Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bagaimana Cara Negara Lain Turunkan Kasus COVID-19?
3 Oktober 2020 20:49 WIB
Tulisan dari Bergman Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Badai pandemi COVID-19 belum juga berlalu. Kurva statistik kasus di Indonesia bahkan masih “naik-naik ke puncak gunung” padahal kurva beberapa negara telah menukik dan tetap rendah. Bagaimana sih sebenarnya kebijakan yang paling ampuh untuk menghadapi COVID-19 ini?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan itu mungkin terdengar basi dan naif tetapi masih menjadi topik yang banyak dipergunjingkan. Tak jarang masyarakat, terutama netizen, membawa-bawa keberhasilan negara lain untuk mengukur Indonesia.
Artikel ini bukan opini melainkan hanya rangkuman cara-cara yang dilakukan negara-negara yang disebut berhasil menekan statistik COVID-19. Artikel ini membantu penulis (semoga juga pembaca) untuk memahami kondisi yang terjadi di negara lain untuk kemudian melihat Indonesia secara jujur.
Penelusuran pertama penulis tiba di situs endcoronavirus.org . Situs yang diisi oleh ilmuwan, pengusaha dan masyarakat awam ini mencatat menggambar kurva negara-negara berdasarkan rata-rata kasus per minggu. Mereka kemudian membagi negara dalam tiga kelompok berdasarkan penanganan COVID-19, yaitu winning (berhasil), nearly there (hampir berhasil), dan needs action (masih butuh tindakan).
ADVERTISEMENT
Penulis kemudian fokus pada negara-negara yang kurvanya yang turun drastis, lalu fluktuasinya dalam beberapa bulan terakhir (Juni-September 2020) tetap rendah yaitu ada di angka 0-15 kasus. Negara-negara tersebut antara lain Thailand, Taiwan, Timor Leste, Brunei, dan Selandia Baru.
Tentu saja pertanyaan selanjutnya adalah: “Mengapa negara-negara tersebut bisa menekan angka kasus hingga serendah itu sementara Indonesia masih menanjak di angka ribuan?”
Karantina kewilayahan (Lockdown)
Dari penelusuran selanjutnya ke berbagai sumber, penulis menemukan bahwa salah satu keberhasilan Selandia Baru menghempas serbuan virus COVID-19 adalah kebijakan lockdown. Tentang cara Selandia Baru menangani pandemi ini telah penulis publikasi jauh hari di tautan ini.
Ringkasnya, Selandia Baru adalah negara yang cepat melakukan lockdown dan menutup pintu internasionalnya (26 Maret 2020). Meski pun kasus baru meningkat lagi pada bulan Agustus 2020 hingga Selandia Baru kembali melakukan semi lockdown.
ADVERTISEMENT
India sebenarnya lebih cepat melakukan lockdown yakni pada 24 Maret 2020 tetapi berujung pada kekacauan. Pemerintah India tidak mampu menjamin tempat penampungan dan kebutuhan dasar selama warganya dikunci. Ulasan kegagalan lockdown India bisa dilihat di berbagai sumber, salah satunya di media Scroll .
Kebijakan lockdown juga diambil oleh Timor Leste pada bulan Maret 2020 dan Thailand pada bulan April 2020. Sama seperti Selandia Baru dan Timor Leste , Taiwan dan Thailand juga cepat menutup bandara internasionalnya walaupun pariwisata adalah kekuatan ekonomi mereka.
Brunei Darussalam sendiri menutup pintu masuk bagi pengunjung dari negara-negara yang terdapat banyak kasus COVID-19 seperti Italia dan Iran pada bulan Maret 2020. Pendatang yang memiliki riwayat perjalanan dari Provinsi Hubei RRT bahkan sudah dilarang masuk sejak bulan Januari 2020.
ADVERTISEMENT
Selebihnya, negara-negara tersebut di atas pun melakukan hal yang sama dengan Indonesia seperti menutup pusat perbelanjaan, sekolah-sekolah dan perhelatan keramaian untuk mengurangi klaster-klaster transmisi.
Tes dan pelacakan
Sebagaimana yang dilansir media Business Insider , upaya penting Selandia Baru lainnya adalah tes dan pelacakan (tracing) yang efektif. Tes dilakukan secara massal dan setiap kasus dilacak riwayat kontaknya. Orang-orang yang kontak dekat dengan penderita segera dikarantina agar tidak berpotensi menulari yang lain. Aplikasi NZ Covid Tracer pun diluncurkan untuk mempermudah pelacakan.
Pelacakan juga dianggap salah satu faktor kunci Taiwan dalam menekan penyebaran virus. Bedanya, pelacakan di Taiwan bukan pelacakan riwayat kontak penderita, melainkan pelacakan kartu sim telepon selular orang-orang yang menjalani karantina. Hal ini dilakukan untuk memastikan orang tersebut taat menjalani karantina.
