Anatomi Krisis 1997/1998 dan 2008 Dibandingkan Krisis Corona

Konten dari Pengguna
11 April 2020 11:49 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Sudrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman penulis saat terlibat dalam tiga peristiwa krisis. Secara kebetulan pada tahun-tahun tersebut penulis bekerja di bidang keuangan sehingga harus bergelut mengatasi krisis-krisis tersebut.
ADVERTISEMENT

Krisis 1997/1998

Krisis tahun 1997/1998 atau lebih dikenal dengan sebutan KRISMON (krisis moneter). Sebenarnya krisis ini diinspirasi oleh George Soros, seorang Fund Manager dari USA. Dia, dengan kecerdasan, keahlian, dan keberaniannya bisa mengelabui Bank of England (Bank Sentral Inggris) lalu mendapatkan keuntungan satu miliar Poundsterling.
Billboard George Soros di Szolnok, Hungaria. Foto: REUTERS/Bernadett Szabo
Taktik George Soros membuat banyak Fund Manager dan bank-bank investasi merasa mendapatkan cara meraup keuntungan. Dan mereka mulai mencari negara-negara yang sistem moneternya lemah, menggunakan devisa yang relatif terbuka, utang jangka pendek dalam bentuk US dollar-nya besar dan sistem politiknya juga kurang bagus.
Saya menduga mereka merupakan sindikasi dari beberapa fund kuat untuk secara bersama-sama melakukan taktik yang digunakan Soros mengelabui/memaksa Bank of England menelan kerugian yang cukup besar. Berjudi dengan Bank Sentral suatu negara.
ADVERTISEMENT
Sasaran yang dihantam pertama adalah Thai bath (mata uang Thailand). Hanya beberapa minggu setelah diserbu, Thai bath yang tadinya aman dan stabil nilainya jatuh terhadap US dollar sebesar 50%. Dengan kejatuhan itu maka keuntungan yang didapatkan oleh para fund manager tersebut kurang lebih adalah sebesar kejatuhan mata uang bath.
Krisis di Thailand ini mereda sesudah IMF memberikan paket pinjaman untuk mempertahankan mata uang bath untuk tidak jatuh lebih jauh.
Kurang lebih selagi Thai bath "digarap", rupiah Indonesia pun dikerjain juga. Rupiah Indonesia nasibnya lebih parah, dari nilai Rp 2.350 per US dollar sampai menjadi Rp 16.000 per US dollar.
Mengapa rupiah jatuh lebih dalam dibandingkan Thai bath? Menurut pendapat saya, karena posisi utang luar negeri, PDB, dan aset yang ada di Thailand jauh lebih kecil jika dibandingkan di Indonesia. Celakanya, posisi cadangan devisa Indonesia sangat kecil dibandingkan utang dalam bentuk US dollar—kalau saya tidak salah kutip, posisi cadangan devisa Indonesia berkisar antara 20 sampai dengan 23 miliar US dollar sedangkan posisi utang dalam bentuk US dollar, perusahaan swasta dan pemerintah, termasuk BUMN adalah 120 miliar US dollar.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini diperparah dengan pemerintahan yang kurang mendapatkan kepercayaan dari rakyat, terutama pengusaha. Pengusaha dengan kejatuhan mata uang rupiah ikut berbondong-bondong membeli US dollar dan celakanya US dollar-nya dikirim ke luar negeri. Keadaan ini membuat BI kehabisan devisa, tidak bisa melakukan intervensi lagi untuk mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Rupiah terjun bebas sampai Rp 16.000 per US dollar.
Keadaan ini merusak posisi keuangan hampir semua perusahaan besar di Indonesia. Hampir semua perusahaan besar di Indonesia pada saat itu mempunyai utang dalam mata uang US dollar, dan pada saat itu pula, perbandingan utang dengan modal perusahaan belum diatur harus berapa berbanding berapa. Ditambah lagi, dengan kejadian kerusuhan dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto digantikan oleh wakilnya, B. J. Habibie.
Penyerahan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Foto: Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia's Second President
ADVERTISEMENT
Krisis mata uang ini agak sedikit reda setelah Soeharto menandatangani perjanjian dengan IMF, mendapatkan fasilitas pinjaman sebesar 43 miliar US dollar dalam 3 tahun.
Kejadian-kejadian yang baru saja saya uraikan membawa akibat yang sangat parah pada keberadaan perusahaan perusahaan di Indonesia. Bangkrut massal, demikian mungkin istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan keadaan pada saat itu.
Neraca-neraca perusahaan pada saat itu kalau dibuat dengan dasar perhitungan US dollar Rp 16.000 padahal pada saat penarikan utang nilainya adalah Rp 2.300 per US dollar maka kalau neracanya disusun akan menunjukkan kerugian kurs sebesar Rp 13.700 per US dollar.
