecil. Pendidikan, pemerintah, dan yang paling penting, keluarga mempunyai peran masing-masing dalam pertumbuhan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Teori peran dapat digunakan sebagai penunjuk pencegahan ketergantungan tersebut. Pada tahap playstage, tanggung jawab perkembangan anak berada 100% pada agen sosialisasi, yaitu orang tua dan wali lainya seperti guru-guru. Agen sosialisasi ini harus menumbuhkan nilai kemandirian terlepas pada teknologi. Contoh buruk yang menjadi marak di dunia modern ini adalah keberadaannya ipad kids. Ipad kids adalah anak-anak yang selalu berada pada teknologi daring seperti handphone dan tablet untuk bermain dan belajar. Hal ini merupakan sesuatu yang harus dihindarkan, sebab menciptakan ketergantungan pada teknologi di umur yang sangat kecil. Agen sosialisasi harus mampu mendidik dan menghibur anaknya terlepas dari teknologi. Hal ini akan menciptakan lingkungan yang sehat untuk anak berkembang dengan mandiri. Pada tahap playstage, anak-anak belajar melalui imitasi, dengan melihat agen sosialisasinya sebagai contoh. Oleh karena itu bukan hanya anak-anaknya yang harus terlepas dari ketergantungan teknologi, tapi juga orang tua dan guru-guru.
ADVERTISEMENT
Teknologi baiknya baru dikenalkan kepada anak pada tahap game stage. Pada tahap ini, tanggung jawab juga sudah terletak di tangan anak sendiri. Dengan kemandirian yang sudah ditumbuhkan pada tahap play stage, kemungkinan jatuh dalam doom scrolling pun berkurang. Tentu pada tahap ini, masih harus diawasi agen sosialisasi untuk menghancurkan bibit-bibit doom scrolling yang muncul di anak-anak. Dengan sosialisasi yang benar, generasi muda akan memiliki hubungan yang lebih bertanggung jawab dengan teknologi. Nilai ini pun pastinya mereka akan bawa saat sudah terlepas dari orang tua, menghancurkan siklus ketergantungan untuk generas-generasi selanjutnya.
Perubahan dunia yang dipicu oleh suatu bencana yaitu Covid–19 ini mengubah teknologi informasi dan digitalisasi ke arah yang lebih maju. Kecepatan penyebaran informasi, serta kecanggihannya mengubah kehidupan masyarakat dalam hal komunikasi ataupun pendidikan anak. Walaupun di era sekarang perkembangan teknologi dan informasi sudah membawa dampak positif dan sudah menjadi vital dalam kehidupan kita sehari-hari, hal ini tentu tidak jauh dari tantangan-tantangan yang timbul. Adanya kecanggihan teknologi ini membuat masyarakat membatasi diri akan interaksi sosial secara langsung dan muncul sifat ketergantungan. Permasalahan Doom Scrolling yang disebabkan oleh perkembangan teknologi sekarang ini, membawa banyak dampak negatif dalam kehidupan maupun mentalitas masyarakat. Adiksi tidak sehat ini akan semakin parah, serta membawa banyak efek negatif dalam jangka panjang apabila tidak ditangani dengan cepat. Doom Scrolling merupakan suatu masalah yang mencakup suatu adiksi atau ketergantungan terhadap suatu hal yang negatif, dibutuhkan banyak sekali cara serta kontribusi dari berbagai macam pihak ataupun lembaga, serta untuk mengakhiri sifat ketergantungan masyarakat terhadap teknologi, khususnya berita negatif.
ADVERTISEMENT
Lembaga pendidikan dan keluarga sebagai agen sosialisasi membawa pengaruh besar dalam mengatasi adiksi terhadap Doom Scrolling. Keluarga, dalam hal ini orangtua atau wali, harus bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya dalam hal penggunaan teknologi. Lembaga pendidikan pun dapat membantu para generasi muda dengan melakukan pembelajaran dengan cara tradisional dan cara modern, agar kehidupan sehari-hari tidak berpusat pada teknologi. Pengenalan teknologi terhadap para generasi-generasi baru pun harus dibatasi serta dikenalkan secara bertahap agar dapat terjalin hubungan teknologi dan masyarakat secara sehat, serta menghindari pola yang sama dengan masalah yang sudah terjadi saat ini yaitu adiksi terhadap teknologi. Meminimalisir penggunaannya dan mengutamakan kemandirian menjadi cara utama untuk mencegah ketergantungan itu. Apabila masalah ini terus menerus berkelanjutan, hal ini akan semakin merusak kinerja otak para generasi-generasi muda sehingga ruang bagi mereka untuk berkembang akan semakin menyempit. Dibutuhkan sifat kewaspadaan kepada penggunaan dan ketergantungan pada teknologi. Manusia harus bisa mengendalikan teknologi, bukan teknologi yang mengendalikan manusia.
ADVERTISEMENT