Preman Bisnis Gaya Amerika

Konten dari Pengguna
10 Agustus 2020 10:31 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Sudrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah ketegangan USA dan Tiongkok, tiba-tiba muncul isu—belakangan terkonfirmasi—bahwa Microsoft, perusahaan USA, mau membeli TikTok, perusahaan Tiongkok yang sedang naik daun.
ADVERTISEMENT
Menurut pendapat saya, tindakan Trump memboikot produk dan perusahaan Tiongkok akan berjalan terus sampai perusahaan-perusahaan strategis yang dianggap akan mengancam keberadaan perusahaan USA habis.
Dengan kata lain: Perusahaan-perusahaan Tiongkok tidak bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan USA. Sehingga perusahaan-perusahaan USA dengan leluasa menjarah kekayaan hasil jerih payah dari negara berkembang.
Sejak Uni Soviet bubar praktis sekarang hanya Tiongkok yang akan menjadi ancaman buat USA. Apalagi beberapa perusahaan Beijing banyak pula yang beroperasi di tanah USA.
Pada saat perang dingin, persaingan Uni Soviet dengan USA hanya di dalam aspek luasnya penganut paham komunis, kekuatan persenjataan, termasuk nuklir dan eksploitasi teknologi ruang angkasa serta eksploitasi sumber daya di Kutub.
Masalah ekonomi dan bisnis masih belum menjadi perhatian serius di dalam persaingan mereka. Tiongkok pada saat itu dengan tanpa meninggalkan pengembangan senjata, pabrik-pabriknya banyak diubah menjadi entitas bisnis dengan tujuan yang sangat sederhana, untuk memberi makan mulut rakyatnya yang berjumlah sangat besar dan miskin.
ADVERTISEMENT
Lebih-lebih di bawah kepemimpinan Deng Xiau Ping yang sangat pragmatis dengan semboyannya yang sangat terkenal: "Tidak peduli kucingnya berwarna merah atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus." Maksudnya: Tidak peduli paham negaranya komunis atau tidak komunis yang penting bisa memberikan kemakmuran bagi rakyatnya.
Ketaatan rakyatnya pada paham komunis yang dibangun Mao Ze Dong dan pragmatisme dari Deng Xiau Ping dan diteruskan oleh penerus-penerusnya sampai sekarang membawa kemajuan di bidang ekonomi yang sangat hebat.
Dari PDB riel hanya USD 340 miliar pada tahun 1980-an sekarang 2019 sudah mencapai USD 18 triliun. Kalau dihitung berdasarkan PPP sudah mencapai sekitar USD 27 triliun, sudah melampaui USA, yang hanya sekitar USD 21 triliun.
Data inilah yang menakutkan USA, kehilangan hegemoni dunia. Seperti biasanya kata Prof. Stiglitz, kebijakan ekonomi USA selalu bersifat hipokrit, menekan negara lain untuk melakukan A, B, C, D, dia sendiri tidak melakukannya, beberapa contoh barang-barang pertanian USA itu hampir semua mendapatkan subsidi dari pemerintahnya.
ADVERTISEMENT
Pada 1997, Bulog di Indonesia dianggap sebagai lembaga subsidi bahan pangan di Indonesia diminta dibubarkan agar Indonesia bisa mendapatkan bailout dari Sindikasi negara-negara maju yang dikoordinasi oleh IMF, untuk menahan kenaikan dolar. Negara-negara Eropa barat memberikan subsidi untuk ternak sapinya USD 2/sapi/hari lebih besar dari pendapatan perkapita rakyat di negara-negara miskin perhari. Jadi pada dasarnya negara-negara maju terutama USA tidak mau kehilangan hegemoni dunia.
Akar krisis tahun 1997, di Asia, krisis di Brasilia pada tahun 1998 dan krisis keuangan di negara-negara berkembang lainnya, apakah memang merupakan krisis karena konjungtur ekonomi atau suatu DESIGN dari negara-negara maju untuk mendapatkan keuntungan dari krisis-krisis tersebut? Saya melihatnya sistem keuangan dunia memang dibuat untuk menekan negara-negara berkembang untuk selalu di dalam genggaman negara-negara maju.
ADVERTISEMENT
Sejarah memperlihatkan kepada kita bahwa negara berkembang kalau sudah mulai maju selalu digoyang agar perusahaan-perusahaan dari negara berkembang yang bagus bisa diakuisisi oleh perusahaan dari negara maju.