ADVERTISEMENT
Komunikasi dan kepercayaan publik
Komunikasi dipercaya sebagai salah satu langkah penting dalam mengatasi pandemi. Perdana Menteri Selandia Baru dianggap menampilkan komunikasi yang baik dan mendapat kepercayaan publik. Slogan “Bersatu melawan COVID-19” milik Selandia Baru diterima sebagai pesan “perang” kepada seluruh penduduk untuk melawan pandemi.
Keberhasilan itu bukan serta merta datang dari dirinya sendiri melainkan lantaran disokong oleh para ahli di belakangnya yang melakukan berbagai analisis. Meski berhasil menihilkan kasus baru setelah 100 hari (selama bulan Maret-Mei), kasus baru toh kembali meningkat pada bulan-bulan berikutnya karena memang pandemi global ini belum usai.
Protokol kesehatan
Kunci penurunan kasus COVID-19 sesungguhnya ada pada kepatuhan penduduk untuk menerapkan protokol kesehatan. Lockdown sendiri merupakan upaya pemaksaan agar warga menjaga jarak dengan yang lain. Bagaimana pun juga, penularan virus itu terjadi dari kontak dekat bukan akibat status lockdown. Media Business Insider menyebut disiplin protokol kesehatan adalah salah satu kunci penting keberhasilan Selandia Baru.
ADVERTISEMENT
Sementara keberhasilan Thailand sangat dipengaruhi oleh budaya salam mereka yang tidak kontak fisik, melainkan dengan wai, yaitu tangan tertangkup di dada seperti berdoa. Hal ini telah diulas di berbagai media internasional. Selain faktor wai, media New York Times juga menyebut Thailand sebagai negara yang dini menerapkan penggunaan masker di tempat umum.
Diluar faktor-faktor di atas, pengamat juga melihat ada faktor-faktor khusus seperti Thailand yang diuntungkan karena berbatasan dengan negara-negara yang juga minim kasus COVID-19. Lalu pengalaman Taiwan saat diterpa virus SARS dua puluh tahun lalu yang juga berasal dari Cina daratan, membuat kesiapan Taiwan lebih baik saat menghadapi pandemi COVID-19.
Selandia Baru memiliki keuntungan alam baik. Udara bersih, sinar matahari yang tidak terlalu panas plus infrastruktur yang baik membuat warganya gemar beraktivitas jogging, berjalan kaki atau bersepeda. Data Kementerian Kesehatan Selandia Baru tahun 2014 menunjukkan 51% orang dewasa aktif secara fisik sedikitnya 30 menit dalam sedikitnya 5 hari per minggu. Sementara 68% dewasa melakukan aktivitas olahraga dalam sedikitnya 3 hari per minggu (“Activity,” n.d. ).
ADVERTISEMENT
Diluar aktivitas tersebut, faktor aturan dan biaya parkir kendaraan dan pemberhentian angkutan umum turut menyebabkan orang di Selandia Baru lebih banyak berjalan kaki. New Zealand Household Travel Survey menunjukkan jalan kaki mengambil porsi 16% transportasi warga Selandia Baru (Shaw dan Russell, 2016 ).
Ahli kesehatan telah menyarankan paparan sinar matahari dan olahraga untuk meningkatkan imunitas tubuh . Saat pandemi influenza merebak di tahun 1918, kombinasi udara segar dan sinar matahari terbukti menurunkan peluang infeksi dan kematian. Hal ini juga dipercaya berlaku pada pandemi COVID-19 (Hobday, 2020 ).
Bagaimana dengan Indonesia?
Pengalaman negara-negara di atas bisa menjadi cermin bagi Indonesia. Apakah yang berbeda dengan penanganan di tanah air? Apakah pemerintah tidak mengambil langkah yang sama seperti negara-negara tersebut?
ADVERTISEMENT
Kondisi lapangan Indonesia tentu sangat berbeda dengan negara-negara itu dalam segala aspek. Luas wilayah, kondisi geografis, jumlah penduduk, heterogenitas etnis, karakter penduduk, tingkat pendapatan per kapita, struktur perekeonomian, kemampuan finansial negara, hingga sistem pemerintahan dan kondisi politik dalam negeri. Semuanya mempengaruhi perancangan kebijakan, sekaligus keberhasilannya.
Pakar-pakar kebijakan publik pun selalu menekankan prinsip bahwa tidak selamanya kebijakan publik bisa di-copy-paste secara rinci dari satu tempat ke tempat yang lain. Walaupun demikian, kondisi lapangan juga tidak serta merta menjadi pembenaran untuk tidak mendesain kebijakan publik yang baik.
Apa saja langkah-langkah yang seharusnya dilakukan untuk menekan kasus COVID-19 dan bagaimana evaluasi penanganan di Indonesia? Penulis mencoba merangkumnya di artikel yang berbeda dengan judul Mengapa Kurva COVID-19 Indonesia Masih “Naik-naik ke Puncak Gunung”?. (*)
ADVERTISEMENT