Konten dari Pengguna

Saham Unicorn di Bursa

15 Maret 2021 7:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Sudrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Tertarik dengan tulisan Edo Azhara di kumparan yang berjudul "Bersediakah Anda Membeli Saham Startup Unicorn di Bursa?". Penulis ini sepertinya mempertanyakan akan berapakah valuasi yang akan ditawarkan ke publik kalau unicorn tersebut IPO (Initial Public Offering)?
ADVERTISEMENT
Memang karena sebagai perusahaan tertutup kita masih belum bisa mengetahui dengan pasti keadaan yang sesungguhnya dari unicorn itu. Penulis ini pun menggunakan tolok ukur yang sangat umum digunakan oleh investor-investor tradisional, yang masih berpegang pada PE (Price Earning) ratio dan PBV (Price-to-Book Value) dan ini masih merupakan rasio yang saya percaya untuk digunakan di dalam mengukur performa perusahaan.
Saya akan mencoba melihat dari sisi lain, di mana operasi unicorn tersebut beroperasi sehari-hari dan sering pula menjadi pertanyaan publik yang menjadi penonton dan mungkin juga pertanyaan dari orang-orang yang menikmati benefit dari hasil jor-joran promosi unicorn kita.
Contoh sederhana, anak saya setiap hari kalau mau berbelanja online selalu memeriksa dulu semua situs e-bisnis yang ada, dan baru memutuskan di mana dia akan membeli barang atau jasa setelah dia berhitung di mana yang paling murah, dengan ongkir gratis, diskon harga barang atau diskon karena menggunakan media pembayaran tertentu dan lain-lainnya.
ADVERTISEMENT
Dari semua kemudahan itu dia hanya diwajibkan untuk mengunduh aplikasi dari situs e-bisnis yang menjual barang atau jasa yang dia beli. Kalau HP (handphone)-nya sudah penuh dengan segala macam aplikasi lalu dihapus satu-persatu.
Saya menduga (tidak punya data) kelakuan konsumen e-bisnis sama saja. Loyalitas mereka hanya pada harga murah BUKAN PADA BRAND TERTENTU. Karena logika saya mengatakan demikian. Di dalam tulisan ini saya tidak membedakan kegiatan pemasaran dan promosi, kedua pengeluaran tersebut saya sebutkan dengan PROMOSI. Tulisan ini merupakan tanggapan/urun rembug dari tulisan Edo Azhara.
Di dalam pelajaran Manajemen Keuangan Perusahaan, pengeluaran uang kita dapat klasifikasikan menjadi beberapa pos. Di antaranya pengeluaran untuk membayar utang, pengeluaran untuk membayar biaya operasi perusahaan, pengeluaran untuk investasi, pengeluaran untuk membayar pajak untuk pemerintah dan terakhir adalah pengeluaran uang untuk membayar dividen kepada pemegang saham (saya asumsikan perusahaannya berbentuk PT).
ADVERTISEMENT
Dari semua pos pengeluaran yang baru saja saya uraikan ada dua pos pengeluaran yang sebenarnya merupakan inti dari pengeluaran yang bisa membuat perusahaan menjadi besar dan menguntungkan yaitu: Pengeluaran untuk biaya operasi dan biaya untuk investasi.
Kedua biaya yang saya sebutkan terakhir ini berkaitan langsung dengan usaha yang merangsang timbulnya pendapatan perusahaan. Dari kedua pengeluaran ini kita sering berhadapan dengan kebingungan terutama di dalam membedakan suatu pengeluaran itu merupakan pos pengeluaran investasi atau itu merupakan pos investasi.
Kalau pengeluaran investasi untuk barang-barang yang kelihatan (tangible asset) ini mudah, kita langsung dapat mengklasifikasikan menjadi pengeluaran investasi, dengan harapan akan memproduksi pendapatan dalam jangka waktu cukup lama.
Yang sering menjadi kebingungan kita adalah kalau pengeluaran itu tidak ada bentuknya, terutama di dalam hal, pengeluaran untuk promosi. Bentuk pengeluaran promosi pun sekarang sangat banyak bentuknya. Diskon harga, pasang iklan di TV, pasang billboard, pertunjukan musik, iklan terselubung melalui film, pasang iklan pada media cetak, media online dan lain-lainnya dan jangan lupa sampai akhir-akhir ini banyak MASKER untuk pencegah COVID-19 pun dipasangi iklan produk atau brand tertentu sebagai media promosi.