Jadi pada saat itu muncul istilah "SECARA TEKNIS BANGKRUT" walaupun masih bisa beroperasi namun kalau utangnya harus dibayar perusahaannya langsung kolaps dan asetnya menjadi minus dan jaminan pribadi yang dibuat oleh pemilik perusahaan untuk bank sudah tidak dihargai lagi. Sudah wanprestasi massal, bank pun bingung bagaimana mengeksekusi jaminan pribadi tersebut di mana aset perusahaan yang dijaminkan sudah menjadi minus nilainya.
ADVERTISEMENT
Kalau terjadi hal seperti ini yang paling menderita adalah konsumen barang impor, yang biasanya murah menjadi sangat mahal. Bank yang tidak bisa menagih bunga dan cicilan karena perusahaannya tidak punya cukup uang untuk membayar dan yang paling parah hampir semua portofolio piutang di dalam buku bank adalah merupakan "UTANG TAK TERTAGIH".
Keadaan stagnasi tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Melalui negosiasi yang panjang antara IMF, DPR, dan pemerintah maka dibentuklah sebuah badan yang dinamai BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang tugas utamanya adalah menyehatkan bank-bank nasional yang sudah rusak parah.
Cara kerja BPPN adalah mengambil alih semua aset busuk (dalam bentuk jaminan tanah, mesin, dll). Untuk memproses pengambilalihan ini, pemerintah mengeluarkan Bond (surat hutang) yang disebut dengan Bond Rekap.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga mengeluarkan mengeluarkan BLANKET GUARANTEE untuk orang yang mau menyimpan uangnya di bank. Jaminan ini menjamin deposan, kalau sampai deposan menarik uangnya dan banknya tidak bisa membayar maka pemerintah akan membayar dengan nilai penuh.
Tindakan ini memang dibutuhkan pada saat itu untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan di Indonesia.
Kita kembali pada peran BPPN. Setelah dibentuk dan mulai bekerja, BPPN memanggil satu per satu debitur untuk melakukan restrukturisasi utang debitur. Apanya yang mau direstrukturisasi kalau memang bisnis sudah lumpuh dan pengusaha merasa putus asa enggak bisa membayar utangnya, walaupun dia harus bekerja sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.
Cara itu dianggap tidak efektif untuk menyelesaikan portofolio busuk ini, lalu pemerintah mengambil jalan pintas yang dianggap efektif yaitu dengan melelang portofolio busuk ini dengan sangat murah dengan tujuan agar ekonomi secepatnya bisa bergulir kembali.
ADVERTISEMENT
Akibat dari tindakan itu terjadi selisih yang cukup besar antara nilai Bond Rekap yang dibayarkan ke bank dengan nilai hasil lelang (obral) aset jaminan yang diambil alih, jumlahnya selisihnya mencapai 465-650 triliun rupiah yang dibebankan ke APBN secara bertahap. Sejak saat asset-asset BPPN dilelang, sedikit demi sedikit perusahaan-perusahaan yang sudah merasa aman tidak terbebani utang bisa beroperasi lebih optimistis.
Berbeda dengan keadaan perbankan adalah petani komoditas ekspor, pengusaha kecil yang tidak mempunya utang dolar dan industri-industri yang bahan bakunya bebas dari dolar semuanya menikmati keuntungan dengan kenaikan dolar. Sebagai contoh pengusaha CPO, batu bara, cokelat, tambang-tambang mineral dll, menikmati kenaikan harga yang sangat tinggi, kalau sebelumnya satu dolar dihitung Rp 2.350 naik menjadi Rp 16.000 (pada kurs tertingginya) dengan barang yang sama, hitung saja sendiri berapa keuntungan mereka. Ini juga merupakan keuntungan yang membuat ekonomi Indonesia pulih lebih cepat jika dibandingkan dengan seandainya kita tidak punya industri tersebut.
ADVERTISEMENT
Krisis ini pada mulanya adalah krisis moneter yang kemudian menghantam industri/perusahaan, berakibat banyaknya PHK, mendorong ketidakpuasan rakyat pada pemerintahan, sampai lengsernya Soeharto. Jadi krisis ini menjadi krisis multidimensi. Semua sendi perekonomian, perbankan, sosial, politik terkena imbasnya.
Tapi dari krisis ini kita berhadapan dengan masalah yang kita tahu bagaimana mengatasinya asalkan ada kemauan, mendapat dukungan rakyat, dan mendapatkan bantuan negara sahabat.
Pada prinsipnya kalau kita ada uang cukup dan kepercayaan internasional ada maka krisis ini saya rasa tidak akan terjadi. Untungnya pada saat kita menghadapi krisis, negara-negara besar dan kuat tidak mengalami krisis, jadi mereka bisa membantu melalui bantuan unilateral maupun multilateral. Di samping itu pasar ekspor tidak terganggu, jadi ekspor kita masih bisa beroperasi secara normal.
ADVERTISEMENT

