Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
Mengenal Jejak Sekaten dan Gamelan Dalam Penyebaran Agama Islam
6 November 2019 20:24 WIB
ADVERTISEMENT
SOLO - Dalam ajaran Agama Islam, Nabi Muhammad merupakan rasul pembawa ajaran Islam yang bersumber pada kebenaran di muka bumi. Sehingga wajar setiap hari kelahirannya selalu diperingati oleh seluruh umat Islam. Kasunanan Surakarta sebagai kerajaan Islam secara rutin memperingati hari lahir Nabi Muhammad. Tak luput juga, Kasunanan Surakarta menggelar upacara tradisional Grebek Sekaten.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Jawa Baru, Sekaten berasal dari kata "sekati" yang mempunyai arti setimbang atau seimbang. Kata Sekaten juga berasal dari kata "sekat" atau yang artinya batas, batas di sini mempunyai makna bahwa orang hidup harus dapat membatasi diri untuk tidak berbuat tidak baik dan tahu batas-batas kebaikan dan kebathilan.
Untuk menandakan sekaten dimulai, biasanya ditandai dengan keluarnya dua perangkat gamelan sekaten yaitu gamelan Kiai Gunturmadu dan Kiyai Guntursari yang ditempatkan di bangsal Pradangga halaman Masjid Agung Surakarta. Menurut Alif, Staff Tata Usaha Masjid Agung, mengatakan gamelan akan dimainkan selama 6 hari, dimulai pada hari ke 6 sampai ke 11 bulan maulud.
"Kedua gamelan itu ditabuh selama 6 hari mulai hari ke 6 bulan maulud dan diakhiri hari ke 12 rabiul awal dengan keluarnya Gunungan Maulud sebagai puncak upacara tradisional Grebek Sekaten," ungkap Alif.
ADVERTISEMENT
"Pada hari pertama yang dahulu ditabuh adalah Kiai Guntur Madu dengan membunyikan Gendhing Rambu, kemudian menabuh gamelan sekaten Kiai Guntur Sari yang memperdengarkan Gendhing Rangkung," jelas Alif.
Awal Mula Gamelan sekaten sendiri sudah ada sejak zaman jenggala secara turun temurun dan dipelihara oleh raja-raja tanah jawa sebagai gamelan pusaka. Dengan berdirinya Kesultanan Demak tahun 1403 Saka sebagai pusat hegemoni politik di tanah jawa, semua peninggalan atau warisan kerajaan Majapahit dibawa Kesultanan Demak, termasuk gamelan Kiai Sekar Delima aset Kerajaan Majapahit.
Lanjut Afif, dalam rangka memikat dan menarik hati masyarakat serta meneruskan Syiar Islam di Tanah Jawa, Sunan Kalijaga membuat gamelan baru untuk melengkapi Gamelan Kiai Sekar Delima.
Dahulunya, saat memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad tersebut dimanfaatkan para wali untuk melakukan dakwah dengan cara membuyikan gamelan pusaka peninggalan raja terdahulu dan gamelan buatan walisongo. Gamelan tersebut diletakkan di Masjid Agung Demak.
ADVERTISEMENT
"Masyarakat dahulu yang ingin melihat dan mendengarkan suara suara gamelan tersebut diwajibkan bersuci (wudhu) terlebih dahulu dan membaca dua kalimat syahadat sebelum masuk pintu masjid Agung Demak," cerita Alif.
Selain untuk berdakwah, sekaten di Masjid Agung Demak menjadi momentum bagi para wali berkumpul setahun sekali untuk saling melaporkan hasil dakwah mereka masing-masing.
(Tara Wahyu)