Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ini Sebabnya Korupsi di Indonesia Sulit Diberantas
10 Desember 2021 1:35 WIB
·
waktu baca 8 menitDiperbarui 27 Desember 2021 6:56 WIB
Tulisan dari Bergman Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagian orang tidak setuju dengan penggunaan kata budaya dalam konteks korupsi . Saya sendiri mengacu pada defenisi kata “budaya”.
ADVERTISEMENT
Salah satu defenisi budaya di Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah”.
Menurut Lousie Damen dalam bukunya Culture Learning: The Fifth Dimension in the Language Classroom, budaya mempelajari berbagi pola atau model manusia untuk hidup seperti pola hidup sehari-hari.
William H. Harviland beranggapan bahwa budaya merupakan suatu perangkat aturan serta norma yang telah dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat yang melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua masyarakat.
Pengertian budaya menurut Ki Hajar Dewantara sangat menarik dan akan kita bahas di paragraf selanjutnya. Menurut beliau, budaya adalah buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam. Hal itu dilakukan manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Mungkin kata “kultur” terdengar lebih pas daripada kata “budaya” untuk konteks korupsi ini. Merujuk pada kamus Meriem-Webster, culture berarti “a way of thinking, behaving, or working that exists in a place” atau “cara berpikir, berperilaku, atau bekerja yang ada di suatu tempat”.
Kata kultur sering kita jumpai dalam banyak konteks di luar perihal akal budi dan adat istiadat. Misalnya, kultur sepakbola, kultur organisasi, kultur kerja, yang pengertiannya adalah kebiasaan yang dilakukan sejak lama.
Pengertian korupsi sendiri secara ringkas adalah perbuatan tidak jujur yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Korupsi bisa menyangkut uang, benda, atau non benda seperti waktu dan keuntungan lainnya.
Pertanyaan utama esai ini adalah, mengapa korupsi di Indonesia sulit diberantas? Sembilan belas tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berdiri tetapi tanda-tanda surutnya korupsi belum juga terlihat. Mengapa? Karena korupsi sudah membudaya di masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Budaya korupsi di masyarakat
Kebiasaan menuduhkan korupsi pada kalangan pemerintah dan penegak hukum (APH) adalah salah. Korupsi juga bisa dilakukan oleh pihak swasta termasuk masyarakat.
Jangan berpikir hal-hal yang rumit, kita mulai saja dari hal sederhana di keseharian kita seperti menerobos lampu merah atau mencuri jalan. Mungkin dasar pemikiran pelakunya adalah: jika bisa lebih cepat tanpa ketahuan, kenapa tidak?
Para pedagang di pasar meletakkan barang dagangannya melewati batas area yang menjadi haknya. Akhirnya akses jalan pun menyempit. Mungkin pemikirannya adalah: kalau bisa lebih banyak barang yang ditampilkan tentu lebih menarik dan menguntungkan, meskipun itu melewati batas yang legal.
Sebagian pedagang beralasan bahwa semua pelapak melakukan hal itu sehingga akhirnya diterima sebagai kewajaran persis seperti defenisi budaya oleh William H. Harviland. Justru kalau tidak melakukan hal itu kita terlihat aneh dan berimbas pada penjualan yang seret.
ADVERTISEMENT
Pelaku usaha lain menggunakan trotoar bahkan badan jalan demi keuntungan pribadi. Begitu pula pengendara yang memasuki area pejalan kaki atau jalur khusus bis agar ia lebih cepat sampai di tujuan. Penjual online menipu pembeli kemudian menutup akunnya setelah mengumpulkan sejumlanh uang.
Asisten rumah tangga mengurangi barang yang dibeli agar bisa menyimpan sisa uang belanja yang seharusnya dihabiskan. Sopir melebihkan nominal di struk pembelian bahan bakar agar selisih uangnya bisa disimpan untuk diri sendiri. Sebagian orang berpikir: Ah, ini sudah biasa, majikan mah maklum aja. Gaji mereka kan juga kecil, wajarlah nambah pemasukan.
