Hukum Pajak dalam Islam Halal atau Haram, Ini Jawabannya

Berita Bisnis
Berita dan Informasi Praktis soal Ekonomi Bisnis
Konten dari Pengguna
29 November 2021 6:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Bisnis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pajak dalam Islam. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pajak dalam Islam. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
Pajak dalam Islam merupakan sumber penerimaan primer negara pada masa Rasulullah SAW dan Khulafa Rasyidin. Sumbernya bisa dari dalam negeri atau pajak perdagangan internasional.
ADVERTISEMENT
Aturan Pajak harus berpedoman kepada Al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Jika memungut Pajak secara dzalim (tidak sesuai syari’at) maka Rasulullah melarang, sebagaimana hadits yang berbunyi,”Laa yadkhulul jannah shahibul maks”, yang artinya tidak masuk surga petugas Pajak yang dzalim, (HR. Abu Daud, Bab Kharaj, hal. 64, hadits no. 2937 dan Darimi, bab 28, hadits no. 1668).
Jika Pajak ini dijalankan sesuai dengan Syari’at, maka ia menjadi ibadah. Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada para pegawai (‘amil) Zakat dengan memberi gelar Mujahidin bagi pemungut Zakat (dan Pajak-pen) yang benar.العامل علي الصدقة بالحق كالغازي في سبيل الله حتى يرجع إلى بيته. (رواه الترمذى) , artinya,”‘Amil (orang yang memungut) Zakat dengan benar adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah hingga ia kembali ke rumahnya.” (HR Tirmidzi dari Rafi bin Khadij). Hadits ini juga bisa dipakai untuk pemungut Dharibah (Pajak) yang dibuat sesuai dengan Syari’at.
ADVERTISEMENT