Krisis 2008

Berbeda dengan krisis 1997/1998, yang berasal dari kurs mata uang yang dipermainkan oleh pasar Internasional dan kelemahan kita sendiri, krisis 2008 adalah krisis berbentuk imported crisis yang disebabkan "KENAKALAN" yang dilakukan oleh banyak bank investasi di US.
Ilustrasi rumah dan properti. Foto: Thinkstock
Pada tahun 2006 dan 2007 banyak bank investasi di US mengalami kelesuan yang ditandai dengan kurangnya pertumbuhan laba atau laba yang didapatkan tidak/kurang sesuai dengan harapan. Karena mereka sangat kreatif dalam membuat rekayasa instrumen-instrumen keuangan lalu mereka mulai menggoreng harga properti, mendorong pembangunan properti secara besar-besaran, tujuannya hanya satu, untuk menciptakan bisnis yang akan membawa keuntungan buat mereka dengan tanpa memikirkan pihak lain yang akan menanggung kerugian.
Krisis ini di negara episentrumnya dinamakan krisis "SUBPRIME MORTGAGE". Mortagage adalah: Kurang lebih sama dengan KPR di Indonesia. KPR di US dalam beberapa tahun sebelum 2008 naik pesat dikarenakan booming pasar properti, pembangunan real estate baru tumbuh di mana-mana, sampai lokasi-lokasi yang tidak baik pun laku dijual ke konsumen.
ADVERTISEMENT
Celakanya karena penjualan properti sangat berlebihan maka banyak sekali pembelinya adalah orang-orang yang tidak/kurang mampu untuk membayar. Jadi kurang/tidak prudent dalam memberikan kredit.
Portofolio kredit ini oleh bank investasi direkayasa menjadi produk surat berharga, lebih dikenal dengan SECURITITATION (sekutisasi), sekuritisasi ini tidak hanya sekali dilakukan, bisa berkali-kali dengan produk yang berbeda-beda, kemudian surat berharga ini dijual ke mana-mana, biasanya yang membeli adalah dana pensiun, dana asuransi, dan di US ada penjamin pinjaman properti, Fannie Mae dan Fredie Mac yang ikut terlibat di dalam transaksi seperti ini.
Agar nilai surat berharga (efek) ini dapat meyakinkan investor untuk membeli, dibutuhkan pemeringkat efek (di Indonesia PEFINDO), yang terkenal kredibilitasnya Standard and Poor's dan Moody.
ADVERTISEMENT
Karena memang banyak terjadi rekayasa negatif, maka semua peringkat efek ini dinilai sangat meyakinkan, AAA. Dengan efeknya ada di peringkat tinggi maka harga jual menjadi tinggi pula karena dianggap berisiko rendah.
Apakah memang demikian keadaan sesungguhnya? Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, di mana pemberian kredit perumahan ini dilakukan dengan sangat brutal tanpa melihat kemampuan debiturnya maka sebenarnya efek ini adalah efek yang sangat berisiko kalau tidak mau kita sebut sebagai "EFEK SAMPAH".
Rekayasa seperti inilah yang membuat krisis 2008 terjadi, karena jumlahnya cukup besar dan gandeng-geret dengan rekayasa efek yang dilakukan berkali-kali maka akibatnya banyak pihak terseret ke dalam krisis ini.
Krisis ini menyebabkan likuiditas perbankan kering sampai-sampai bank investasi sekuat LEHMAN BROTHERS pun bangkrut, Meryl Linch diambil alih oleh Bank of America, AIG (American Insurance Group) harus di-inject modal oleh pemerintah US, Fannie Mae dan Fredie Mac diambil alih oleh pemerintah US, dll-dll kerusakan yang ditimbulkan.
ADVERTISEMENT
251 orang masuk bui termasuk di dalamnya 59 orang top bankers, namun tidak satu pun orang dari Wall Street yang ditangkap. Saya menuliskan kalimat terakhir ini hanya akan menunjukkan bagaimana "cerdiknya" orang-orang di Wall Street dalam berbisnis.
Krisis ini episentrumnya ada di US. Dengan kekuatan keuangan negara Paman Sam ini, dia mampu mengatasinya sendiri tanpa bantuan internasional (IMF). Dengan melakukan injeksi likuiditas sebesar 700 miliar dolar dan melakukan QE (Quantitative Easing). QE adalah tindakan luar biasa (unconvinsional) yang mengizinkan The Fed (bank sentralnya US) untuk melakukan pembelian surat berharga secara langsung di pasar. Dengan berbagai instrumen keuangan dan rekayasa keuangan yang dilakukan oleh pemerintah US bersama dengan The Fed, krisis ini bisa diatasi. Akibat dari injeksi likuiditas dan QE yang dilakukan, tidak hanya menyelesaikan masalah krisis subprime saja tetapi juga membawa efek meluapnya likuiditas di pasar uang US, dan efek berikutnya adalah penurunan suku bunga sangat tajam.
ADVERTISEMENT
Dampak kejadian di US seperti yang saya uraikan di atas, banyak bank-bank dan bank investasi-bank investasi dari negara maju terkena karena mereka sudah terbiasa melakukan transaksi seperti membeli efek-efek (hasil sekuritisasi) dengan sistem perbankan modern.
Di Indonesia, dengan pengalaman krisis 1997/1998, bank dan bank investasi tidak diizinkan untuk membeli efek-efek seperti yang saya uraikan sebelumnya. Indonesia terselamatkan dari kerugian anjloknya harga efek-efek hasil sekuritisasi yang berbasis properti di US. Namun demikian, pada saat terjadi kekeringan likuiditas perbankan di US, Indonesia juga terkena imbasnya. Antara lain sulit mencari pinjaman dan berkurangnya arus investasi dari luar sehingga membuat ekonomi Indonesia mengalami sedikit demam, ditandai jatuhnya Bank Century.
Sesudah kekeringan likuiditas di US dapat diatasi dan malah menciptakan likuiditas yang berlebihan di US, di mana spread suku bunga US dengan Indonesia cukup besar, maka terjadi aliran modal jangka pendek ke Indonesia melalui pasar modal dan deposito di perbankan. Keadaan ini menekan suku bunga di Indonesia dan meningkatkan cadangan devisa di Indonesia. Sebenarnya penurunan suku bunga sampai dengan di bawah 10% adalah dimulai sehabis krisis subprime (2008).
ADVERTISEMENT
Kesimpulan saya krisis 2008 lebih banyak membawa manfaat buat Indonesia, dengan turunnya suku bunga bank cukup tajam dan meningkatnya cadangan devisa cukup besar. Walaupun kejadian di US ini bukan satu-satunya faktor untuk menciptakan kondisi Indonesia menjadi lebih baik. Sistem perbankan yang sudah cukup baik, APBN yang pruden, kondisi usaha yang kondusif dan tidak terjadi gejolak sosial politik juga memegang peranan yang cukup besar untuk membuat Indonesia bisa menikmati krisis di US tersebut. Menjadi berkat yang menguntungkan.

