Konten dari Pengguna

Melihat Indonesia dari Luar Negeri: Perlu Introspeksi Tetapi Banyak Bersyukur

Bergman Siahaan
Analis Kebijakan Publik dan Penanaman Modal di Pemerintah Kota Medan
17 Agustus 2021 13:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bergman Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi passport Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi passport Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Prof. Rhenald Kasali pernah menulis tentang para mahasiswanya yang dia paksa untuk membuat paspor kemudian disuruh ke luar negeri. Katanya, orang yang tidak pernah ke luar negeri itu akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, lalu jadi dosen atau pemimpin yang steril.
ADVERTISEMENT
Pilihan kata dalam tulisannya itu terasa keras, seperti jari mencolok mata. Dia seakan meluapkan kejengkelannya terhadap orang-orang yang diibaratkan seperti katak dalam tempurung yang berteriak-teriak menggema dalam ruang batok kelapa yang sempit hingga gaungnya memekakkan telinga.
Konteks guru besar Universitas Indonesia itu tentang hal berpergian ke luar negeri memang luas. Mulai dari memupuk keberanian, kepercayaan diri, bahasa Inggris, inovasi, hingga soal kebangsaan.

Pelajaran kebangsaan

Saya tertarik pada aspek kebangsaan. Menurutnya, jika anak-anak di perbatasan Kalimantan diajak oleh gurunya melintas ke negara tetangga, yaitu Malaysia, maka anak-anak itu bisa langsung belajar PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) secara nyata karena melihat ketertinggalan daerahnya dalam infrastruktur dan fasilitas sosial lainnya.
Di kesempatan lain, para mahasiswa UI yang diajaknya ke perbatasan Thailand dan Vietnam mendapat pelajaran kebangsaan yang sangat berharga. Mereka belajar dari melihat pertarungan penduduk miskin Thailand dan Vietnam melawan globalisasi di Chiang Mai.
ADVERTISEMENT
Tahun 2020, dalam pertarungan saya sendiri di negara terujung di belahan selatan bumi ini, New Zealand, saya kerap “dipaksa” untuk bertemu dan berdiskusi dengan banyak mahasiswa dari berbagai negara. Kesulitan speaking dan listening pun kemudian terabaikan setelah hanyut dalam tukar-menukar pengalaman dan pandangan tentang politik dan kebijakan publik di negara masing-masing.
Lupakan sejenak Afghanistan dengan perebutan kekuasaannya. Tepikan dulu Korea Utara dengan isolasinya karena tidak ada mahasiswa dari negara-negara tersebut di kelas saya. Saya hanya mendapat cerita tentang negara-negara yang relatif berjalan stabil dan sedang dalam pembangunan negara-negara Asia Tenggara plus Afrika Selatan dan New Zealand.

Potret politik negara-negara sahabat

Teman-teman dari Myanmar misalnya, mereka bercerita tentang bayangan junta militer di tengah kenikmatan demokrasi yang baru dirasakan sejak tahun 2010. Pada tahun itu, pemilu pertama setelah 20 tahun diselenggarakan dan partai-partai yang pro demokrasi meraih suara terbanyak.
ADVERTISEMENT
Junta militer adalah angkatan bersenjata yang berkali-kali berlumuran darah rakyatnya sendiri. Mereka berkuasa sejak Myanmar merdeka dari Inggris di tahun 1948 dan mengganti nama Burma menjadi Myanmar pada tahun 1989.
Teman dari Filipina menceritakan “persaingan” dua etnis besar mulai dari bahasa nasional hingga presiden. Bahasa nasional Filipina memang disebut bahasa Filipina tetapi itu berasal dari bahasa etnis Tagalog.
Etnis Tagalog adalah salah satu etnis besar di Filipina yang populasinya mencapai seperempat penduduk Filipina. Karena merupakan bahasa salah satu suku, riak-riak resistensi dan antipati terhadap bahasa Tagalog tidak bisa dihindari. Bahkan masih banyak penduduk yang tidak menggunakan bahasa itu di daerah mereka.
Sahabat dari Laos menjelaskan sistem politik satu partai yang harus mereka pilih di setiap pemilu. Partai Revolusioner Rakyat Laos (LPRP) adalah partai politik satu-satunya yang boleh memegang kekuasaan di sana sementara organisasi lain berstatus organisasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Teman lain dari Thailand lalu berbagi fakta belasan kudeta militer yang mereka alami, belum termasuk percobaan yang gagal. Meski merupakan negara monarki, tetapi elit politik di luar istana seperti junta militer lebih dominan.
Junta militer kembali menguasai Thailand pada tahun 2014 melalui kudeta. Ketegangan dan kericuhan politik berulang kali terjadi setelahnya, korban pun berjatuhan. Demokrasi masih dalam perjuangan.
Seorang teman akrab dari Afrika Selatan mengeluhkan Pemilu yang hanya bisa memilih partai. Partai pemenang mutlak menguasai pemerintahan dengan menunjuk para eksekutif pilihan mereka. Persis seperti sistem yang sudah ditinggalkan Indonesia dua puluh tahunan yang lalu.
New Zealand sendiri sesungguhnya tak jauh berbeda. Salah seorang staf ahli Perdana Menteri yang juga mengambil program yang sama dengan saya menjelaskan bahwa mereka juga hanya memilih partai politik pada setiap Pemilu. Partai pemenanglah yang mendudukkan kadernya di kursi perdana menteri yang masa tugasnya pun hanya selama tiga tahun.
ADVERTISEMENT
Partai bisa mengganti perdana menteri sewaktu-waktu jika dirasa penting karena perdana menteri memang petugas partai. New Zealand bahkan tidak memiliki konstitusi seperti UUD 1945 yang dipunyai Indonesia, konon lagi dasar ideologi seperti Pancasila.
Saya takjub ketika seorang mahasiswa New Zealand mengingatkan saya bahwa Indonesia punya Pancasila! Rupa-rupanya, mahasiswa itu pernah tinggal di Aceh selama dua tahun pada masa disaster response tsunami di pertengahan tahun 2000an. Pada saat itulah dia tahu soal Pancasila.