Hal ini diperparah oleh penguasa politik negara maju, terutama USA. Contoh nyata lainnya adalah pada saat CNOOC, perusahaan Energi Tiongkok akan mengakuisisi perusahaan Energi di USA, walaupun CNOOC memberikan penawaran lebih tinggi, tetap saja alasan non-ekonomis dibuat sebagai batu sandungan untuk transaksi CNOOC untuk mengakuisisi itu batal.
USA tetap saja mengklaim negaranya adalah negara paling fair dalam perdagangan. Fair buat siapa? Tradisi ini sudah menjadi darah daging cara berbisnis orang USA.
Kalau ada perusahaan USA di negara lain merasa diperlakukan tidak fair, maka pemerintahnya akan ikut turun tangan untuk menekan negara di mana perusahaan USA tersebut merasa diperlakukan secara tidak adil tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Prof. Joseph Stiglitz, USA dan sekutu baratnya akan melakukan bailout krisis di negara yang sedang mengalami krisis, bukan untuk membantu negara tersebut untuk keluar dari krisis dan menjadi sehat tetapi mem-bailout dengan tujuan menyelamatkan perusahaan-perusahaan USA yang beroperasi di negara yang sedang mengalami krisis untuk tidak mengalami kerugian, dikarenakan piutang-piutang/investasi-investasi mereka dirugikan, jika krisis itu berkepanjangan.
Uang yang dikucurkan buat bailout kembali lagi ke USA melalui pekerjaan spekulan-spekulan Wall Street. Saya pernah diajari oleh seorang BOND TRADER, pada saat krisis 1997, dia datang ke saya untuk membeli Bond (surat utang) pemerintah/BUMN Indonesia.
Dia bercerita ke saya, bagaimana dia mendapatkan keuntungan yang sangat besar pada saat adanya krisis di Mexico.
ADVERTISEMENT
Kalau pemerintahan suatu negara dalam keadaan krisis, maka harga surat utangnya akan jatuh. Mereka sudah tau lebih dulu bahwa bailout pasti akan dilakukan untuk “menolong” negara yang sedang mengalami krisis melalui “informasi orang dalam”.
Sebelum pengumuman bailout di sampaikan, mereka sudah membeli bon-bon dari negara yang sedang mengalami krisis dengan harga yang sangat murah, kemudian pada saat rencana bailout diumumkan, harga bon-bon tersebut langsung naik, tidak tanggung-tanggung kenaikkannya, sampai 50% dari harga mereka membeli.
Begitulah cara-cara spekulan Wallstreet yang mendapatkan restu dari pemerintahnya, mengeruk kekayaan dari negara berkembang. Dalam waktu yang sangat singkat mereka mengeruk keuntungan 50%. Akhirnya bailout itu hanya berperan menenangkan pasar dan memberi keuntungan buat spekulan Wallstreet. Negara yang mendapatkan bailout masih harus membayar utang bailoutnya ke kreditur, biasanya IMF (USA) dan negara-negara sekutunya.
ADVERTISEMENT
Celakanya pasar pun sangat percaya dan menjadi lebih tenang, kalau sudah ada komitmen bailout dari negara-negara maju. Sebenarnya, dengan melihat pola bailout yang dilakukan di negara-negara Amerika Latin dan Asia, sifatnya tidak permanen, menjadikan negara yang di-bailout menjadi sehat perekonomiannya dan makmur.
Bailout ini hanya bersifat sementara. Kalau para pengusaha negara-negara maju di negara yang di bailout sudah cukup mendapatkan keuntungan maka bailout-nya akan dihentikan. Kemudian mencari mangsa baru. Ini sangat IRONIS, pola aliran uang dan keuntungan berjalan terbalik.
Seharusnya pola keuntungan dan aliran uang berjalan dari negara maju ke negara berkembang agar terjadi kemakmuran di negara berkembang dan menjadikan dunia lebih aman dan adil, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dengan demikian kita masih akan melihat keadaan negara berkembang akan seperti sekarang ini untuk jangka waktu yang lama, selama pola-pola kapitalis plus politik seperti sekarang tidak dapat diubah.
ADVERTISEMENT
Pola aliran uang pada pasar uang yang berkaitan dengan perdagangan, lebih parah dan transparan bahwa negara berkembang menjadi sapi perah negara maju. Untuk negara berkembang melakukan transaksi impor barang maka Bank Sentral negara berkembang diharuskan memiliki cadangan devisa (dalam bentuk mata uang kuat) sebagai jaminan bahwa transaksi import tersebut dapat dibayar.
