Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
ASN: Dari Ajian Tolak Covid-19 ke Prinsip Utilitarianisme
17 September 2020 11:24 WIB
Tulisan dari Bergman Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lebih setengah tahun Covid-19 telah merajalela, para ASN (Aparatur Sipil Negara) pun berjatuhan. Mulai dari pejabat teras hingga staf, tua dan muda, dari Sabang sampai Merauke. Covid-19 memang tak pandang bulu. Asal itu manusia, ia serang.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta menambah daftar sebelumnya sudah cukup panjang. Terdapat kasus hampir di semua institusi: kementerian, non-kementerian, rumah sakit, pemerintah daerah, kepolisian, sila di-gugling, beritanya ada di mana-mana. Itu masih yang masuk berita, belum yang tidak terpublikasi.
Beberapa pemimpin pun menangisi temannya yang jadi korban. Pemimpin lain bahkan mengabaikan prosedur demi membawa temannya ke balai kota untuk mendapat penghormatan. Lalu selanjutnya bagaimana? Kembali bekerja seperti biasa?
Sejak bulan Maret 2020, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebenarnya telah menghimbau agar ASN bekerja dari rumah (work from home). Tentu ada pengecualian bagi yang duduk di pos pelayanan publik yang tak bisa ditinggal. Tetapi sudah rahasia umum kalau banyak pos-pos di birokrasi yang bisa “ditinggal” dan dikerjakan secara remote.
ADVERTISEMENT
Beberapa lembaga dan organisasi perangkat daerah memang memberlakukan WFH. Biasanya setelah terdapat kasus di lingkungannya. Sayangnya tidak ada kebijakan secara menyeluruh. Mayoritas birokrasi masih diharuskan bekerja di kantor bermodalkan protokol kesehatan. Tidak adanya panduan manajemen WFH yang kuat dari pemerintah pusat mungkin menjadi penyebab kondisi ini.
Konteks ASN yang dimaksudkan di sini sangat berbeda dengan insan medis yang harus mengambil risiko demi kemanusiaan. Lain halnya juga dengan sektor perdagangan dan informal lainnya yang harus tetap keluar rumah untuk mencari nafkah. Banyak ASN yang pekerjaannya bersifat administratif di belakang meja dan penghasilannya tidak harus tergantung kehadiran fisik.
Ibarat dalam kondisi perang, panglima harus bisa menyusun strategi dalam menempatkan personilnya. Sebisa mungkin menghemat sumber dayanya alih-alih mengirimnya semua ke garis depan atau membuka pertahanan dan membiarkan pasukannya berjatuhan diterjang musuh.
ADVERTISEMENT
Jujur sajalah, ada bagian-bagian yang tidak mendesak untuk bekerja di kantor. Efisiensi akibat pengalihan anggaran ke penanganan dampak Covid-19 bahkan menolkan anggaran kegiatan beberapa bagian. Cukup fair-lah jika mereka WFH saja. Apalah urgensinya datang ke kantor? Apakah kehadirannya sebanding dengan nyawa dan kehidupan keluarganya?
Prinsip utilitarianisme harus digunakan dalam kondisi ini, yaitu memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian. Pemerintah memang tak mungkin melakukan lockdown karena ekonomi harus berputar. Pemerintah juga tak bisa memaksa semua ASN di rumah karena harus ada yang melayani publik secara tatap muka. Tetapi pemerintah bisa menghemat sumber daya manusianya yang tidak harus terjun ke lautan virus tanpa manfaat yang signifikan.
Pemimpin harus mewajibkan ASN yang bersifat administratif dan memungkinkan bekerja secara online untuk WFH. Kantor sebisa mungkin merubah ventilasi tertutup menjadi terbuka. Meminimalkan rapat tatap muka terlebih di ruangan sempit dan ber-AC. Peralatan sanitasi hingga suplemen vitamin harus disediakan untuk pegawai yang terpaksa ke kantor. Instansi harus punya rencana ketahanan jika ada pegawai yang terinfeksi. Misalnya bagaimana antisipasi penangannya termasuk bantuan untuk keluarganya. Pendataan pegawai dan tamu harian untuk keperluan tracing juga penting dilakukan.
ADVERTISEMENT
Kita sekarang dalam masa “perang”. Musuh terus memborbardir siang dan malam. Korban terus berjatuhan setiap hari. Rumah sakit-rumah sakit sudah kewalahan menampung penderita. Fasilitas medis di beberapa kota bahkan menolak rujukan karena penuh. Pasien non-Covid-19 pun turut terlantar.
ASN tidak bisa hanya mengandalkan masker dan sanitizer lalu tetap berkerumun dalam ruangan tertutup. Kebijakan New Normal bukanlah kesempatan untuk lengah. Spritual bukan alasan untuk menutup mata dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
Protokol kesehatan juga bukanlah ajian tolak Covid yang ampuh dengan mengucapkan “Wes hewes hewes, bablas Covid e!”. Hikmat dan kearifan para pemimpin dibutuhkan saat ini untuk membawa pasukannya bertahan menghadapi serangan Covid-19 seraya menunggu datangnya bala bantuan vaksin. Jika tidak, ASN-ASN potensial harapan perbaikan birokrasi di masa depan bisa turut berguguran dengan sia-sia.
ADVERTISEMENT