ADVERTISEMENT
Rupanya media promosi ini sudah menjarah ke mana-mana asalkan tempat itu bisa dilihat orang. Para pakar promosi sering berpromosi juga dengan mengatakan promosi itu kita membeli pasar.
Tapi pasar yang mana dan di mana tidak jelas juga! Pada saat saya mengikuti seminar tentang promosi, seorang pembicara yang cukup jujur bercerita: "Berpromosi itu seperti tentara sedang ketakutan memberondong musuh dengan senjata otomatis, tanpa melihat musuhnya, kalau terdengar suara orang mengaduh kesakitan baru dia lega. 'Sudah ada yang mati tertembak', katanya. Padahal peluru yang dia habiskan sudah ratusan dan yang mengaduh kesakitan hanya satu orang. Dan jangan lupa musuh yang siap menembak dia masih banyak." Demikianlah dia menggambarkan aktivitas promosi yang mengundang tawa seluruh pengikut seminar.
ADVERTISEMENT
Kita kembali pada klasifikasi biaya. Jadi pengeluaran seperti promosi ini juga sering menjadi perdebatan. Apakah menjadi pos investasi ataukah biaya operasi? Untuk perusahaan yang sudah mapan, dengan pendapatan usahanya sudah besar dan berkepanjangan saya kira biaya promosi harus dibebankan sebagai pengeluaran operasional. Karena proses matching cost with revenue-nya bisa dipertemukan.
Bagaimana dengan perusahaan START-UP? Ini pertanyaan sulit yang harus dijawab. Kenapa saya katakan sulit dijawab? Start-up yang tidak melakukan promosi. "Yo ora kethok (tidak kelihatan)," kata teman saya!
Kalau promosi menghabiskan uang, kata Prof. Rhenald Kasali: "Bukan menghabiskan uang atau membakar uang, ini adalah DISRUPSI dari industri yang mapan."
Untuk memperjelas apa yang dikatakan Prof. Rhenald Kasali mengenai disrupsi, saya mengutip kata-kata dari Timothy Snyder sebagai berikut: "Kalau ada orang telanjang melintasi lapangan sepak bola (pada saat pertandingan berlangsung) jelas mengganggu (mendisrupsi), tapi tidak mengubah aturan permainan." Jadi maksud Snyder adalah disrupsi itu tidak selalu membawa kebenaran yang hakiki. Demikian juga di dalam bisnis. Bisnis adalah ditujukan untuk memberikan nilai tambah buat semua stakeholder, inilah tujuan hakiki dari suatu bisnis. Bukan asal disrupsi!
ADVERTISEMENT
Ada lagi persoalan pengeluaran yang sering menjadi perdebatan yaitu pengeluaran untuk pengembangan SOFTWARE. Apakah ini merupakan pengeluaran investasi atau biaya operasi? Di dalam kenyataannya, kalau pengembangan software ini memang membawa keberhasilan saya cenderung mengatakannya sebagai pengeluaran investasi. Tapi kalau yang terjadi sebaliknya maka nilai biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan software ini menjadi nol. Namun demikian, sampai sekarang saya melihat bank-bank pemberi kredit masih melihat software ini bukan aset yang bisa digunakan sebagai agunan.
Jadi pada umumnya pengeluaran ini dianggap sebagai biaya masa sekarang, sebab komponen pembentuk software ini selain server yang harganya murah adalah tenaga kerja engineer pembuat program komputernya dan langganan dari software-software lain yang disewa dari vendor luar berikut sewa cloud untuk menempatkan software dan data yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Dua pos pengeluaran, promosi dan teknologi, ini merupakan pengeluaran paling besar untuk suatu start-up (yang saya bicarakan adalah start-up teknologi). Seperti kita ketahui bersama untuk mengelola dua pos pengeluaran ini kita butuh tenaga kerja yang sangat besar dan harus terdidik baik, kalau tidak maka yang dihasilkan akan biasa-biasa saja, bukan disrupsi. Kedua jenis biaya ini cukup mendominasi pengeluaran perusahaan start-up. Jadi saya sependapat dengan keraguan yang ditulis oleh Edo Azhara mengenai berapa valuasi dari unicorn yang akan IPO itu. Fakta lain berikutnya akan saya bahas pada alinea berikut ini.

