Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ketika Gelar Sarjana Tak Menjamin: Gambaran Kontras di NTT
2 Mei 2025 19:55 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Benediktus Solistyo Nasri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), pemandangan wisuda di berbagai perguruan tinggi menjadi momen penuh haru dan kebanggaan. Ribuan mahasiswa bergelar sarjana melangkah ke dunia nyata dengan mimpi besar: mendapatkan pekerjaan layak, membangun karier, dan mengangkat kesejahteraan keluarga. Namun, kenyataan berkata lain.
ADVERTISEMENT
Di balik toga dan senyum lebar, tersembunyi ironi yang mencolok. Data lokal menunjukkan bahwa dari setiap 100 lulusan sarjana di NTT, hanya sekitar 20 orang yang berhasil bekerja sesuai dengan bidang yang mereka pelajari di bangku kuliah. Sisanya terombang-ambing: ada yang menganggur bertahun-tahun, ada pula yang akhirnya mengambil pekerjaan di sektor informal yang jauh dari latar belakang akademik mereka. Kemudian, laporan ANTARA News Makassar menunjukkan bahwa pengangguran di NTT, meskipun beragam, paling tinggi di kalangan lulusan sarjana. Ini mengindikasikan bahwa mungkin ada lebih banyak lulusan sarjana yang mencari pekerjaan daripada lapangan kerja yang tersedia.
Cerita ini bukan sekadar angka. Di kampung-kampung, banyak terdengar kisah "sarjana pulang kampung" yang kini mengandalkan pekerjaan serabutan, bertani seadanya, atau bahkan merantau ke kota-kota besar tanpa jaminan nasib yang lebih baik. Mimpi masa kuliah yang dulunya bersinar, kini seakan meredup di hadapan kerasnya realitas.
ADVERTISEMENT
Di tengah situasi ini, pertanyaan penting perlu kita renungkan bersama: Apakah pendidikan tinggi yang dibanggakan itu benar-benar telah selaras dengan kebutuhan nyata daerah seperti NTT? Ataukah kita justru terjebak dalam sistem yang hanya mengutamakan gelar, tanpa mempertimbangkan jalan hidup setelahnya?
Pertumbuhan jumlah lulusan perguruan tinggi di Nusa Tenggara Timur dalam satu dekade terakhir patut diapresiasi sebagai indikator kemajuan pendidikan. Setiap tahun, ribuan anak muda menamatkan studi dari berbagai universitas dan sekolah tinggi di Kupang, Ende, Ruteng, hingga Larantuka. Namun, pencapaian akademik ini sayangnya tidak diiringi dengan pertumbuhan lapangan kerja yang sebanding.
Lapangan kerja formal di NTT masih sangat terbatas dan didominasi oleh sektor pemerintahan, pendidikan, dan kesehatan, yang sebagian besar bergantung pada anggaran negara. Sementara itu, sektor swasta, industri kreatif, dan manufaktur belum berkembang optimal untuk menyerap tenaga kerja berpendidikan tinggi. Alhasil, para sarjana bersaing ketat untuk posisi-posisi yang jumlahnya tidak bertambah signifikan dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT
Masalah lain yang memperburuk situasi adalah ketidaksesuaian antara jurusan pendidikan yang tersedia dengan kebutuhan nyata di dunia kerja lokal. Banyak perguruan tinggi masih menawarkan program studi yang tidak adaptif terhadap potensi ekonomi daerah, seperti pariwisata berbasis budaya, pengelolaan sumber daya alam, atau pertanian modern. Akibatnya, para lulusan memiliki keterampilan yang kurang relevan, membuat mereka sulit bersaing bahkan di wilayahnya sendiri.
Lebih jauh lagi, belum adanya sinergi efektif antara dunia pendidikan dan dunia usaha menyebabkan jurang ketidaksesuaian ini semakin melebar. Di satu sisi, para sarjana merasa "terlalu tinggi" untuk pekerjaan berbasis lapangan; di sisi lain, lapangan kerja yang tersedia membutuhkan keterampilan praktis yang sering kali tidak diajarkan di ruang-ruang kuliah.
Masalah pengangguran sarjana di NTT bukan sekadar tentang jumlah pekerjaan yang sedikit. Ini adalah potret ketidakcocokan sistemik antara arah pendidikan dan kebutuhan nyata daerah — masalah mendasar yang perlu segera diselesaikan jika NTT ingin keluar dari lingkaran ketertinggalan pembangunan.
ADVERTISEMENT
1. Pendidikan Tinggi di NTT Lebih Fokus "Mencetak Sarjana" daripada "Mencetak Tenaga Kerja Adaptif"
Salah satu akar masalah pengangguran sarjana di NTT adalah paradigma pendidikan yang lebih mengutamakan gelar daripada keterampilan. Banyak perguruan tinggi menekankan pencapaian akademis dalam bentuk teori dan hafalan, namun minim dalam membekali mahasiswa dengan keterampilan praktis yang dibutuhkan di lapangan. Kurikulum cenderung seragam, tanpa memperhatikan potensi dan kekuatan daerah. Akibatnya, lulusan tidak memiliki fleksibilitas untuk beradaptasi dengan berbagai tantangan kerja di wilayahnya sendiri.
2. Minimnya Industri dan Sektor Ekonomi Kreatif Menyulitkan Penyerapan Tenaga Kerja
Keterbatasan sektor industri dan ekonomi kreatif di NTT memperburuk pengangguran sarjana. Daerah ini masih sangat bergantung pada sektor primer seperti pertanian tradisional dan perikanan, sementara sektor sekunder dan tersier yang biasanya mampu menyerap tenaga kerja berpendidikan tinggi belum berkembang optimal. Tanpa adanya basis ekonomi yang kuat untuk menyerap lulusan, banyak sarjana akhirnya bekerja di luar bidang mereka atau memilih migrasi ke luar NTT untuk mencari peluang.
ADVERTISEMENT
3. Kurangnya Sinkronisasi antara Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja
Kesenjangan besar juga terlihat dari tidak adanya koneksi nyata antara dunia pendidikan dan dunia usaha. Perguruan tinggi di NTT jarang menjalin kemitraan dengan sektor swasta atau pemerintah daerah untuk memastikan bahwa program studi yang ditawarkan relevan dengan kebutuhan pembangunan. Tanpa keterlibatan dunia industri dalam penyusunan kurikulum, lulusan tidak hanya kehilangan kesempatan berlatih keterampilan praktis, tetapi juga kehilangan kesempatan membangun jaringan profesional yang penting untuk memasuki dunia kerja.
Krisis pengangguran sarjana di NTT bukan hanya kesan semata, melainkan didukung oleh berbagai data resmi yang memperlihatkan kesenjangan serius antara jumlah lulusan dan lapangan kerja yang tersedia.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Timur, tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk lulusan universitas di NTT per tahun 2023 mencapai 7,15%, angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPT nasional untuk lulusan universitas yang berkisar di angka 5,89%. Ini menandakan bahwa sarjana di NTT menghadapi risiko pengangguran yang lebih besar dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di provinsi lain.
ADVERTISEMENT
Lebih rinci lagi, laporan BPS menunjukkan bahwa dari seluruh pengangguran di NTT, hampir 30% adalah lulusan pendidikan tinggi, baik dari universitas, sekolah tinggi, maupun akademi. Ini memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan tinggi tidak otomatis menjadi jaminan mendapatkan pekerjaan di daerah ini.
Selain itu, riset dari Universitas Nusa Cendana (Undana) pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa hanya sekitar 22% lulusan dari kampus-kampus di NTT yang berhasil memperoleh pekerjaan sesuai bidang keahlian mereka dalam satu tahun setelah lulus. Sebagian besar lulusan harus beradaptasi bekerja di sektor informal seperti perdagangan kecil, jasa ojek daring, atau bahkan kembali membantu pertanian keluarga.
Dalam sisi lain, data investasi daerah menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor industri kreatif dan sektor sekunder di NTT masih sangat lambat, dengan kontribusi hanya sekitar 15% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi. Padahal sektor-sektor inilah yang biasanya banyak membuka peluang kerja bagi tenaga muda terdidik.
