Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Tak Mampu Berobat, Schatzi Penderita Tumor Tulang Ibunya Cuma Penjual Lotek
6 Agustus 2021 16:14 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
SEMARANG-Schatzi Ananda Widyastuti (18) gadis asal Desa Sraten RT 01, RW 01 Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang sudah setahun melawan tumor tulang di kakinya.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan ekonomi membuat keluarganya tidak bisa membawa Schatzi berobat.
Gadis itu merupakan anak yatim. Ayahnya sudah meninggal saat dia berusia 13 tahun. Kini dia tinggal bersama ibu dan neneknya, serta 3 orang adiknya.
Ibu Schatzi, Kurniawanti dulunya bekerja sebagai seorang guru di sebuah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Namun dia terpaksa keluar dari pekerjaannya untuk mengurusi anak sulungnya yang kini kesulitan untuk berjalan kaki.
"Saat ini hanya bisa mengandalkan penghasilan dari jualan lotek di rumah," kata Kurniawanti kepada Bengawan News, Kamis (05/08/2021).
Untuk mencukupi kebutuhan, kerja serabutan pun harus dijalaninya. Terkadang dia membantu tetangganya untuk mencuci atau menyetrika baju.
"Penghasilan tidak menentu," katanya. Dia pernah mengalami hanya memperoleh penghasilan sebesar Rp 500 ribu dalam sebulan.
Kondisi ekonomi itu membuat dia tidak bisa mencarikan pengobatan untuk anaknya. Kurniawati hanya mampu memberikan jamu tradisional untuk sekadar meringankan rasa nyeri di kaki anaknya.
ADVERTISEMENT
"Menggunakan air rebusan Daun Dewa," kata Kurniawanti.
Gejala penyakit yang diderita Schatzi itu muncul sekitar setahun lalu. Dia merasakan nyeri di paha kanannya. Kurniawanti membawa anaknya ke puskesmas dan sempat disangka terkena asam urat.
Lambat laun tumbuh benjolan yang semakin lama semakin besar. Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, dokter menyatakan bahwa gadis itu menderita tumor tulang.
Kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan membuat Kurniawanti tidak sanggup mencarikan pengobatan secara medis kepada anak sulungnya itu.
(Fernando Fitusia)