Krisis Corona

Berbeda dengan dua krisis yang sudah saya uraikan sebelumnya. Krisis Corona terjadi dengan multi-episentrum dan masalah utamanya bukanlah krisis keuangan. Namun demikian, kalau kita lihat semua pemerintahan di dunia melakukan injeksi likuiditas ke dalam perekonomian secara besar-besaran.
ADVERTISEMENT
Pada saat krisis corona terjadi di Wuhan, China, dan sudah merambat ke US, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, teman saya bertanya bagaimana cara mengatasinya? Saya jawab: "Coba tanya sama dokter ahli penyakit menular."
Lantas bukan berarti krisis ini tidak berdampak pada sektor keuangan dan industri, indeks pasar saham di dunia, semua anjlok sampai 30%, PHK terjadi di mana-mana, industri penerbangan, perhotelan dan pariwisata dunia praktis sudah kolaps.
Ketakutan umat manusia menjadi momok utama dari krisis ini. Mata rantai pasokan barang dari China praktis sudah terputus yang mengakibatkan mata rantai produksi dunia terganggu cukup hebat. US membentuk dana darurat sebesar 2 triliun dolar, Inggris, Prancis, Italia, dan termasuk Indonesia meminta anggaran tambahan untuk MENANGGULANGI AKIBAT CORONA.
ADVERTISEMENT
Jadi pemicu krisis kali ini adalah: COVID-19, yang berakibat pada krisis-krisis lainnya yang sangat merusak sendi-sendi kehidupan umat manusia. Semua penambahan anggaran yang dilakukan oleh negara-negara yang terdampak virus corona, selain untuk mencari cara mendapatkan vaksin, menanggulangi yang sudah terkena dan menekan tingkat penularan adalah untuk menjaga "PASAR UNTUK TETAP DAPAT BERFUNGSI NORMAL dan MENJAGA KEADAAN SOSIAL TETAP TENANG".
Dengan dilakukan banyak sekali lockdown dengan derajat yang berbeda-beda, harapan saya kita bisa berhasil mengatasi masalah utamanya: "COVID-19".
Kalau masalah utamanya tidak dapat diselesaikan dengan cepat dan masif maka infrastruktur sosial dan ekonomi yang sudah kita bangun akan rusak parah. Semakin lama kita bisa mengatasi masalah utamanya semakin parah kerusakan yang ditimbulkan dan semakin lama kita mengembalikan keadaan ke keadaan normal yang baru.
Ilustrasi oleh Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT