Kala Real Madrid Tersandung di Final Liga Champions

30 Mei 2017 17:57 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Piala Liga Champions di Bernabeu. (Foto: Reuters/Sergio Perez)
zoom-in-whitePerbesar
Piala Liga Champions di Bernabeu. (Foto: Reuters/Sergio Perez)
Real Madrid adalah rajanya Liga Champions. Ini serius. El Real adalah klub dengan raihan trofi terbanyak pada kompetisi level tertinggi Eropa itu. Total, sejak kompetisi dihelat pada 1955, Madrid sudah berhasil meraih 11 trofi. Trofi ke-11 bahkan baru mereka raih pada musim lalu.
ADVERTISEMENT
Madrid juga merupakan tim terbanyak yang berhasil tampil di partai final. Total sampai musim lalu sudah sebanyak 14 kali Los Blancos tampil di partai final Liga Champions. Itu artinya, hanya tiga kekalahan yang mereka dapat di partai final. Tiga kekalahan yang jelas amat diingat Madrid sebagai bagian dari kekalahan terburuk mereka. Pertanyaannya: Tahukah Anda kapan saja tiga kekalahan Madrid itu terjadi?
Jika belum tahu, kini kami mencoba menceritakannya kembali kepada Anda. Silakan simak berikut ini:
Benfica 5-3 Madrid (Final Liga Champions 1961/62)
Dua tahun sebelum final ini bergulir, Madrid baru meraih gelar kelima beruntun mereka. Ya, sejak kompetisi digulirkan pada musim 1955/56, Madrid selalu berhasil menjadi juara hingga lima musim beruntun, sampai akhirnya berhenti di musim 1959/60 itu. Musim 1960/61, Los Blancos, absen di final dan mereka kembali pada musim 1961/62 ini.
ADVERTISEMENT
Lawannya kali ini adalah juara bertahan yang tengah menjalani masa jaya di bawah besutan Bela Guttmann. Mereka adalah raksasa Portugal, Benfica. Benfica-nya Guttmann, yang memiliki Eusebio di dalam timnya, amat menakutkan. Pada final musim berikutnya, juara Spanyol, Barcelona, mampu ditaklukkan dengan skor 3-2.
Madrid sebenarnya juga tak kalah menakutkan. Pemain-pemain dari skuat mereka yang meraih lima gelar beruntun itu masih ada. Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas, dan Francisco Gento masih menghuni lini depan tim besutan Miguel Minoz itu. Final kali ini pun menjanjikan duel seru dari dua tim dengan permainan menyerang.
Di Stefano dan Puskas. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Di Stefano dan Puskas. (Foto: Wikimedia Commons)
Benar saja, babak pertama berjalan, lima gol sudah tercipta dari laga ini. Tiga untuk Madrid dan dua untuk Benfica. Puskas menggila di partai ini dengan berhasil menciptakan tiga gol. Sementara dua gol Benfica diciptakan oleh Jose Aguas dan Domiciano Cavem. Tapi itu babak pertama, babak kedua ceritanya berbeda.
ADVERTISEMENT
Ya, memang masih ada tiga gol lagi yang tercipta. Namun kali ini, situasinya berbeda jauh. Madrid tak lagi bisa mencetak gol sementara permainan eksplosif Benfica berhasil membuat mereka melesakkan tiga gol tambahan. Mario Coluna menciptakan satu, sementara dua di antaranya dicetak sang bintang, Eusebio.
Benfica mengakhiri laga dengan kemenangan 5-3. Kekalahan ini menandai berakhirnya era keemasan Madrid. Takhta penguasa Eropa pun digantikan oleh anak-anak Portugal yang dengan trofi kedua beruntun ini, menandai sebuah era emas mereka.
Internazionale 3-1 Madrid (Final Liga Champions 1963/64)
Dua musim setelah kekalahan dari Benfica itu, Madrid datang lagi ke partai final. Dengan skuat yang masih itu-itu saja, Madrid mencoba membuktikan jika kupon juara mereka belum habis. Terlebih bintang mereka, Puskas, telah berhasil mencetak tujuh gol sebelum laga final dimulai, dan itu menjadikannya salah satu top-skorer Liga Champions musim tersebut.
ADVERTISEMENT
Tapi kini, Madrid mendapat lawan yang tak kalah berat. Adalah raksasa Italia, Internazionale yang mencapai laga final Liga Champions perdana mereka. Keberhasilan Inter ini menandakan kegemilangan sepak bola Italia di Eropa setelah musim sebelumnya AC Milan berhasil menggondol trofi. Inter juga datang dengan status juara Italia kala itu.
Dari komposisi pemain, skuat Inter yang kala itu diarsiteki Heleno Herrera memang diisi pemain-pemain top. Ada bintang-bintang dari Italia seperti Giacinto Facchetti, Armando Picchi, atau Sandro Mazzola. Serta ada pula bintang dari Spanyol, Luis Suarez. Inter kala itu bukanlah penantang sembarangan untuk Madrid.
Catenaccio milik pasukan Herrera tak berhasil membuat Madrid berkutik. Puskas dan Di Stefano tak mampu berbuat banyak di laga ini. Penampilan Picchi sebagai libero pun begitu baik. Inter justru yang berhasil mencuri gol pada pengujung babak pertama melalui aksi Mazzola.