Time Frame

Sekarang saya akan membahas mengenai TIME FRAME (kerangka waktu) dari kedua kegiatan yang baru saja saya uraikan pada alinea sebelumnya. Pada umumnya semakin lama perusahaan menderita kerugian karena aktivitas yang belum bisa memproduksi pendapatan yang cukup maka semakin riskan perusahaan itu untuk berhadapan dengan masalah keuangan.
ADVERTISEMENT
Dari sisi dividen seperti ditulis oleh Edo Azhara: "Dividen hanya dapat dibagikan kalau perusahaan sudah untung dan tidak mempunya saldo kerugian pada pos laba ditahannya."
Kurang lebih pengertiannya seperti ini: Jadi kalau akumulasi kerugiannya sangat besar maka kemungkinan bisa membagikan dividen akan cukup lama kalau laba bersih perusahaan setiap tahunnya tidak cukup besar untuk menutup kerugian masa lalunya. Hal ini jadi penting buat investor yang mengharapkan dividen sebagai pendapatan dari investasinya. Selain itu di dalam Undang-Undang PPh (UU. No 36 Tahun 2008, pasal 6 ayat 2 dan masih berlaku sampai sekarang), kerugian yang diderita pada tahun tertentu hanya bisa dikompensasi dengan laba perusahaan sampai dengan tahun kelima setelah kerugian itu diderita. Jadi kalau, anggaplah kerugian berturut-turut sudah diderita selama sepuluh tahun maka lima tahun sejak pertama berdiri sudah tidak bisa dikompensasi lagi dengan laba yang akan didapat pada tahun kesebelas.
ADVERTISEMENT
Selain kerugian yang tidak bisa dikompensasi dan dividen yang tidak bisa dibagi, masih ada lagi potensi kerugian lain yang tidak terlihat berupa moral dari yang bekerja dan moral dari investor yang sudah mengabdikan diri bekerja dan mengeluarkan uang untuk memupuk perusahaan dengan harapan perusahaan akan segera menjadi besar dan menguntungkan dan beroperasi dengan sehat.
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang sering saya dengar, bagaimana mereka bisa mendapatkan keuntungan, kalau segalanya masih di dalam mode promosi? Tanpa ada pendapatan yang memadai untuk mengkompensasi biayanya. Pertanyaan ini bukan dari pakar keuangan atau bisnis, pertanyaan ini justru muncul dari orang-orang awam yang menikmati diskon dan ongkir gratis. Mungkin, (saya tidak tahu kebenarannya) sindrom THE WINNER TAKES IT ALL yang mendorong aktivitas dari start-up ini atau memang strategi jangka panjang yang sudah dipikirkan secara matang dengan segala macam kerumitan yang ada yang harus dihadapi.
ADVERTISEMENT
Kalau memang mimpi the winner takes it all yang menjadi pendorong semua aktivitas unicorn ini, maka mereka sedang menghadapi perang di medan Kurukshetra (Mahabharata). Perangnya habis-habisan. Jadi semua start-up menghadapi kendala yang sama, di mana pengeluaran tetap cukup besar dan di sisi lain pendapatan masih belum pasti. Dan kalau pendapatan sudah didapatkan apakah biayanya promosi bisa diturunkan, mengingat persaingan akan berlangsung seperti medan perang Kurukshetra. Atau seperti cerita tentara pada alinea sebelumnya yang memberondong tidak sadar bahwa musuh masih banyak yang siap menembak dia.
