Konten dari Pengguna

Nagoshi No Harae: Ritual Pemurnian Besar Agama Shinto di Jepang

Benedicta Prasasti
Mahasiswa S1 Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Airlangga
5 Oktober 2024 11:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benedicta Prasasti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jepang merupakan salah satu negara di Asia yang tidak jauh berbeda dengan negara Asia lainnya yang memiliki budaya, adat istiadat yang unik, dan berbagai macam kepercayaan dengan menjunjung tinggi kedisiplinan dan sopan santun (Muhammad, 2020). Ajaran Shinto dan Buddha memegang peranan penting yang dijadikan pedoman oleh masyarakat Jepang untuk diterapkan ke segala bidang kehidupan, mulai dari kehidupan bermasyarakat, berbudaya hingga berkesenian. Shinto adalah kepercayaan asli masyarakat Jepang sejak zaman Restorasi Meiji hingga akhir perang dunia II, tepatnya pada tahun 1868-1912 (Adriani, 2007). Perkembangan agama Shinto di Jepang menghasilkan salah satu ritual suci yang bereksistensi hingga saat ini yaitu Ritual Nagoshi No Harae.
Kuil Jinja tempat beribadah Agama Shinto di Jepang (freepix.com)
Masyarakat Jepang mengenal istilah “Harae” sebagai ritual pemurnian dan dikenal juga sebagai ritual pengusiran setan sebelum melakukan pemujaan. Dalam banyak upacara keagamaan Shinto, Harae bertujuan untuk menyucikan segala kegiatan/dosa sebelum orang-orang memberikan persembahan pada Kami (roh yang disembah dalam agama Shinto). Salah satu jenis Harae adalah Nagashi no Harae. Nagashi no Harae berasal dari dua kata dalam bahasa Jepang yaitu Nagashi (流し) yang berarti "mengalir" atau "menyapu dan Harae (祓え) yang berarti "pemurnian" atau "penyucian." Secara harfiah berarti pemurnian yang melibatkan mengalirkan benda-benda yang mewakili dosa atau energi negatif ke air yang mengalir, seperti sungai atau laut, dengan harapan semua hal buruk tersebut akan terbawa pergi oleh air dan orang yang melakukannya menjadi bersih kembali secara spiritual.
ADVERTISEMENT
Sejarah Nagoshi no Harae
Nagoshi no Harae pertama kali didirikan selama Periode Nara (710-794) dan secara tradisional dilakukan di hari terakhir pada bulan keenam pada kalender lunar. Asal muasal ritual ini berasal dari legenda Jepang kuno tentang dewa pengembara Susano’o no Mikoto yang menyamar sebagai seorang pengemis. Sebagai ucapan terimakasih, sang dewa memberinya sebuah karangan bunga chinowa yang ditenun dari alang-alang untuk melindunginya dari penyakit. Singkat cerita dalam sebuah keberuntungan, Somin dan keturunannya berhasil selamat dari wabah dan penyakit yang menimpa negeri itu. Kisah pengembara Susano’o no Mikoto mengarah pada praktik melewati karangan bunga chinowa Nagoshi no Harae yang besar dipercaya dapat menangkal bencana dan kemalangan.
Proses Nagoshi no Harae
ADVERTISEMENT
Selama ritual, para pendeta Shinto akan menyeberangi chinowa, karangan bunga rumput suci yang melambangkan pemurnian dalam budaya Jepang. Sambil membungkuk, mereka melewati lingkaran lalu melewatinya ke depan kearah kiri, melewatinya ke kanan, lalu dilakukan sekali lagi untuk mengakhirinya. Selanjutnya pendeta kuil akan menuntun peserta untuk melakukan hal yang sama. Proses ini diyakini untuk membersihkan diri dari segala tindakan buruk, melindungi dari kemalangan, dan untuk berdoa memohon kesehatan. Di beberapa kuil, pendeta melakukan ritual ini sambil membawa kotak berisi figur kertas kecil orang-orang, yang disebut hitogata. Hitogata kemudian akan dibuang ke sungai di akhir prosesi Nagoshi no Harae.
Terkenal di Kyoto
Upacara Nagoshi no Harae yang paling populer berlokasi di Kyoto, salah satunya Kuil Kitano Tenmangu, rumah bagi chinowa terbesar di Kyoto yang tingginya mencapai 5 meter. Kuil Kamigano dan Kuil Kifune juga melakukan ritual ini serta membagikan hitogata yang kemudian diapungkan ke sungai untuk menyingkirkan kesialan, Selain itu terdapat juga Kuil Yoshida sebagai kuil yang populer dari tradisi Nagoshi no Harae dimana peserta yang mempersembahkan jimat boneka kepada dewa akan diberikan karangan bunga indah sebagai balasannya. Menghadiri Nagoshi no Harae di Kyoto juga adalah kesempatan untuk bisa mencicipi makanan khas Kyoto, minazuki. Makanan kecil seperti kue mangkuk kukus berbentuk kerucut yang diberi kacang adzuki diatasnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu ritual penting dalam agama Shinto, Nagoshi no Harae tidak hanya mencerminkan nilai-nilai spiritualitas masyarakat Jepang, tetapi juga mengajarkan pentingnya kebersihan hati dan jiwa dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ini bukan hanya bagian dari warisan budaya, tetapi juga sebuah pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara diri, alam, dan kekuatan spiritual yang lebih besar.
Referensi:
Muhammad, E. 2020. “Kepercayaan Masyarakat Jepang Terhadap Mitologi Tanuki”. Universitas Darma Persada.
Adriani, Sri Dewi. 2007. “Eksistensi Agama Shinto dalam Pelaksanaan Matsuri di Jepang”. Jurnal Lingua Cultura, 1(2):132-14.