Pelajar yang ekonominya mampu mengambil beasiswa yang diperuntukkan bagi yang tidak mampu. Warga berebutan mengklaim bantuan langsung tunai atau pembagian bahan pokok meski mereka tidak masuk kategori miskin. Dasar pemikirannya adalah: kalau saya bisa mendapat uang tambahan atau bahan makanan kenapa tidak? Toh, anggaran itu harus dihabiskan.
ADVERTISEMENT
Mungkin kita melakukan hal-hal yang bersifat korup tersebut untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan diri, seperti kata Ki Hajar Dewantara. Perilaku itu kemudian menjadi kebiasaan karena dilakukan turun-temurun hingga sulit untuk diubah seperti defenisi budaya atau kultur.
Ketidakjujuran bukan hanya dipertunjukkan individu-individu tetapi juga korporasi, mulai dari yang kecil hingga besar. Contohnya penggambaran di iklan yang tidak sesuai dengan fakta terkait dimensi bahkan fungsi produk. Seakan-akan produsen sengaja menipu konsumen karena produsen pasti mengenal baik produknya.
Banyak sekali bentuk-bentuk korupsi di sekitar kita yang bisa dicatat, belum lagi bicara budaya tip dan “ucapan terima kasih”. Bukankah hal-hal tersebut merupakan kebiasaan yang terjadi sehari-hari, sejak lama, dan dimana saja di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Bukan mengatakan semua orang melakukan hal itu tetapi mengingat jumlah penduduk kita yang besar, maka pelakunya menjadi banyak. Masif, kata Pak Prabowo. Saking seringnya terjadi, sebagian orang malah menganggapnya lumrah dan bukan termasuk korupsi.
Nah, masalahnya, semua aparatur pemerintah termasuk penegak hukum kita berasal dari masyarakat. Tidak ada aparatur yang diimpor dari negara lain atau dari planet lain. Semuanya, ya, anak-anak yang tumbuh di masyarakat Indonesia.
Contoh kebiasaan lain di masyarakat
Di negara-negara maju ada kebiasaan untuk menyisihkan makanan dari toko agar bisa dikonsumsi oleh orang-orang yang membutuhkan, secara gratis. Makanan-makanan itu disediakan di depan toko atau rumah ibadah untuk bisa diambil siapa saja yang membutuhkan.
Meski disediakan secara gratis, tidak semua orang mau mengambilnya. Orang-orang yang merasa berkecukupan tidak mengambilnya karena sadar bahwa makanan itu lebih dibutuhkan orang lain.
ADVERTISEMENT
Di salah satu supermarket di Belanda, buah yang berbeda besarnya dijual dengan harga yang sama. Seorang ibu mengambil buah yang kecil lalu seorang lain bertanya mengapa ia tidak mengambil yang besar. Si ibu menjawab bahwa ia tidak akan mampu menghabiskan buah yang berukuran besar sehingga ia mengambil secukupnya sesuai kebutuhannya.
Ada lagi supermarket yang menyediakan buah gratis untuk anak-anak. Sepanjang penglihatan saya, tidak ada orang dewasa yang mengambilnya, apalagi dalam jumlah banyak, padahal gratis.
Di New Zealand, seperti juga di banyak negara lain, kotak surat dipancang di pinggir jalan. Rumah-rumah yang terletak di atas bukit juga mendirikan kotak surat di pinggir jalan meski itu jauh dari posisi rumah.
Lalu di zaman e-commerce sekarang, kotak surat bukan hanya berfungsi untuk meletakkan surat tetapi juga barang-barang yang dibeli secara online yang tak jarang bernilai tinggi. Tetapi pada umumnya orang tidak mau mengambil isi kotak surat orang lain meski tidak diawasi oleh kamera pengintai.
ADVERTISEMENT
Tentu saja tidak ada negara yang steril dari kriminalitas. Di setiap negara juga ada warga miskin, pengangguran, dan tuna wisma, jika kita berpikir kejujuran terkait dengan ekonomi. Poin saya di sini adalah bahwa kultur di negara-negara yang cenderung tidak korup menciptakan orang-orang yang tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya karena ada hak orang lain di sana.
Pula menghasilkan orang-orang yang tidak mengambil sesuatu yang sebenarnya tidak dilarang tetapi karena ada orang lain yang lebih membutuhkannya.
