Konten dari Pengguna

Kesehatan atau Ambisi: Saat Hustle Culture Menguji Batas Interaksi Sosial

Benediktus Naratama Abhinawa
Seorang mahasiswa Jurusan Sosiologi di Universitas Brawijaya yang sedang mencoba hal baru
9 November 2024 11:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benediktus Naratama Abhinawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Freepik.com
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, kebanyakan masyarakat khususnya para generasi milenial hingga gen z, memiliki semangat kerja yang tinggi guna mendapatkan berbagai kesenangan, seperti pujian dari atasan, bonus insentif, dan penghargaan. Namun, jika seseorang melakukan hal tersebut secara terus menerus, maka dikhawatirkan akan mengganggu kesehatannya. Fenomena ini disebut dengan hustle culture, yaitu ketika seseorang memiliki gaya hidup yang memaksa seseorang untuk bekerja keras dan cepat di luar batas kemampuan manusia dan mengorbankan kehidupan pribadi. Menurut (Burgess et al., 2022) terdapat kalimat motivasi seperti “usaha tidak akan mengkhianati hasil” telah mengonstruk pikiran masyarakat. Mereka berpikir bahwa semakin keras kita bekerja, semakin puas hasil yang akan didapat nantinya.
ADVERTISEMENT
Namun, dibalik optimisme yang diusung oleh gagasan “usaha tidak akan mengkhianati hasil”, muncul kontradiksi dalam bentuk tekanan batin dan menimbulkan dampak negatif pada kesejateraan sosial. Ketika hustle culture diromantisasi, ia membentuk sebuah pandangan sosial di mana produktivitas dijadikan ukuran utama nilai diri seseorang. Hal ini mendorong individu untuk mengorbankan aspek-aspek penting seperti istirahat dan hubungan sosial. Tulisan ini akan melihat bagaimana fenomena hustle culture dari sudut pandang sosiologi kesehatan.
Pekerjaan dan Alienasi
Fenomena hustle culture dapat memperburuk keterasingan ini dengan menjadikan kerja sebagai pusat kehidupan, di mana individu dipaksa untuk bersaing secara ketat demi mendapatkan pengakuan dan insentif. Akibatnya, pekerjaan tidak lagi menjadi sesuatu yang memberikan makna, tetapi justru menjadi sumber stress dan tekanan yang menghisap semangat hidup. Tidak hanya menyebabkan asingnya diri sendiri terhadap pekerjaannya, hustle culture juga dapat merusak relasi sosial karena kompetisi yang tidak sehat. Maksud hati mencapai target pribadi, hubungan dengan orang lain sering kali dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan, bukan sebagai koneksi yang berharga. Rasa saling percaya dan empati pun menipis, karena setiap individu berlomba untuk mempertahankan posisinya di sistem ekonomi yang menuntut hasil maksimal.
ADVERTISEMENT
Hustle Culture dalam Sosiologi Kesehatan
Hustle culture mendorong individu untuk bekerja dalam waktu yang lama sering kali tidak memperhatikan kebutuhan dasar tubuh istirahat, tidur, dan memenuhi kebutuhan nutrisi. Dalam jangka panjang, hustle culture dapat meningkatkan risiko penyakit fisik seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pencernaan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana norma sosial yang mengutamakan produktivitas tanpa batas dapat mengubah cara pandang individu terhadap tubuhnya.
Lalu, mengutip dari (Ini, 2024) selain mengganggu kesehatan fisik, hustle culture juga dapat mempengaruhi kesehatan mental, seperti burnout dan depresi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), burnout diakui sebagai masalah kesehatan kerja yang ditandai oleh kelelahan fisik dan emosional, hingga penurunan produktivitas. Dalam jangka panjang, dampak tersebut dapat memicu masalah serius, seperti tekanan darah tinggi, gangguan tidur, dan penurunan sistem imun tubuh.
ADVERTISEMENT
Penulis merasa bahwa masyarakat perlu merefleksikan kembali batas-batas antara ambisi dengan kesehatan. Kesadaran kolektif tentang pentingnya keseimbangan antara kerja dan kehidupan (work-life balance) menjadi langkah awal dalam melawan dampak negatif hustle culture. Penerapan kebijakan kerja fleksibel dan promosi praktik kesehatan mental di tempat kerja dapat menjadi solusi yang efektif.
Kesimpulan
Fenomena hustle culture yang marak di kalangan generasi milenial dan gen Z merupakan cerminan dari pola pikir yang mengutamakan produktivitas ekstrem sebagai penentu utama nilai diri seseorang. Dari perspektif sosiologis, budaya kerja semacam ini dapat dikaitkan dengan konsep alienasi yang diuraikan oleh Karl Marx. Marx menekankan bahwa dalam sistem kapitalis, pekerja sering kali terasingkan dari proses produksinya sendiri. Hustle culture memperparah keterasingan ini dengan mengarahkan pekerja untuk melihat pekerjaan sebagai satu-satunya sumber makna hidup, sehingga mengabaikan kebutuhan personal seperti istirahat dan hubungan sosial yang sehat.
ADVERTISEMENT
Referensi
Burgess, A., Yeomans, H., & Fenton, L. (2022). ‘ More options … less time ’ in the ‘ hustle culture ’ of ‘ generation sensible ’: Individualization and drinking decline among twenty-first century young adults. October 2021, 903–918. https://doi.org/10.1111/1468-4446.12964
Hendrawan, D. (2017). Alienasi Pekerja Pada Masyarakat Kapitalis. Arete: Jurnal Filsafat, 13–33.
Ini, B. H. (2024). Hustle Culture: Pengertian, Dampak, dan Cara Mengatasinya | kumparan.com. https://kumparan.com/berita-hari-ini/hustle-culture-pengertian-dampak-dan-cara-mengatasinya-22iDuv45oLO