Macam-Macam Pajak dalam Islam

Berikut ini macam-macam Pajak dalam Islam dirangkum dari laman Perbanas Institute.
1. Kharaj (Ibrahim, 2003)
Kharaj dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemilik untuk diberikan pada pemerintah. Penetapan kharaj harus memperhatikan betul kemampuan kandungan tanah, karena ada tiga hal yang berbeda yang mempengaruhinya: pertama, jenis tanah; tanah yang bagus akan menyuburkan tanaman dan hasilnya lebih baik dibandingkan dengan tanah yang buruk. Kedua, jenis tanaman; ada tanaman yang harga jualnya tinggi dan yang harga jualnya rendah. Ketiga, pengelolaan tanah; jika biaya pengelolaan tanah tinggi, maka pajak tanah yang demikian tidak sebesar pajak tanah yang disirami dengan air hujan yang biayanya rendah.
Jadi kharaj adalah pajak atas tanah yang dimiliki kalangan nonmuslim di wilayah negara muslim. Tanah yang pemiliknya masuk Islam, maka tanah itu menjadi milik mereka dan dihitung sebagai tanah ‘usyr seperti tanah yang dikelola di kota Madinah dan Yaman. Dasar penentuannya adalah produktivitas tanah, bukan sekadar luas dan lokasi tanah. Artinya, mungkin saja terjadi, untuk tanah yang bersebelahan, di satu sisi ditanam anggur dan lainnya kurma, maka hasil pajaknya juga berbeda. Berdasarkan tiga kriteria di atas, pemerintah secara umum menentukan kharaj berdasarkan kepada:
ADVERTISEMENT
2. ‘Usyr (Erfanie, 2005)
‘Usyr adalah pajak yang dipungut dari hasil pertanian, tarifnya tetap, yaitu 10 persen atas hasil panen dari lahan yang tidak beririgasi, dan 5 persen atas hasil panen dari lahan yang beririgasi. Pajak ini bisa berupa uang, atau berupa bagian dari hasil pertanian itu sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an surat Al-An’am: 141;
وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَآأَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berujung dan tidak berujung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa, dan tidak (sama rasanya). Makanlah dari buahnya bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
ADVERTISEMENT
Jadi usyr itu merupakan hasil tanah, yaitu pungutan yang diambil oleh negara dari pengelola tanah sebesar 1/10 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diairi dengan air tadah hujan, dengan pengairan alami. Dan negara akan mengambil 1/20 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diairi oleh orang atau yag lain dengan pengairan teknis (buatan). Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir yang mengatakan:
Rasulullah SAW bersadba: “(Tanaman) apa saja yang diari oleh bengawan dan hujan (harus diambil) 1/10 (dari hasil panennya). Dan apa saja yang diairi dengan kincir air, maka (harus diambil) 1/20 (dari hasil panennya)”.
Ilustrasi Pajak dalam Islam. Foto: Pexels
3. Khums
Khums atau sistem proporsional tax adalah persentase tertentu dari rampasan perang yang diperoleh oleh tentara Islam sebagai ghanimah, yaitu harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran yang berakhir dengan kemenangan. Sistem pendistribusiannya disebut khumus (seperlima) setelah peperangan. Khums diserahkan kepada Baitul Mal demi kemakmuran negara dan kesejahteraan ummat.
ADVERTISEMENT
Pendistribusiannya berdasarkan realita keadaan, dan hal ini diatur dalam Q.S. Al Anfaal: 41,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَيْءٍ فَأَنِّ للهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِن كُنتُمْ ءَامَنتُم بِاللهِ وَمَآأَنزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai ghaninah (rampasan perang), sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul saw.,kerabat Rasul saw.,anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil. Sedang empat perlima (80 persen) dibagikan kepada mereka yang ikut berperang”
Menurut Imam Abu Ubaid, yang dimaksud khums bukan hanya hasil rampasan perang tetapi juga barang temuan dan barang tambang.
4. Jizyah
Jizyah berupa pajak yang dibayar oleh kalangan nonmuslim sebagai kompensasi atas fasilitas sosial-ekonomi, layanan kesejahteraan, serta jaminan keamanan yang mereka terima dari negara Islam. Jizyah sama dengan poll tax karena kalangan nonmuslim tidak mengenal zakat fitrah. Jumlah yang harus dibayar sama dengan jumlah minimum yang dibayarkan oleh pemeluk Islam. Di zaman Rasulullah SAW, besarnya jizyah adalah 1 dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Jizyah tidak ditetapkan dengan suatu jumlah tertentu, selain diserahkan kepada kebijakan dan ijtihad khalifah, dengan catatan tidak melebihi kemampuan orang yang berhak membayar ijtihad.
ADVERTISEMENT
Dari Ibnu Abi Najih yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Mujahid: Apa alasannya penduduk Syam dikenakan 4 (empat) dinar, sedangkan penduduk Yaman hanya 1 (satu) dinar? Mujahid menjawab: Hal itu hanyalah untuk mempermudah” (H.R. Bukhari)
Kewajiban membayar jizyah ini juga diatur dalam Qur’an surat At-Taubah: 29,
… حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“…sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk”.
5. ‘Usyur
Dalam hal ini ‘usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam atau datang dari negara Islam itu sendiri. Pajak ini berbentuk bea impor yang dikenakan pada semua perdagangan, dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.
ADVERTISEMENT
Permulaan ditetapkannya ‘usyur di negara Islam adalah pada masa khalifah Umar bin Khatab dengan alasan penegakan keadilan, karena ‘usyur dikenakan kepada pedagang muslim ketika mereka mendatangi daerah asing. Dalam rangka penetapan yang seimbang maka Umar memutuskan untuk memperlakukan pedagang nonmuslim dengan perlakuan yang sama jika mereka memasuki negara Islam. Tempat berlangsungnya pemungutan ‘usyur adalah pos perbatasan negara Islam, baik pintu masuk maupun pintu keluar layaknya bea cukai pada zaman ini.
6. Nawaib/Daraib (Erfanie, 2005)
Merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara untuk menanggung beban kesejahteraan sosial atau kebutuhan dana untuk situasi darurat. Pajak ini dibebankan pada kaum muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan hal ini terjadi pada masa perang Tabuk. Pajak ini dimasukkan dalam Baitul Maal, dan dasar hukum atas kewajiban ini adalah Q.S. Ar-Ruum: 38,
ADVERTISEMENT
فَئَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(AAG)