Radikalisme dan Intoleransi: Musuh Bangsa di Masa Kini

Bennaya Jonathan Raja Partogi Siagian
Siswa SMA Kanisius Jakarta
Konten dari Pengguna
18 Februari 2022 13:07 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bennaya Jonathan Raja Partogi Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak zaman kerajaan seribu enam ratus tahun silam, keberagaman telah menjadi identitas yang dibanggakan masyarakat Nusantara. Dianalogikan sebuah kotak krayon berisi ratusan warna yang berbeda, kemajemukan bangsa Indonesia menjadi bukti nyata mahakarya Tuhan sebagai seorang seniman. Kendati demikian, mulanya kita semua tersekat-sekat. Terpisah oleh lautan, batas-batas geografi, dan egoisme. Namun, sejarah berhasil membuktikan bahwa warna-warna yang mulanya memisahkan diri satu sama lain, pada akhirnya mampu melebur atas nama bangsa Indonesia, berbingkai semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
ADVERTISEMENT

Senjata makan tuan

Keberagaman ini dapat menjadi senjata makan tuan bagi keutuhan Indonesia itu sendiri. Hal ini karena perbedaan selalu menjadi penyebab konflik dan friksi antarmanusia, serta cikal bakal dari radikalisme dan intoleransi. Radikalisme dan intoleransi mempunyai hubungan sebab-akibat, keduanya saling terkait serta tidak terpisah satu sama lain. Intoleransi berasal dari kata intoleran, yang berarti tidak tenggang rasa, minim penghargaan, empati, dan apresiasi terhadap perbedaan yang ada.
Radikalisme di sisi lain, merupakan paham yang mengakar dan menuntut terjadinya reformasi dan/atau perubahan sosial secara drastis. Radikalisme mengabaikan norma objektif, dan intoleran terhadap paham/pemahaman yang tidak sejalan. Tidak main-main, keduanya kini telah menjadi spesimen-spesimen virus yang amat berbahaya karena mampu menjangkiti ribuan individu dalam senyap dan sekejap, tanpa menyisakan akal sehat maupun kemanusiaan inang yang ditumpanginya.
ADVERTISEMENT

Pola yang berulang

Di Indonesia, intoleransi terjadi dengan pola yang serupa dan korban yang terus berulang, yaitu kaum minoritas. Kelompok minoritas merupakan serumpun kecil dari suatu bangsa yang berbeda dari mayoritas atas dasar agama, bahasa, etnis, atau budaya. Mereka merupakan entitas sosial kecil yang inferior dan didominasi, namun tentu tidak dapat diabaikan keberadaannya dan hak-haknya sebagai sesama manusia.
Kasus yang cukup sering terjadi di Indonesia terkait intoleransi adalah diskriminasi agama. Penyerangan klenteng di Kediri, kebaktian Kristen di Bandung dibubarkan oleh Ormas Islam, larangan beribadah kepada para Biksu di Tangerang, pelemparan bom Molotov kepada gereja di Samarinda, upaya pembunuhan Pastor di Medan.
Meskipun seringkali dikorelasikan dengan identitas keagamaan, namun intoleransi juga terjadi kepada saudara-saudara kita jauh di Timur Indonesia terkait dengan isu ras. Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, terutama Papua, seringkali didiskreditkan karena warna kulit dan kontur wajah mereka yang unik dan khas. “Monyet” menjadi julukan yang tidak lagi asing di telinga mereka, dan tanpa sadar kita seringkali membedakan mereka dalam lingkungan sosial dan pergaulan kita.
ADVERTISEMENT
Intoleransi terjadi oleh karena lunturnya pemahaman mengenai kultur dan budaya Indonesia serta rasa hormat terhadap perbedaan yang sejak awal menjadi fondasi dan identitas bangsa kita. Miskinnya literasi terhadap sejarah juga menjadi salah satu penyebab, padahal esensi utama adanya kemajemukan adalah supaya kita mampu memandang dari perspektif dan kacamata yang lain.

