Jakob Oetama : Ambisi Sang Legenda Persuratkabaran

Benedikta Tiara Noveliane
Mahasiswi Semester 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya
Konten dari Pengguna
11 November 2020 19:32 WIB
Tulisan dari Benedikta Tiara Noveliane tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto : Kompas.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto : Kompas.com
ADVERTISEMENT
Jakobus Oetama atau yang biasa dikenal dengan Jakob Oetama lahir pada tahun 1931, tepatnya pada tanggal 27 September di sebuah desa di Magelang, Jawa Tengah. Lahir dari keluarga yang sederhana, Jakob Oetama memiliki 12 saudara kandung dengan beliau sebagai putra pertama. Raymundus Josef Sandiyo Brotosoesiswo sang ayah dan Margaretha Kartonah sang ibu merupakan orang tua Jakob Oetama. Sang ayah, Sandiyo, pernah bekerja menjadi guru di Ambarawa dan pernah juga menjadi Kepala Sekolah Rakyat Kanisius. Sedangkan ibu Jakob Oetama adalah seorang ibu rumah tangga, sehingga Jakob Oetama lebih dekat dengan ibunya. Layaknya anak muda pada umumnya yang mempunyai cita-cita, Jakob Oetama penah bercita – cita menjadi pastor ketika beliau muda. Keinginan Jakob Oetama tersebut terinspirasi dari rekan ayahnya yang merupakan seorang pastor. Sewaktu usia sekolah, Jakob Oetama pernah bersekolah di Sekolah Rakyat dan SMP Pangudi Luhur Yogyakarta. Setelah lulus SMP, Jakob Oetama melanjutkan pendidikannya ke seminari menengah di Yogyakarta untuk mewujudkan cita-citanya menjadi pastor dan beliau lulus dari seminari menengah pada 1951.
ADVERTISEMENT
Jakarta menjadi kota tempat Jakob Oetama untuk merantau serta bekerja menjadi guru SMP. Tidak hanya mengajar saja, Jakob Oetama juga menjalankan kegiatan perkuliahan Sekolah Guru B-1 Ilmu Sejarah yang kemudian lulus kuliah pada tahun 1956. Semangat belajar Jakob Oetama dapat dilihat dari pilihan beliau untuk terus melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Publistik, Jakarta dan lulus pada tahun 1959. Nilai memuaskan yang beliau dapatkan semasa kuliah B-1 Sejarah mengantarkan beliau dalam memperoleh kesempatan untuk mendapat gelar doktor di University of Columbia, Amerika Serikat dengan beasiswa. Namun, tawaran tersebut ditolak oleh Jakob Oetama karena keinginan beliau untuk menjadi wartawan yang cukup kuat, sehingga beliau memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jurusan Komunikasi Massa Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada untuk menambah keahlian dan kemampuan beliau dalam bidang jurnalistik dan komunikasi.
ADVERTISEMENT
Pada tahun terakhir kuliahnya, Jakob Oetama berkenalan dengan P.K. Ojong untuk bekerja sama dalam membuat dan menyusun majalah. Pertemuan tersebut membuat Jakob Oetama semakin yakin dengan pilihannya untuk menjadi wartawan. Jakob Oetama kemudian lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1961. Sebelum mendirikan surat kabar Kompas, Jakob Oetama telah lebih dahulu mendirikan majalah bulanan Intisari. Setelah memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaannya di majalah Penabur, Jakob Oetama kemudian mendirikan harian Kompas bersama dengan P.K. Ojong. Dengan modal awal Rp 150 ribu dan mesin ketik pinjaman, Jakob Oetama berhasil mendirikan dan mengembangkan Kompas hingga saat ini.
Jakob Oetama menghembuskan nafas terakhirnya pada 9 September 2020 di Jakarta. Beliau meninggal bertepatan dengan hari ulang tahun Kompas ke-9 tepatnya pada umur 88 tahun. Taman Makan Pahlawan Kalibata menjadi tempat persemayaman terakhir Jakob Oetama. Jurnalisme makna menjadi hal yang selalu Jakob Oetama harapkan di dunia jurnalistik, khususnya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Surat kabar telah melekat dengan sosok Jakob Oetama. Sepak terjang beliau dalam persuratkabaran sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno tidak perlu diragukan lagi. Selain aktif dalam surat kabar, Jakob Oetama juga menulis beberapa buku sejak tahun 1987, salah satunya berjudul Perspektif Pers Indonesia. Peran Jakob Oetama dalam persuratkabaran dapat dilihat dari pemikiran-pemikiran yang pernah beliau kemukakan selama hidupnya. Kritis terhadap dunia persuratkabaran menjadi hal yang cukup mendominasi pemikiran-pemikiran Jakob Oetama.