Selain itu, di dalam jangka waktu yang singkat cukup sulit suatu organisasi bisa bersinergi dengan baik dan efisien. Apalagi kalau dalam jangka pendek organisasinya sudah bengkak dengan jumlah orang ribuan dengan lini operasi yang banyak. Dibutuhkan waktu cukup lama untuk memastikan organisasi demikian dapat berfungsi dengan baik dan efisien.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya industri yang digeluti oleh start-up di Indonesia adalah industri yang mempunyai margin keuntungan sangat tipis. Industri dengan margin yang sangat tipis mempunyai konsekuensi harus mampu menjual dalam jumlah sangat besar. Apakah pasar Indonesia cukup besar untuk bisa menelan produk yang dijual oleh unicorn-unicorn ini? Dan apakah bisa unicorn-unicorn ini go global dan sukses? Karena industri start-up mempunyai komponen biaya seperti yang saya uraikan pada alinea sebelumnya. Karena start-up maka harus melakukan promosi. Kalau tidak promosi, tidak dikenal.
Apalagi, dengan melakukan disrupsi, harus mendidik pasar untuk menggunakan produk yang dijual. Ini adalah pekerjaan babat alas (membuka hutan), selain biayanya besar tentu saja akan memakan waktu yang lama. Apakah mereka sudah siap untuk menghadapi medan perang yang sangat berdarah ini?
ADVERTISEMENT
Menurut pendapat saya kebanyakan start-up tidak siap untuk menghadapi perang jangka panjang. Selain kebutuhan amunisi berupa uang, mereka juga kebanyakan anak-anak muda yang masih relatif baru masuk di dalam dunia bisnis dan amunisi pun kebanyakan berasal dari investor luar yang jumlah nya banyak dan sifat investornya berlainan di dalam mengelola dananya. Ada dana yang sanggup menahan sepuluh tahun, ada pula yang hanya empat tahun mereka harus mengembalikan investasi mereka kepada investor di belakangnya (untuk fund).
Jadi sampai di sini kita bisa melihat betapa rumitnya persoalan yang dihadapi start-up. Mengelola investor yang berbeda-beda preferensinya dalam berinvestasi, menghadapi rumitnya persaingan di pasar untuk bisa berjualan, menghadapi kendala-kendala teknologi baru yang harus digunakan, menghadapi kerumitan manajemen internal untuk koordinasi pekerjaan, mengelola keuangan dalam hal biaya dan pendapatan, dan menghadapi peraturan pemerintah dan pajak.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor yang sudah saya uraikan di dalam tulisan ini tentu saja akan menjadi faktor pembobot untuk menentukan valuasi suatu perusahaan start-up baik unicorn atau bukan unicorn. Jadi saya cukup maklum dengan apa yang ditulis oleh Edo Azhara yang pada intinya mempertanyakan orang mau membeli saham unicorn yang akan IPO dikaitkan dengan valuasi. Namun demikian kita juga tidak bisa menafikan adanya investor yang mau membeli dan bisa membuat semua masalah yang dihadapi oleh unicorn atau start-up yang mau IPO bisa diatasi, dan kemudian bisa membesarkan perusahaan yang IPO menjadi sehat, dan menjadi unicorn yang betul-betul, unicorn yang sehat dan memberikan nilai tambah buat semua stakeholder-nya.
Mari kita tunggu saja nanti sampai semuanya sudah resmi dan terbuka, baru kita bisa melihat berapakah valuasi yang ditawarkan ke publik. Dan kalau memang valuasi itu bisa diterima oleh pasar, mungkin ini menjadi tolok ukur baru untuk valuasi start-up lainnya. Atau akan menjadi ZOMBIE karena setelah IPO tidak ada transaksi apapun yang terjadi di Bursa sebab publik semakin ragu dengan kinerjanya.
ADVERTISEMENT
Dan harus diingat pula, IPO tidak berarti semua persoalan yang dihadapi oleh perusahaan yang go public menjadi selesai. Malah menjadi lebih rumit kalau perusahaannya tidak bisa memberikan performa yang baik. Dengan IPO semua data perusahaan dibuka ke publik dan publik bisa melakukan analisis secara terbuka demi keterbukaan informasi untuk investor. Dan kritik-kritik tajam dari analis pasar modal menjadi sarapan setiap hari kalau perusahaannya tidak bisa memenuhi janji-janjinya kepada pemegang saham.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita tunggu sampai semua data yang dibutuhkan oleh publik sudah dipublikasikan untuk tujuan IPO. Kita percayakan saja pada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia. Dan mari kita cermati bersama.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.