Radikalisme

Radikalisme lahir akibat intoleransi terhadap paham/pemahaman yang berbeda. Radikalisme bersembunyi di balik kedok pendidikan, politik, dan agama. Media propagandanya meliputi lingkungan sosial dan pertemanan, perguruan tinggi dan aktivitas perkuliahan, tempat ibadah, organisasi masyarakat, dan bahkan lingkup pemerintah. Radikal sejatinya tidak mempunyai definisi yang berbau destruktif, merusak, atau serta-merta buruk dan tabu. Radikal sendiri berarti mengakar, mengacu pada konsep pemahaman yang sangat diyakini oleh penganutnya hingga sangat dalam dan secara ekstrem menolak semua jenis pemikiran lain yang berbeda. Radikalisme bisa jadi mirip dengan istilah chauvinisme, yang merujuk kepada kesetiaan/loyalitas ekstrem terhadap suatu keyakinan tanpa mempertimbangkan pandangan alternatif (terutama dalam hal nasionalisme dan kebangsaan).
ADVERTISEMENT
Contoh yang paling relevan terkait dengan radikalisme di masa kini adalah meluasnya gagasan mengislamkan Indonesia, alias menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah. Sebenarnya, penganut paham menyesatkan ini pada mulanya tidak banyak secara kuantitas. Akan tetapi, pertumbuhannya sangat pesat karena mempengaruhi emosi, opini, dan motivasi publik, serta dibumbui dengan kutipan-kutipan ayat kitab suci yang memprovokasi. Paham ini menjadi sangat meresahkan karena berusaha untuk mendirikan negara atas dasar suatu agama tertentu, yang jelas sangat berbahaya karena menghilangkan esensi dari Bhinneka Tunggal Ika dan keberagaman yang telah dilestarikan semenjak awal hingga hari ini, setelah 76 tahun berdirinya bangsa kita.
Aparat negara dan para pegiat/pejuang sosial sudah berjuang sekuat tenaga di lini depan untuk sebisa mungkin mengentaskan kasus-kasus radikalisme dan intoleransi.
ADVERTISEMENT
Metode penanganan Hard Approach yaitu cara keras dan lugas digunakan sebagai wujud supremasi hukum.
Metode penanganan Soft Approach yaitu cara lunak digunakan sebagai upaya persuasif terhadap paham-paham radikalisme melalui media dan ruang publik.
Bahkan, baru-baru ini muncul badan kepolisian baru yang bernama Polisi Siber yang berpatroli di dunia maya dalam rangka mencegah penyebaran paham radikal dan intoleransi yang seringkali dibalut dalam bentuk ujaran kebencian. Kendati demikian, sudah seharusnya kita sadar bahwa anggota masyarakat dan bangsa Indonesia tidaklah hanya para aparat negara.
Kita, kaum muda, memegang kuasa sebagai penentu.

Kaum muda, pedang bermata dua

Foto: Dokumentasi OSIS Kanisius
Tidak dapat dipungkiri, kaum muda bisa menjadi penyebab sekaligus counter terhadap isu-isu intoleransi dan radikalisme. Kaum muda berusia antara 15 sampai 29 tahun merupakan strata sosial yang paling rawan terhadap paparan radikalisme dan intoleransi. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang kemudian menjadi tulang punggung organisasi-organisasi radikal atau bergabung dengan front teroris seperti ISIS. Penelitian mengemukakan bahwa hal ini terjadi karena jiwa muda mereka yang rebellious justru dijadikan pelarian dan pelampiasan terhadap ketidakpastian-ketidakpastian ekonomi dan masa depan yang menunggu mereka.
ADVERTISEMENT
Namun di lain sisi, kaum muda merupakan golongan yang paling dominan dan punya pengaruh paling luas di media sosial. Media sosial merupakan salah satu wadah dan fasilitator komunikasi dan informasi antarwarga masyarakat. Dengan demikian, kaum muda yang disadarkan akan pentingnya penegakan dan penegasan kembali nilai-nilai Pancasila serta bahayanya radikalisme dan intoleransi, justru bisa menjadi secercah titik cerah terhadap upaya pengentasan radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
Satu unggahan dapat bernilai seribu suara dan melahirkan jutaan perubahan.

Epilog

Indonesia merupakan negara yang majemuk. Keberagaman yang kita miliki merupakan hadiah cuma-cuma yang diberikan oleh Tuhan. Namun, perbedaan di antara bangsa kita dapat menjadi penyebab utama terjadinya gesekan-gesekan sosial dan munculnya radikalisme dan intoleransi. Banyak sekali kasus dan isu sosial yang menyeruak akibat kedua hal tersebut, yang disebabkan oleh miskinnya literasi dan lunturnya pemahaman terhadap sejarah dan kultur budaya bangsa sendiri. Aparat negara dan para pegiat/pejuang sosial sudah melakukan berbagai upaya dalam rangka menanggulangi dan mengentaskan radikalisme dan intoleransi di bangsa kita. Meski demikian, kaum muda memegang peranan yang sangat penting sebagai penentu. Kekuatan dan pengaruh mereka yang luas menjadi beban tanggung jawab yang berat untuk menentukan nasib bangsa ke depannya. Radikalisme dan intoleransi memang musuh bangsa Indonesia di masa kini, namun kita yang beda bisa bekerja sama.
ADVERTISEMENT