Ketidakjujuran dimulai dari rumah
Tidak ada anak yang terlahir dengan pemahaman soal kejujuran. Semua bayi terlahir polos, tidak tahu apa-apa. Didikan orang tualah yang membentuk mentalnya, termasuk soal kejujuran.
Cobalah bertanya pada seseorang yang biasa berlaku jujur. Misalnya, mengapa ia tidak mengambil sesuatu barang atau uang meski tidak ada yang melihat atau belum ada aturan hukumnya? Biasanya orang seperti itu menjawab bahwa perilaku tersebut diajarkan oleh orang tuanya sedari kecil.
ADVERTISEMENT
Anak yang terbiasa tidak jujur sejak kecil akan cenderung berlaku tidak jujur sampai dewasa. Peraturan, termasuk agama, pengawasan, dan hukuman hanyalah instrumen pendukung perilaku manusia. Perilaku manusia pertama kali dibentuk di dalam keluarga kemudian selanjutnya dipengaruhi oleh lingkungan.
Faktor kejujuran ini menjelaskan mengapa seorang miskin tidak mencuri sementara orang lain yang tidak miskin justru mencuri.
Faktor lingkungan
Apa kata ilmu sosial? Perilaku sosial dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah pengalaman dan ilmu pengetahuan, sementara faktor eksternal adalah lingkungan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan agama. Faktor lingkungan inilah yang sangat kuat mempengaruhi perilaku korupsi.
Buktinya bisa kita lihat ketika kita memasuki lingkungan di negara lain dimana kita bisa mendadak taat aturan lalu lintas, tidak membuang sampah sembarangan, dan berperilaku jujur lainnya. Atmosfer lingkungan sekitar membuat kita merasa risih untuk berperilaku berbeda.
ADVERTISEMENT
Pengaruh lingkungan terhadap korupsi ini juga dinyatakan Gächter dan Schulz dari University of Nottingham dalam risetnya yang dipublikasi oleh Uni Eropa di tahun 2014. Barr dan Serra (2010) juga melihat kecenderungan yang sama dalam penelitian mereka.
Budaya jujur
Teori tentang korupsi sudah banyak dikaji para ahli, diteliti dan diterapkan oleh KPK dan APH. Teori penyebab, langkah pencegahan dan penindakan korupsi sudah diulas dimana-mana. KPK dan APH sendiri sudah mencoba berbagai metode tetapi belum terbilang berhasil karena budaya korupsi itu memang belum terkikis dari masyarakat.
Ketika mempresentasikan sistem Online Single Submission (OSS) di Victoria University of Wellington Selandia Baru sebagai salah satu cara mengurangi korupsi, saya ditantang pelajar lokal dengan pertanyaan, “Apakah dengan adanya sistem seperti OSS ini Anda berharap masyarakat menjadi lebih jujur?”
ADVERTISEMENT
Saya menyadari bahwa jawabannya adalah “Tidak”. Kejujuran dan kepatuhan adalah hal yang berbeda, baik penyebab maupun dampaknya.
Tetapi bila budaya jujur berkembang baik, maka faktor-faktor penyebab korupsi yang ada di teori-teori ilmiah itu bisa menjadi sangat kecil pengaruhnya. Sebaliknya, celah akan selalu dicari oleh masyarakat yang tidak jujur, sebagaimana pun banyaknya dan ketatnya peraturan serta sistem yang diberlakukan.
Lihat saja fenomena joki di kawasan three in one di Jakarta dan plat nomor polisi palsu untuk menghindari aturan ganjil-genap. Sistem e-procurement dan aplikasi-aplikasi “e” lainnya, tidak juga menghalangi pengaturan pemenang dan praktik-praktik korupsi.
Pengikisan kultur korupsi di masyarakat butuh waktu yang tidak sebentar. Namun semakin lama kita memulai prosesnya maka semakin lama pulalah kita terbebas dari belenggu korupsi yang menghambat pembangunan bangsa.
ADVERTISEMENT
Argumen ini memang opini subyektif dan belum dibuktikan secara ilmiah. Sila untuk tidak sependapat dan sila mendebat dengan argumen yang lebih ilmiah. Salam belajar jujur!