Bangga akan tanah air

Dengan rasa bangga, saya pun menceritakan bahwa para pemimpin Indonesia di berbagai tingkat pemerintahan sudah dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan sedikit menyindir pula, saya katakan bahwa para pemimpin itu bekerja untuk rakyat, bukan untuk partai, karena partai tidak dapat mencopot mereka sewaktu-waktu. Sampai-sampai ada kepala daerah yang berani berseberangan dengan sikap partainya sendiri.
ADVERTISEMENT
Indonesia tentu masih jauh dari sempurna. Masih banyak kekurangan di sana-sini. Masih terdapat kesenjangan. Masih ada ketidakpuasan masa lalu di ujung timur dan barat nusantara. Masih banyak “PR” di birokrasi dengan pelayanan publiknya, korupsi, narkoba, dan banyak isu lain. Ketertinggalan kita dengan negara lain juga bukan hanya urusan fisik tetapi juga tatanan sosial, kebijakan publik, hingga mental pejabat, pun masyarakatnya.
Meski demikian, tanpa mengurangi rasa hormat kepada negara para sahabat tersebut, rasa bangga terselip dalam hati saya. Bangga bahwa bangsa kita sudah melangkah ke depan dalam hal politik dan demokrasi. Kita semua relatif bisa makan enak dan tidur nyenyak, setidaknya, selepas tahun 60-an yang kelam dalam tudingan “komunis”.
Ada satu sesi kuliah lain dimana kami diminta berandai-andai untuk memilih dilahirkan kapan dan di mana. Sebagian besar yang hadir memilih negara skandinavia yang terkenal dengan indeks kebahagiaannya.
ADVERTISEMENT
Teman-teman dari Asia Tenggara ada yang memilih lahir di tahun enam puluhan, bahkan ada yang sebelum Masehi. Tetapi saya sendiri mengatakan cukup puas lahir di Indonesia menjelang tahun delapan puluhan, atau mungkin mundur sedikit ke tahun tujuh puluhan.
Faktor pendorong pemikiran saya tentu kestabilan relatif politik dan ekonomi yang terjadi sejak era 70-an, dipotong tiga tahun huru-hara masa reformasi dan lepasnya Timor Leste yang menyedihkan.

Sadar dan bersyukur

Benar kata Prof. Kasali, melancong ke luar negeri bukan hanya akan membuka mata kepala tetapi juga mata hati kita. Melihat negeri kita dari seberang memberikan perspektif yang lebih luas dalam menyikapi perbedaan, apalagi hanya soal preferensi calon presiden dan kepala daerah.
Dari luar negeri, kita melihat lebih jelas akan jejak-jejak para pendiri negara yang sudah menghantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan sekaligus meletakkan pondasi kokoh bernama Pancasila dan UUD 1945 yang tidak dimiliki banyak negara lain.
ADVERTISEMENT
Introspeksi itu harus, tetapi lebih banyaklah bersyukur dengan apa yang kita nikmati sekarang ini: kedaulatan, demokrasi, pemerintahan sipil, perdagangan internasional, investasi, pariwisata, lapangan pekerjaan, kesehatan, pendidikan, dan sandang-pangan-papan yang masih relatif terjangkau.
Satu hal yang paling berharga dari segalanya adalah saat kita bangun di pagi hari lalu keluar dari pintu rumah dan menemui negara dalam keadaan damai.
Belum setahun setelah perpisahan saya dengan teman-teman dari Myanmar, apa yang merupakan kekhawatiran mereka benar-benar terjadi. Junta militer melakukan kudeta pada 1 Februari 2021 dan kembali berkuasa. Darah penduduk sipil pun kembali tertumpah.
Jangan buang kenikmatan yang sudah Tuhan anugerahkan ini kepada kita, Bangsa Indonesia, hanya karena nafsu seekor katak dalam tempurung. Lihatlah, sadarlah, dan bersyukurlah.
ADVERTISEMENT
Hanya dengan persatuanlah, Indonesia bisa maju, tumbuh, dan tangguh. Dirgahayu Republik Indonesia!