Dengan Bank Sentral negara berkembang diharuskan mempunyai Cadangan Devisa dalam bentuk mata uang kuat (biasanya dalam bentuk Efek negara kuat) yang bersuku bunga rendah, sedangkan kalau perusahaan milik warga negara negara berkembang atau negara berkembangnya sendiri mencari pinjaman untuk kebutuhan pembangunan atau bisnis pasti bunganya lebih tinggi. Di sini kita bisa melihat, selisih bunga akibat dua transaksi, menyimpan Cadangan dalam bentuk mata uang asing dengan pinjaman dalam bentuk mata uang yang sama berakibat menjadi beban biaya yang harus ditanggung oleh negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Hal seperti ini masih akan berlangsung seterusnya kalau tidak ada perubahan yang mendasar pada aturan-aturan perdagangan internasional yang bisa mengubah pola pemerasan negara kaya terhadap negara berkembang. Cadangan Devisa negara berkembang yang ditempatkan dalam bentuk mata uang kuat, atau surat-surat berharga negara kuat pada saat ini diperkirakan USD 3 triliun, Indonesia saja memiliki USD 130 miliar.
Jadi kalau perkiraan tersebut benar Cadangan Devisa negara berkembang sebesar USD 3 triliun, dengan asumsi selisih bunga Cadangan devisa dengan pinjaman adalah 3%, maka akan terjadi aliran dana yang disebabkan selisih tingkat bunga tersebut sebesar USD 90 miliar dolar mengalir dari negara berkembang ke negara maju, setiap tahun, denga tanpa risiko yang berarti. Dengan beban sebesar ini buat negara berkembang sangatlah berat.
ADVERTISEMENT
Penangkapan CFO Huawei di Canada atas permintaan pemerintah USA adalah juga tindakan ke sewenang-wenangan USA terhadap warga negara Tiongkok, dengan tuduhan-tuduhan yang sangat sulit dibuktikan. Karena perusahaan Tiongkok ini menjadi ancaman buat perusahaan USA dalam hal teknologi 5G.
Untuk melakukan implementasi 5G, menurut analis, Tiongkok akan bisa mengalahkan USA. Saya pada saat mengikuti beberapa Conference mengenai Tekonologi yang diadakan oleh Bank Investasi besar, sering bertanya, siapa yang akan lebih cepat untuk bisa menerapkan teknologi 5G? Hampir semua yang saya temui menjawab, Tiongkok akan lebih cepat. Saya tanya lagi, kenapa Tiongkok? Jawab mereka, karena Tiongkok di bawah satu komando, sehingga lebih cepat dalam mengambil keputusan dan protokolnya jadi lebih sederhana jika dibandingkan dengan USA. Karena alasan-alasan inilah USA, menurut pendapat saya mengalami ketakutan kalah dalam perlombaan teknologi. Jadi untuk menjegal kemajuan Huawei dalam bidang 5G, dibuatlah isu-isu pencurian Teknologi sebagai dasar untuk menangkap CFO Huawei, kebetulan CFO-nya adalah putri pendiri Huawei.
ADVERTISEMENT
Dan yang terakhir ini dan masih hangat beredar di media-media internasional, Microsoft mengajukan penawaran untuk membeli TikTok, perusahaan Tiongkok yang sedang naik daun untuk di beberapa negara. Sebelumnya Trump sudah mengancam akan memblokir TikTok di USA dengan alasan pencurian data penduduk USA.
Trump sudah pula mengeluarkan perintah untuk menghentikan transaksi-transaksi untuk beberapa perusahaan Tiongkok yang ber operasi di USA. Kita bisa melihat, alasan yang dibuat selalu senada, tentang pencurian data, pencurian teknologi, yang ujung-ujungnya adalah penggunaan kekuatan politik untuk melumpuhkan lawan-lawan bisnis penduduk USA. Deal antara Microsoft dengan TikTok menurut saya bukanlah suatu transaksi yang wajar tapi transaksi pemerasan.
Di mana posisi Tik-Tok sedang dibully oleh Donald Trump maka tawaran dari Microsoft untuk meng akuisisi Huawei, seperti tawaran dari DON CORLEONE (Film God Father) untuk kerja sama dengan mitranya. Saya kira, seperti saya sudah tulis pada alinea sebelumnya, INI BELUM BERAKHIR. MASIH ADA JILID BERIKUTNYA. Supaya hegemoni atas dunia tetap di tangan mereka. Kata teman saya dari Jogja: “ASU GEDHE MENANG KERAHE”.
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan