Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
SOLO - Akhir-akhir ini kita sering mendengar lagu khususnya lagu bergenre campursari dan dangdut dengan backsound menggunakan lirik cendol dan dawet, yang kurang lebih dengan lirik
ADVERTISEMENT
“cendol dawet seger limaratusan, gak pake ketan dan seterusnya”.
Fenomena ini dapat kita jumpai pada pertunjukan musik oleh musisi lokal atau lebih kita kenal sebagai Orkes Melayu (OM) khususnya dari daerah Jogjakarta-Solo mengarah ke arah timur (Jawa Timur), bahkan dapat kita jumpai tagline lagu tertentu dengan versi cendol dawet. Hal tersebut menarik untuk kita ulik, bagaimana makanan tradisional Indonesia bisa disebut dalam lagu-lagu yang notabene tidak ada hubungan antara makanan dan lagu, sehingga tema lagu dan makanan tradisional tersebut seolah-olah tidak saling berkesinambungan.
Seiring dengan kemunculan fenomena tersebut tentu sebagian dari kita pasti terlintas pertanyaan terkait dengan perbedaan antara cendol dan dawet, meskipun cendol maupun dawet merupakan makanan yang tidak tidak asing dan sering kita jumpai sehari-hari. Sekilas kedua makanan tersebut memang terlihat sama akan tetapi ternyata ada beberapa perbedaan diantara keduanya. Lantas apa perbedaan dan persamaan cendol dan dawet.?
ADVERTISEMENT
Perberdaan
Bahan baku: Menurut Fadly Rahman (2018) sebagai pakar kuliner, dalam beberapa sumber mengatakan bahwa cendol dan dawet memiliki histori yang sama, hanya saja penyebarannya yang berbeda. Beliau menambahkan bahwa cendol lebih dekat dengan masyarakat Jawa Barat atau pada kuliner Sunda sedangkan dawet lebih akrab terdengar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Selanjutnya bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan cendol dan dawet ternyata berbeda. Dawet pada umumnya menggunakan tepung beras sedangkan cendol menggunakan hunkwe (tepung kacang hijau), meskipun pada saat ini cendol maupun dawet dapat menggunakan bahan lain sebagai inovasi produk. Namun pada intinya bahan baku utamanya merupakan bahan yang mampu membentuk tekstur gel.
Seperti kita ketahui tepung beras maupun tepung kacang hijau merupakan bahan yang mengandung pati. Pati merupakan komponen karbohidrat yang mampu membentuk gel karena pada saat pemasakan mengalami proses gelatinisasi yang menyebabkan molekul air masuk kedalam butiran pati sehingga bentuknya akan membentuk tekstur gel.
ADVERTISEMENT
Selain pati komponen yang mampu membentuk gel adalah kandungan protein. Kemampuan bahan baku dalam membentuk gel pada cendol dan dawet merupakan hal yang sangat penting, mengingat hal tersebut akan mempengaruhi bentuk tekstur kenyal atau tidaknya.
Persamaan
Persamaan antara cendol maupun dawet yaitu keduanya dihidangkan menggunakan semacam kuah yang biasanya menggunakan santan dan cairan gula merah, meskipun pada saat ini hal tersebut dapat dikreasikan dengan bahan lain.
Terlepas dari persamaan dan perbedaan cendol dan dawet, beberapa waktu lalu cendol diberitakan dalam laman Kompas.com tertanggal 5 Desember 2018 dengan judul “Netizen Indonesia dan Malaysia Protes Cendol Disebut dari Singapura”. Dalam artikel tersebut diberitakan bahwa CNN Internasional telah merilis daftar makanan penutup atau makanan manis terbaik di dunia, kemudian terkait hal tersebut telah memicu perdebatan oleh warganet. Hal ini dikarenakan cendol ditulis sebagai makanan yang berasal dari Singapura.
ADVERTISEMENT
Kasus serupa telah terjadi beberapa kali pada makanan maupun kebudayaan Indonesia dengan topik yang berbeda. Untuk mengantisipasi hal tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan literasi yang jelas oleh kita sebagai masyarakat Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) literasi diartikan kemampuan menulis dan membaca. Sedangkan Haryani (2019), menambahkan literasi merupakan kemampuan menerima, menelesuri informasi, memahami, mengolah informasi lalu dapat mengaplikasikan hasil belajar pada diri sendiri dan publik.
Dalam kasus cendol dawet tentu perlu penelusuran sejarah yang lebih mendalam terhadap asal muasal dari cendol dan dawet, sehingga hal tersebut dapat dijadikan landasan bahwa cendol dan dawet merupakan aset budaya nasional.
Esai karya Heri Priyatmoko berjudul Roh Angkringan yang dimuat Harian Solopos edisi Sabtu, 29 Juni 2019 yang mengkoreksi Esai karya Bara Yudhistira berjudul Menu Fast Food Asli Indonesia (Harian Solopos edisi 18 Juli 2019) menyatakan bahwa dalam mengusut kebenaran kisah masa lalu diperlukan pendalaman terkait dengan arsip lawas yang disigi dari perspektif historis. Berkaca dari hal tersebut tentu perlu adanya publikasi arsip lawas sehingga mudah diakses oleh masyarakat, mengingat arsip lawas pada umumunya berupa manuscript hard file dan akses untuk dapat membacanya terbatas.
ADVERTISEMENT
Disisi yang lain bisa jadi saat ini referensi yang mudah diakses merupakan referensi yang lebih mengandung story (cerita) dan kurang history (sejarah). Hal inilah yang mungkin dialami oleh kita termasuk penulis Bara Yudhistira dalam esai Menu Fast Food Asli Indonesia, sehingga perlu adanya solusi untuk dapat mengatasi hal tersebut. Solusi yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan digitalisasi arsip-arsip sejarah untuk dapat diakses oleh masyarakat luas serta dapat diakses secara daring sehingga pada akhirnya hal tersebut dapat meminimalisasi kesalahan yang mungkin terjadi pada pemahaman sejarah itu sendiri. (Bara Yudhistira)