ADVERTISEMENT
Babak kedua, pertandingan berlangsung lebih terbuka. Hasilnya, ada tiga gol lagi yang tercipta. Inter pada mulanya mencetak gol kedua mereka melalui Aurelio Milani. Madrid berhasil membalas sembilan menit berselang melalui Felo. Namun pada akhirnya, Mazzola di menit 76 berhasil mencetak gol sekaligus membuat laga berakhir 3-1 untuk Inter.
Gelar juara terbang ke Italia. Inter untuk pertama kali berhasil meraih trofi Liga Champions mereka. Sekaligus menandai salah satu era terbaik mereka yang kemudian dikenal dengan nama Grande Inter. Sekadar catatan, Inter kembali menjadi kampiun di tahun berikutnya. Di kubu Madrid, kekalahan dari Inter itu menjadi laga terakhir bintang mereka, Di Stefano.
Liverpool 1-0 Madrid (Final Liga Champions 1980/81)
Setelah 14 tahun absen menjejak partai final, Madrid kembali lagi di musim 1980/81 ini. Namun, status mereka bukanlah tim raksasa Eropa seperti dulu. Mereka memang berhasil menjadi juara La Liga pada tiga musim beruntun, tapi Eropa tengah dikuasai tim-tim Inggris dan Jerman Barat kala itu. Yang dimiliki Madrid hanyalah sejarah sebagai peraih gelar terbanyak di kompetisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, skuat yang mereka miliki tidaklah buruk. Madrid yang kala itu dilatih oleh pelatih asal Yugoslavia, Vujadin Boskov, memiliki pemain-pemain top asal Spanyol seperti Jose Antonio Camacho, Vicente Del Bosque, Santillana, hingga Juanito. Masuk final bukanlah hal yang mengejutkan untuk mereka.
Namun... yang menjadi lawan Madrid adalah salah satu tim yang tengah "bagus-bagusnya" di Eropa, yakni Liverpool. The Reds, sebelum menapak partai final ini, baru meraih dua gelar juara beruntun pada musim 1977/98 dan 1976/77. Final versus Madrid ini menjadi final ketiga mereka dalam lima tahun terakhir. Liverpool dengan Kenny Dalglish sebagai bintang dan Bob Paisley selaku arsitek, begitu amat ditakuti.
Pada malam 27 Mei 1981, di Parc des Princes, Paris, sedikit berbeda. Madrid ternyata mampu mengimbangi Liverpool. Pasukan Paisley memang berhasil menguasai jalannya pertandingan dan tak berhenti mendapatkan peluang, namun mereka tak berhasil mencetak gol. Babak pertama berakhir tanpa gol.
ADVERTISEMENT
Babak kedua, masing-masing pelatih mengubah taktiknya. Madrid yang pada babak pertama bermain dengan tempo lambat dan cenderung menunggu, menaikan intensitas tempo permainan mereka menjadi lebih cepat. Mereka juga lebih berani menekan. Tapi tetap, Dalglish dan Graeme Souness di kubu Liverpool tetap mereka jaga ketat.
Di kubu Liverpool, Paisley menginstruksikan anak-anak asuhnya bermain lebih sabar. Lebih menjaga tempo sembari terus memertahankan penguasaan bola. Di samping itu, Paisley juga tetap membuat Liverpool intens menyerang melalui kedua sisi sayap mereka. Dan hasilnya ternyata cukup manjur.
Pada menit 82, gol tercipta untuk Liverpool. Alan Kennedy merangsek ke kotak penalti Madrid, melewati Rafael Garcia Cortes, sebelum akhirnya menaklukkan kiper Agustin Rodriguez. 1-0 The Reds memimpin dan skor ini bertahan hingga laga usai. Gelar Liga Champions ketiga untuk Liverpool dan kekalahan ketiga di final untuk Madrid.
ADVERTISEMENT
***
Setelah kekalahan di Paris dari Liverpool itu, Madrid tak pernah lagi takluk ketika mencapai partai final Liga Champions. Dari lima final setelahnya, Los Blancos selalu berhasil keluar sebagai kampiun. Kini, pada musim 2016/17 ini, Madrid akan melakoni partai final ke-15 mereka. Juventus yang akan menjadi lawan dalam partai yang akan dihelat di Millenium Stadium, Cardiff, Minggu (4/6) dini hari WIB itu.
Yang menjadi pertanyaan, apa hasil yang akan mereka dapat? Jika melirik statistik laga final mereka, Madrid memiliki rasio kemenangan 78 persen untuk bisa meraih gelar juara ke-12 mereka. Tapi juga ada peluang 22 persen bagi mereka untuk mengulangi kegagalan seperti di tiga partai final di atas.
ADVERTISEMENT
Tapi tunggu dulu... Ternyata ada catatan menarik dari penampilan Madrid di partai final. Usut punya usut, tiga kegagalan itu mereka dapat ketika berstatus sebagai tim kedua alias tim tandang di partai final. Sementara dari 11 kemenangan yang mereka dapat, itu semua berhasil mereka raih saat berstatus sebagai tim pertama alias tim kandang.
Nah, kebetulan, pada laga melawan Juventus kelak, Madrid kembali akan berstatus sebagai tim tandang. Sama seperti ketika mereka menghadapi Benfica, Inter, atau Liverpool itu. Lalu, apakah Madrid akan mengalami nasib serupa seperti tiga final sebelumnya itu? Mari kita tunggu.
Bagaimana fans Madrid, apa sudah siap?