Salah satu pemikiran Jakob Oetama yang cukup menarik untuk dibahas di masa pandemi Covid-19 ini yaitu tentang jurnalisme makna dan jurnalisme fakta. Pemikiran Jakob Oetama tersebut tertuang dalam sebuah pidato yang beliau pernah sampaikan ketika menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003. Dalam pidato tersebut, Jakob Oetama menyampaikan keresahannya terhadap persuratkabaran baik cetak maupun online terutama di zaman modern seperti saat ini. Jakob Oetama menyayangkan banyak pihak yang lebih mengutamakan kecepatan dalam penyampaian informasi dibandingkan dengan kualitas infromasi yang diberikan. Sebuah informasi atau berita seharusnya dikaji terlebih dahulu sebelum benar-benar menjadi konsumsi masyarakat. Fakta saja tidak cukup dalam sebuah berita, perlu juga adanya keseimbangan dengan makna. Dengan begitu berita bukan sekadar informasi yang menyajikan fakta, melainkan juga sebagai bentuk interpretasi akan arti serta makna dari peristiwa. Selanjutnya masyarakat juga tidak hanya ingin tahu makna, tetapi juga akan ke mana arah dan semangat penyelesaiannya.
ADVERTISEMENT
Pemikiran - pemikiran Jakob Oetama perlu menjadi pegangan bagi seorang wartawan atau siapapun dalam membagikan berita atau informasi, terutama untuk kondisi seperti saat ini. Pandemi yang disebabkan oleh virus corona ini menjadi permasalahan di seluruh negara di dunia, tidak hanya di Indonesia saja. Peran surat kabar cukup penting dalam penyampaian infomasi kepada masyarakat. Tanpa informasi atau berita, kemungkinan buruk yang terjadi adalah ketidakpahaman terhadap peristiwa yang sedang terjadi (misscomunication) hingga mampu menimbulkan kekacauan dalam penanganan pandemi. Tugas media bukanlah menyelesaikan suatu masalah hingga masalahnya benar-benar secara praktis dan selesai. Namun, media diharapkan tetap dapat terlibat dalam penciptaan solusi dari suatu masalah. Dalam penyampaian informasi atau berita, Jakob Oetama berharap semua wartawan sudah seharusnya hafal dengan arti kebebasan pers yang mampu menginterpretasikan berita, menghibur yang papa dan menggugat yang mapan, serta mengontrol dan mengkritik pemerintah serta untuk memperbarui masyarakat. Mengenai pengalaman dan profesinya, Jakob Oetama mengatakan bahwa hidup seolah-olah sebagai kebetulan-kebetulan yang oleh Jakob Oetama dianggap sebagai penyelenggaraan Ilahi.
ADVERTISEMENT
Di masa pandemi seperti saat ini, sering kita temukan penyebaran berita-berita hoax yang meresahkan masyarakat. Ketidakpastian akan benar tidaknya suatu berita sering menjadi perdebatan di berbagai kalangan masyrakat. Mudahnya dalam membagi dan memperoleh informasi dari siapapun serta kurangnya kedewasaan dalam bertindak menjadi salah satu penyebabnya. Informasi yang seharusnya dikaji dan diolah terlebih dahulu bukan lagi menjadi standar yang digunakan dalam penyebaran berita atau informasi. Sebagian besar masyarakat juga lebih mementingkan siapa yang paling cepat dalam penyebaran berita dibandingkan dengan isi dari berita yang disebarakan. Kebiasaan tersebut cukup berbahaya apabila tidak segera ditangani.
Bahkan beberapa data menyatakan kasus penyebaran hoax di Indonesia meningkat dari sebelum adanya virus corona (Henri Subiakto, 2020). Salah satu contoh nyatanya pada penyebaran berita tentang rokok yang mampu menyembuhkan virus corona. Hal tersebut tentu sangat membahayakan orang-orang sekitar, karena pada kenyataanya rokok justru membuat kondisi tidak membaik (Kominfo, 2020). Sudah seharusnya masyarakat terutama jurnalis atau wartawan lebih peduli dengan menerapkan nilai – nilai pemikiran Jakob Oetama dalam penyusunan dan penyebaran berita yang mementingkan fakta dan makna. Dengan begitu, penyebaran hoax dapat berkurang, masyarakat dapat teredukasi, dan juga terciptanya suasana kondusif di lingkungan masyarakat.
ADVERTISEMENT
(Mahasiswi Semester 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga)