Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Utang, Harapan, dan Perjuangan Maria: Cerita dari Pedalaman Manggarai
7 Mei 2025 14:57 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Benediktus Solistyo Nasri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
**Di Antara Hijau Pegunungan dan Jeratan Harian**
Di Cancar, Manggarai, pagi datang perlahan. Kabut menyingkir pelan-pelan dari lekuk-lekuk sawah yang bertingkat seperti tangga menuju langit. Angin membawa harum tanah basah, dan suara ayam jantan bersahut-sahutan dari kejauhan. Semuanya terasa damai—setidaknya bagi mata yang hanya melihat permukaan.
ADVERTISEMENT
Namun di balik keindahan itu, ada cerita yang tak selalu terdengar. Cerita tentang perjuangan hidup yang tak semulus alur sungai pegunungan.
Maria, seorang ibu rumah tangga, melangkah pagi-pagi sekali menyusuri jalan tanah merah menuju kebun orang lain "Duat" istilah Manggarai. Ia bukan petani pemilik lahan—ia buruh tani. Hari itu, ia mencangkul, menanam sayur, atau memungut hasil panen, tergantung siapa yang menyewanya. Upahnya? Tak lebih dari dua lembar uang merah. Tapi dari situlah hidupnya bergantung.
Setiap hari, Maria menyisihkan sepuluh ribu rupiah. Bukan untuk ditabung. Tapi untuk menyetor cicilan pinjaman ke koperasi harian. Uang pinjaman itu sebelumnya ia pakai membeli beras, membayar uang sekolah anak sulungnya, dan kadang... hanya agar dapur bisa tetap mengepul.
ADVERTISEMENT
“Kalau tidak pinjam, dapur tidak ngebul,” ucapnya lirih.
Maria bukan satu-satunya. Di desa ini, banyak yang bernasib serupa. Koperasi harian bukan lagi pilihan, tapi jalan darurat untuk bertahan. Tapi benarkah ini solusi? Atau justru jerat yang menyamar?
**Cerita Koperasi: Lahir dari Kebutuhan, Tumbuh di Celah Sistem**
Bagi warga seperti Maria, koperasi bukan hanya tempat meminjam uang—ia seperti pelampung di tengah lautan kebutuhan. Di saat tidak ada bank yang bisa dimasuki, koperasi datang seperti perahu kecil yang siap menjemput siapa saja, tanpa tanya surat tanah atau slip gaji.
Di Manggarai, koperasi harian, mingguan, dan bulanan tumbuh dari kebutuhan. Mereka hadir karena ada kekosongan. Bank terlalu jauh, terlalu rumit, terlalu kaku. Maka koperasi mengisi ruang yang ditinggalkan itu—dengan syarat yang longgar, sistem yang cair, dan, yang terpenting, dengan rasa percaya.
ADVERTISEMENT
Ada yang dijalankan oleh kelompok ibu-ibu di lingkungan gereja. Ada juga yang dipegang oleh satu dua orang tetua kampung yang keliling tiap pagi—seperti “bank keliling”, tapi rasa-rasanya lebih akrab, lebih dekat.
Koperasi harian berjalan cepat: pinjam hari ini, cicil mulai besok. Uangnya tak besar—seratus sampai satu juta rupiah, cukup untuk modal warung, beli beras, atau biaya anak demam. Tapi justru karena kecil, orang merasa lebih mudah mengaksesnya.
Berbeda dengan sistem mingguan atau bulanan, koperasi harian seperti lari sprint: cepat, pendek, tapi menguras tenaga. Dan meskipun bunganya kadang samar, atau dipotong di depan, orang tetap mengambilnya. Karena ketika perut lapar dan anak butuh seragam sekolah, logika bisa dikalahkan oleh kebutuhan.
Namun, tidak semua koperasi terdaftar. Banyak yang berjalan tanpa badan hukum. Tanpa pengawasan. Tanpa buku kas yang rapi. Yang ada hanya catatan tangan dan janji-janji kecil antara tetangga.
ADVERTISEMENT
Di permukaan, sistem ini tampak sederhana. Tapi sesungguhnya, ia berdiri di atas fondasi rapuh: kepercayaan, keterdesakan, dan kebutuhan yang mendesak.
---
**Sisi Terang dan Gelap Koperasi: Dua Wajah dalam Satu Cermin**
Di suatu sore, saya duduk di beranda rumah Pak Lukas (samaran), seorang petani kopi yang juga anggota koperasi simpan pinjam. Tangannya sibuk memilah biji kopi kering, sementara suaranya pelan namun dalam.
“Koperasi itu seperti parang,” katanya. “Kalau dipakai benar, bisa bantu buka jalan. Tapi kalau salah, bisa melukai.”
Pak Lukas adalah contoh dari sisi terang koperasi. Ia ikut koperasi resmi yang sudah berbadan hukum dan punya sistem transparan. Dari koperasi itulah ia mendapatkan modal untuk memperluas kebunnya. Tak hanya uang, ia juga dapat pelatihan cara menanam dan memproses kopi dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT
Namun, di kampung sebelah, ada cerita lain.
Seorang ibu muda, sebut saja namanya Yohana, terjerat pinjaman dari koperasi harian tak resmi. Awalnya hanya pinjam seratus ribu rupiah, tapi dalam dua minggu, bunganya menggulung seperti bola salju. Ia harus mengembalikan hampir dua kali lipat. Karena tak sanggup membayar, ia meminjam lagi di koperasi lain—dan siklus itu terus berulang.
“Akhirnya saya pinjam buat bayar pinjaman. Muter saja begitu,” katanya dengan senyum pahit.
Cerita Yohana bukan satu-dua kasus. Banyak warga—terutama perempuan—yang akhirnya terjerat dalam lingkaran utang. Mereka mulai kehilangan barang-barang rumah, ada yang menjual kambing, bahkan sawah warisan keluarga. Beberapa sampai putus sekolah, karena uang sekolah terpakai untuk bayar cicilan.
Di titik ini, koperasi kehilangan wajah ramahnya. Ia berubah menjadi mesin pemeras. Yang awalnya menawarkan harapan, justru menjatuhkan lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Lalu, siapa yang salah? Apakah sistem koperasinya? Atau ketidaktahuan anggotanya? Ataukah negara yang abai memberi perlindungan?
Jawabannya mungkin tidak sesederhana itu. Tapi satu hal jelas: ketika sistem berjalan tanpa kontrol, tanpa pendidikan literasi keuangan, dan tanpa aturan yang ditegakkan, maka yang lemah akan selalu jadi korban.
---
**Mengupas Akar Masalah: Sistem yang Tak Pernah Selesai**
Masalah koperasi harian bukan hanya tentang bunga yang tinggi, atau tentang warga yang “kurang bijak” mengelola keuangan. Jika kita telusuri lebih dalam, persoalannya jauh lebih kompleks—dan lebih sistemik.
Di banyak desa seperti di Manggarai, akses terhadap lembaga keuangan formal masih seperti mimpi. Bank dan lembaga kredit mikro memang ada, tapi untuk masuk ke sana, warga perlu memenuhi berbagai syarat: agunan, rekening bank, riwayat kredit, dan surat-surat resmi. Sementara banyak dari mereka bahkan tidak punya KTP aktif, apalagi sertifikat tanah.
ADVERTISEMENT
Inilah celah yang diisi oleh koperasi informal. Bukan karena mereka lebih baik, tapi karena mereka **lebih mudah dijangkau**.
Pendidikan keuangan juga nyaris tak tersentuh. Sekolah tidak mengajarkan bagaimana mengelola utang, menyusun anggaran rumah tangga, atau menimbang risiko pinjaman. Bahkan dalam pertemuan RT atau gereja pun, hal-hal semacam itu jarang dibicarakan.
Akibatnya, warga seperti Maria dan Yohana belajar dari pengalaman pahit. Mereka tahu bunga tinggi itu memberatkan, tapi mereka tidak punya pilihan lain. Mereka terpaksa memilih risiko jangka panjang untuk menyelesaikan masalah jangka pendek.
Ironisnya, banyak koperasi yang menjadikan kemiskinan sebagai “pasar”. Semakin banyak orang butuh uang, semakin tinggi pula potensi keuntungan mereka. Dalam sistem ini, kemiskinan bukan masalah yang harus diselesaikan—ia justru menjadi ladang bisnis.
ADVERTISEMENT
Negara hadir, tapi terlalu jauh. Program bantuan seperti BLT atau subsidi pupuk sering datang tanpa edukasi pendamping. Dan ketika masalah muncul, tak ada lembaga yang benar-benar turun tangan untuk melindungi masyarakat kecil.
Masalah koperasi harian ini, pada akhirnya, bukan sekadar soal utang-piutang. Ia adalah cermin dari sebuah sistem sosial dan ekonomi yang **gagal melindungi yang lemah, dan memberi ruang terlalu besar bagi yang kuat untuk mengambil keuntungan.**
---
**Harapan Baru: Saat Koperasi Bisa Menjadi Jembatan, Bukan Beban**
Beberapa bulan lalu, saya kembali ke desa Maria. Saat itu musim panen sedang tiba. Di pinggir jalan, ibu-ibu tampak sibuk menjemur padi, dan anak-anak berlari di sela-sela karung beras. Di sebuah pos kecil di samping gereja, terlihat papan bertuliskan: “Koperasi Kasih Sejahtera – Transparan, Terbuka, Tanggung Jawab Bersama.”
ADVERTISEMENT
Koperasi ini lahir dari pengalaman pahit warganya sendiri. Maria dan beberapa tetangganya berkumpul, membentuk kelompok kecil, belajar dari pendamping lokal tentang sistem koperasi yang adil. Mereka mencatat setiap transaksi, menetapkan bunga rendah, dan membuat kesepakatan bersama: tidak ada pinjaman konsumtif tanpa rencana bayar. Mereka bahkan membuat pertemuan bulanan untuk saling mengevaluasi dan belajar.
“Aku belajar bahwa pinjam uang itu bukan salah. Tapi harus tahu kenapa pinjam, dan bagaimana mengembalikannya,” kata Maria sambil tersenyum kecil.
Apa yang dilakukan Maria dan teman-temannya mungkin tampak kecil. Tapi di situlah harapan tumbuh—bukan dari kebijakan besar atau program nasional, melainkan dari **kesadaran kolektif dan kekuatan warga desa yang mau berubah**.
Jika koperasi bisa dikelola dengan prinsip keadilan, transparansi, dan pendidikan yang menyertai, maka ia bisa menjadi **jembatan** menuju kehidupan yang lebih mandiri. Bukan lagi jerat yang menyesakkan, melainkan ruang untuk bertumbuh bersama.
ADVERTISEMENT
Negara punya peran penting—memberi regulasi, mendampingi, dan menjamin perlindungan bagi koperasi rakyat. Tapi lebih dari itu, **kekuatan sejati justru lahir dari warga sendiri**, ketika mereka mulai mengubah cara pandang terhadap utang, uang, dan solidaritas.
Karena pada akhirnya, keadilan sosial bukan hanya soal distribusi kekayaan. Ia soal bagaimana kita saling menjaga, saling menguatkan, dan tidak membiarkan satu sama lain terjatuh sendiri.
---
Benediktus Nasri M.M