ADVERTISEMENT
Semua angka ini memperjelas satu hal: ada ketidakseimbangan serius antara produksi lulusan perguruan tinggi dan dinamika pasar kerja di NTT. Tanpa upaya serius untuk memperbaiki arah kebijakan pendidikan dan ekonomi daerah, pengangguran sarjana akan terus menjadi bom waktu sosial di masa depan.
Melihat seriusnya persoalan pengangguran sarjana di NTT, berbagai langkah konkret perlu segera dilakukan untuk memutus siklus ini. Berikut beberapa solusi dan usulan yang dapat diterapkan:
1. Reformasi Kurikulum Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal dan Kebutuhan Daerah
Perguruan tinggi di NTT perlu merancang ulang kurikulumnya dengan fokus pada kebutuhan riil masyarakat dan potensi daerah. Program studi yang lebih aplikatif seperti pertanian modern, pariwisata berbasis budaya, pengelolaan sumber daya alam, dan teknologi tepat guna harus lebih dikembangkan. Integrasi antara teori akademik dan praktik lapangan perlu diperkuat agar lulusan memiliki keterampilan nyata, bukan hanya gelar.
ADVERTISEMENT
2. Mendorong Wirausaha Sosial Berbasis Potensi Lokal
Daripada bergantung pada lapangan kerja formal yang terbatas, generasi muda NTT harus didorong untuk menciptakan lapangan kerja sendiri melalui wirausaha sosial. Program pelatihan bisnis, pengelolaan usaha kecil, dan inovasi berbasis potensi lokal—seperti pengolahan hasil pertanian, kerajinan tangan, hingga ekowisata—perlu diprioritaskan. Pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan LSM dapat bersinergi membangun inkubator bisnis untuk mendukung ide-ide kreatif anak muda.
3. Kolaborasi Dunia Pendidikan, Swasta, dan Pemerintah
Kemitraan strategis harus dibangun antara perguruan tinggi, sektor swasta, dan pemerintah daerah untuk menciptakan ekosistem kerja yang lebih sehat. Program magang industri, beasiswa berbasis komitmen kerja, serta pelatihan berbasis proyek nyata harus menjadi bagian dari sistem pendidikan. Dunia usaha juga dapat dilibatkan dalam penyusunan kurikulum agar lulusan memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan pasar.
ADVERTISEMENT
4. Meningkatkan Investasi di Sektor Industri Kreatif dan Teknologi
Pemerintah daerah perlu lebih aktif menarik investasi di sektor-sektor yang memiliki potensi serapan tenaga kerja tinggi, seperti industri kreatif, teknologi informasi, dan energi terbarukan. Dengan berkembangnya sektor-sektor ini, kesempatan kerja baru bagi lulusan sarjana akan semakin terbuka tanpa harus bergantung pada sektor pemerintahan semata.
Situasi pengangguran sarjana di Nusa Tenggara Timur adalah cermin dari persoalan yang lebih mendasar: ketidaksinkronan antara dunia pendidikan dan kebutuhan nyata di daerah. Terus mencetak ribuan sarjana tanpa memikirkan arah dan penyalurannya sama saja dengan membangun harapan kosong. Gelar akademik, tanpa didukung keterampilan yang relevan dan lapangan kerja yang tersedia, justru berpotensi melahirkan frustrasi sosial di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, harapan itu belum padam. Dengan langkah-langkah inovatif seperti reformasi kurikulum, dorongan terhadap wirausaha lokal, kolaborasi strategis antara sektor pendidikan dan dunia usaha, serta percepatan investasi di sektor-sektor kreatif, NTT sebenarnya memiliki peluang besar untuk bangkit.
Anak muda NTT, dengan semua potensinya, adalah aset yang sangat berharga. Mereka tidak sekadar membutuhkan ijazah, tetapi juga perlu dibekali jalan nyata untuk berkarya. Saatnya semua pihak — pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat — bersatu membangun ekosistem yang mendorong pertumbuhan, bukan sekadar produksi gelar.
Karena sejatinya, pembangunan manusia adalah investasi terbaik untuk masa depan daerah. Dan NTT pantas untuk masa depan yang lebih cerah.
Benediktus S. Nasri S.M., M.M (Alumni Pascasarjana STIE YKPN Yogyakarta)
ADVERTISEMENT