Konten dari Pengguna

Gagal Galau: Antara Los Angeles-Jakarta, Macet, dan Nikmatnya Belanja Online

25 Februari 2018 15:21 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Kurnia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gagal Galau: Antara Los Angeles-Jakarta, Macet, dan Nikmatnya Belanja Online
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Tiga bulan sebelum pulang ke Indonesia dari penugasan sebagai diplomat di Los Angeles, saya sempat galau karena harus berkutat kembali dengan macetnya Jakarta dan punahnya kenikmatan berbelanja online.
ADVERTISEMENT
Selain beranggapan lebay, barangkali anda juga heran. Lho, Los Angeles kan juga macet? Ya, Los Angeles terkenal akan kemacetannya. Beberapa kalangan sepakat kalau ibukota hiburan dunia ini merupakan kota termacet di seantero negeri Paman Sam. Bahkan, 6 dari 7 simpang susun (interchange) jalan bebas hambatan paling macet di Amerika Serikat ada di kota ini. Tapi untungnya, di sana kami menyewa apartemen yang cuma berjarak 5 menit jalan kaki dari kantor. Sehingga, di keseharian saya tidak perlu melewati satupun simpang susun yang mengerikan itu. Jadi, 3 tahun tinggal di Los Angeles perjalanan kantor-apartemen terasa begitu indah.
Belanja online. Ya, inilah salah satu kenikmatan tinggal di negeri yang jaringan distribusinya sudah sangat maju. Mau belanja di peritel besar atau langsung di toko online suatu merk spesifik? Silahkan. Yang pasti, apapun pilihan belanja anda, minumnya, eh, pilihan kurirnya juga banyak dan menawarkan beragam jangka waktu pengiriman. Intinya wani piro. Tentunya makin cepat makin mahal. Sebuah peritel besar bahkan memiliki layanan langganan dengan beragam keuntungan, salah satunya pengiriman barang 1 hari sampai. Beli hari ini, besok paket sudah anda terima. Asyik sekali, bukan?
ADVERTISEMENT
Memang, saya tahu bahwa solusi macet yang lagi nge-trend di Jakarta saat itu adalah ojek online. Sementara, Indonesia pun punya deretan toko online yang mulai naik daun. Tapi karena belum merasakannya sendiri, saya masih belum yakin seratus persen.
Akhir bulan Januari 2017, kami sekeluarga pun kembali ke Jakarta.
Hari kedua di Jakarta, saya harus ke kawasan Daan Mogot untuk mengurus SIM saya yang sudah mati. Bawa mobil dengan SIM mati dari rumah di Rawamangun jelas bukan tindakan yang bijaksana. Naik taksi? Membayangkan macetnya saja saya sudah malas. Ojek online? Kejauhan. Tiba-tiba saya teringat bus TransJakarta. Cek dan ricek dengan Mbah Google, ada rute ekspres Pulo Gadung-Kalideres, sehingga tidak perlu ganti bus di Harmoni. Inilah solusi paling praktis. Saya juga sempat download aplikasi bernama Trafi yang dilengkapi dengan rute angkutan umum di seantero Jakarta dan dapat melacak keberadaan bus TransJakarta secara realtime, sehingga kita tahu estimasi keberangkatan dari sebuah halte. Keren!
ADVERTISEMENT
Rupanya, di zaman now ini naik TransJakarta sudah pakai e-money. Karena tidak sempat beli uang elektronik, saya membeli kartu tap di halte TransJakarta Pulo Mas. Di dalam bus, saya berdecak kagum karena pertama kali menaiki kembali TransJakarta sejak bertahun-tahun yang lalu. Wow, busnya bersih, sejuk, modern, dan tampak terawat, serasa naik metro di Los Angeles. Kesan pertama yang begitu menggoda. Sewaktu pulang, saya sengaja naik TransJakarta rute lain dengan beberapa kali transit untuk menjajal situasi rute-rute tersebut. Ternyata, kondisi bus-bus yang saya naiki sama seperti yang saya naiki di pagi hari. Saat itu pula, kekhawatiran saya mengenai moda transportasi rumah-kantor sirna.
Malamnya, adik saya bertanya apakah saya mau nitip karena ia mau beli makanan. Saya mengangguk. Ia lantas mengambil HP-nya. Saat saya tanya belinya pakai apa, dia menjawab singkat, Go-Jek. Oh ya, saya ingat belum download aplikasinya. Setelah saya download, ternyata banyak sekali layanan yang ditawarkan, termasuk layanan membeli makanan atau Go-Food. Saya coba bandingkan dengan aplikasi ojek online lain seperti Grab dan Uber. Ternyata sama saja. Saat saya asyik mengutak atik aplikasi-aplikasi itu, pesanan kami tiba. Begitu cepat dan nggak pakai ribet. Luar biasa!
ADVERTISEMENT
Di pagi harinya, saya kembali teringat mengenai toko online yang belum sempat saya jajal. Ada banyak pilihan toko online, antara lain Tokopedia, Blibli, Lazada, Buka Lapak, dan seterusnya. Saya coba beli sebuah earphone karena earphone lama saya tiba-tiba mati. Saya memilih suatu produk dan meminta pengiriman di hari yang sama dengan ojek online. Saya lalu membayar dengan transfer melalui internet banking. Ternyata, janji si pelapak bahwa barang akan saya terima di hari yang sama itu bukanlah PHP alias pemberi harapan palsu. Di sore hari saya sudah menikmati tembang favorit saya dengan earphone baru. Super!
Satu tahun sudah saya di Jakarta dan ternyata saya gagal galau. Geliat e-commerce Indonesia sudah lebih maju. Ditopang oleh ide kreatif dan inovatif, peluang dapat diolah menjadi mesin uang. Kreativitas dan inovasi juga membawa bisnis e-commerce memanfaatkan perkembangan teknologi, sehingga kini kita bisa menikmati belanja online melalui aplikasi HP dan membayarnya dengan beragam uang elektronik. Dengan inovasi dan kreasi, layanan publik juga dapat lebih ditingkatkan. Di sisi lain, kita sebagai pengguna juga dituntut untuk memanfaatkan seabrek inovasi tersebut secara lebih cerdas dan bijak. Kita harus rajin meng-update diri sendiri, namun juga teliti dan cermat menghindari konten-konten yang tidak membawa pengaruh positif.
ADVERTISEMENT
Diplomat pun sama halnya. Inovasi dan wawasan yang luas merupakan resep penting untuk menjadi diplomat handal dan relevan dengan ‘zaman now’ ini, sehingga tugas memajukan kepentingan nasional Indonesia dapat terus diemban dengan baik. Beberapa kalangan telah membuktikan bahwa mereka mampu melakukan ketiganya. Apakah kami para diplomat juga bisa? Jawabnya: HARUS BISA!