Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Benarkah Fenomena 'si Paling' Dapat Masuk dalam Ranah Cyber Bullying?
23 Juni 2022 12:04 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Benita Gabriella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Zaman telah berkembang begitu pesat sehingga menghasilkan berbagai bahasa baru yang dianggap lebih nyaman digunakan. Sebenarnya, bahasa gaul sudah ada sejak lama, di mana bahasa atau ungkapan tersebut digunakan untuk langsung menyampaikan maksud obrolan tanpa bertele – tele. Seiring berkembangnya zaman, bahasa gaul terus berkembang menjadi lebih banyak dan terus menjadi trend, khususnya bagi pada remaja atau anak – anak muda. Berbicara tentang bahasa gaul, tahukah kalian tentang fenomena “Si Paling”? Apakah fenomena “Si Paling” ini baik apabila terus – menerus dijadikan trend dalam kehidupan sehari – hari?
ADVERTISEMENT
Fenomena “Si Paling” mulai beredar melalui media sosial dalam menanggapi beberapa sifat “merasa paling andal” yang disebarkan melalui konten – konten di media sosial. Pada awalnya, fenomena ini cukup lucu ketika diperhatikan karena sempat membuat para pembuat konten menjadi sadar ketika mereka mengunggah konten yang dinilai salah. Fenomena tersebut mulai menyebar lebih luas ketika para pembuat konten turut memviralkan fenomena tersebut dalam hasil – hasil karya konten mereka. Tidak jarang ditemukan unggahan di media sosial yang menggunakan caption “Si Paling” bahkan membuat konten terkait ungkapan “Si Paling” itu sendiri.
Ungkapan tersebut kemudian tidak hanya tersebar di media sosial, namun juga mulai memasuki dunia nyata. Masyarakat tidak lagi takut atau berhati – hati ketika mengungkapkan kata “Si Paling” untuk sekadar menyindir atau menyadarkan orang – orang di sekitarnya. Sama seperti di media sosial, pada awalnya, ungkapan “Si Paling” ternilai lucu bila diungkapkan sebagai gurauan satu sama lain. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, fenomena ini tidak hanya berkembang menjadi gurauan saja, namun justru berkembang menjadi cemoohan bagi banyak masyarakat bahkan dapat menjadi pemicu terjadinya perundungan baik di dunia nyata maupun dunia sekitar.
ADVERTISEMENT
Bagaimana ungkapan “Si Paling” justru merambat menjadi pemicu perundungan? Mari kita simak lebih lanjut! Pada awalnya, ungkapan atau julukan “Si Paling” memang menjadi salah satu bentuk sindiran bagi para oknum yang cenderung mengungkapkan bahwa mereka lebih andal dalam melakukan sesuatu. Hal ini mungkin pada awalnya memiliki maksud yang baik, yakni mengingatkan mereka yang berlebihan dalam menciptakan atau menanggapi sesuatu. Akan tetapi, tujuan “mengingatkan” ini lama – kelamaan mengundang maksud lain. Tidak jarang ditemukan pada para pembuat konten informatif, edukatif, dan hiburan yang mencoba untuk menyampaikan sesuatu kepada para penikmat kontennya justru diejek atau direndahkan dengan julukan “Si Paling Tahu Segalanya”. Hal ini mungkin dapat dinilai sebagai bentuk kebebasan masyarakat untuk berpendapat, namun apabila hal ini terus – menerus dilakukan, bagaimana dampak hal tersebut bagi para pembuat konten?
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit para pembuat konten mulai mengunggah konten – konten yang menanggapi ungkapan “Si Paling” ini, namun tetap saja tidak ada perubahan. Bukankah hal ini sudah masuk dalam ranah cyber bullying dalam etika menggunakan media sosial? Survei membuktikan bahwa banyak masyarakat, khususnya anak muda, telah membawa ungkapan “Si Paling” ini dalam kehidupan nyata. Beberapa dari mereka spontan terbiasa menyebutkan kata “Si Paling bisa …” ketika mengomentari cerita, sikap, maupun kejadian apa pun yang terjadi di sekitar mereka. Masyarakat mungkin tidak peduli dengan ungkapan tersebut karena hal – hal serupa yang mengarah pada perundungan sebenarnya telah ada sejak lama dan tidak pernah hilang, tergantung pada bagaimana pandangan setiap korban dalam menanggapinya. Akan tetapi, beberapa dari mereka tetap merasa risih ketika mendapatkan respons “Si Paling …” ketika mereka sedang menyampaikan cerita, pengalaman, atau kejadian serius kepada orang – orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui, sebenarnya kosa kata gaul akan selalu bertambah seiring berjalannya waktu. Terdapat sangat banyak kata gaul yang ada sejak lama untuk memudahkan kita saat berbicara namun justru tidak dapat diterapkan dengan bijaksana, seperti “baper”, “alay”, “gabut”, dan rentetan kata lainnya. Untuk saat ini, fenomena “Si Paling” mungkin sedang menjadi viral beberapa bulan terakhir karena sering terungkit dalam setiap unggahan konten yang ada di media sosial. kosa kata baru dan gaul yang akan terus diperbarui setiap tahunnya tidak mungkin dapat dihapus atau dihiraukan karena telah menjadi trend bagi masyarakat. Oleh karena itu, penggunaan kata – kata gaul seperti fenomena “Si Paling” ini harus dapat digunakan secara bijaksana. Sebagai masyarakat yang hidup di negara maju, seharusnya kita dapat lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial serta dalam bertutur kata setiap saat. Seluruh hal ini akan kembali pada pribadi masing – masing masyarakat di mana kita memegang teguh norma kesopanan dan saling menghargai satu sama lain, maka nilai dan norma tersebut harus dapat diterapkan dengan baik setiap waktunya.
ADVERTISEMENT