Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
5 Cerita Abu Nawas yang Lucu dan Penuh Makna
8 Februari 2023 13:23 WIB
·
waktu baca 13 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Cerita Abu Nawas sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Meski umumnya mengandung unsur humor yang mengundang tawa, cerita-cerita dari sang pujangga tersebut tetap menyimpan makna mendalam yang dapat dipelajari umat Muslim
ADVERTISEMENT
Abu Nawas adalah salah seorang penyair Arab klasik paling terkenal. Pria bernama lengkap Abu Ali al-Hasan bin Hani' al-Hakami ini dikenal humoris, cerdik, dan agak nakal. Selama hidupnya, ia telah menciptakan banyak karya yang digolongkan dalam humor sufi.
Mengutip buku Celupkan Hatimu ke Samudera Rindu-Nya: The Wisdom of Abu Nawas karangan Ahmad Abu Nizar, Abu Nawas terkenal dengan puisinya yang jenaka dan mengupas kehidupan perkotaan, khususnya soal kenikmatan anggur (khamriyyat) dan humor cabul (mujuniyyat).
Karakter karyanya yang baru dan unik membuat Abu Nawas kian tersohor, bahkan ia sempat menjadi penyair istana (Sya'ir al-bilad). Sampai sekarang, kisah humor Abu Nawas diceritakan turun-temurun di seluruh dunia.
Penasaran bagaimana kisah-kisah pujangga paling tersohor itu? Dikutip dari buku Kisah Lucu Kecerdasan Abu Nawas oleh Sukma Hadi Wiyanto, berikut 10 cerita Abu Nawas yang lucu dan menghibur tapi penuh makna.
ADVERTISEMENT
Cerita Abu Nawas
1. Mencari Neraka
Di setiap sudut rumah dia berhenti, celingak celinguk kanan-kiri, sambil tangannya yang membawa lampu minyak digoyang-goyangkan. Setelah itu dia kembali berjalan dengan lampu tetap di tangan.
Tingkah Abu Nuwas ini tentu saja menggegerkan penghuni Baghdad. Bagaimana mungkin orang secerdas Abu Nuwas berjalan di siang hari ketika sinar matahari menyorot tajam sambil membawa lampu?
"Abu Nuwas mulai gila," kata seorang warga Baghdad.
"Khalifah Harun Al-Rasyid pasti malu punya staf ahli gila," celetuk yang lain.
Tapi Abu Nuwas tak peduli. Esok harinya lagi-lagi pujangga Baghdad itu keluar rumah, kali ini bahkan lebih pagi, sambil tetap membawa lampu minyak. Dia tak bersuara dan terus bekerja: celingak-celinguk kanankiri, sambil tangannya yang membawa lampu minyak digoyang-goyangkan.
ADVERTISEMENT
Di hari kedua itu, beberapa orang masih menganggap Abu Nuwas waras. Makanya mereka bertanya apa yang dicari Abu Nuwas di siang hari dengan lampu di tangan. Abu Nuwas menjawab singkat:
"Saya sedang mencari neraka."
Ah, Abu Nuwas mulai gila, pikir mereka. Maka, ketika di hari ketiga Abu Nuwas tetap melakukan hal yang sama: celingak-celinguk kanan-kiri di rumah orang, sambil tangannya yang membawa lampu minyak digoyang-goyangkan, orang-orang mulai tak sabar.
Undang-undang Baghdad melarang orang gila berkeliaran. Berbahaya. Seseorang bisa membunuh orang lain dengan berpura-pura gila, atau mengintip orang mandi dengan pura-pura gila.
Karena itu cerita selanjutnya mudah ditebak: Abu Nuwas ditangkap lalu diserahkan ke istana. Sejumlah musuh politik Harun Al-Rasyid malah gembira, kegilaan Abu Nuwas bisa mereka "goreng" untuk menyudutkan wibawa khalifah.
ADVERTISEMENT
Benar saja, khalifah Harun malu bukan main lalu bertanya dengan nada keras:
"Abu Nuwas, apa yang kamu lakukan dengan lampu minyak itu siang-siang?"
"Hamba mencari neraka, paduka yang mulia," jelas Abu Nuwas lancar, tak ada tanda-tanda dia gila.
"Kamu gila, Abu Nuwas. Sohih, kamu gila!"
"Tidak paduka, merekalah yang gila."
"Siapa mereka?"
Abu Nuwas lalu meminta orang-orang yang tadi menangkap dan menggiring dirinya menuju istana dikumpulkan di depan istana. Jumlah mereka ribuan ya siapa orangnya yang tak menuduh Abu Nuwas gila jika khalifah sendiri menduganya gila? Setelah mereka berkumpul di depan istana, Abu Nuwas didampingi khalifah Harun mendatangi mereka.
"Wahai kalian yang mengaku waras," teriak Abu Nuwas kepada orang-orang di depannya, "apakah kalian selama ini menganggap orang lain yang berbeda pikiran dan berbeda pilihan dengan kalian adalah munafik?"
ADVERTISEMENT
"Benaaaaar."
"Apakah kalian juga yang menyatakan para munafik itu sesat?"
"Betuuuuuul. Dasar sesat!"
"Jika mereka munafik dan sesat, apa konsekuensinya?"
"Hai Abu Nuwas, kamu gila ya? Orang munafik pasti masuk neraka! Dasar munafik, kamu!"
"Baik, jika saya munafik, sesat, dan masuk neraka, di mana neraka yang kalian maksud? Punya siapa neraka itu?" jawab Abu Nuwas dengan tenang, sambil kali ini lampu di tangannya diangkat tinggi-tinggi seolah dia mencari sesuatu.
Kali ini orang-orang di depan khalifah Harun mulai tak sabar. Mereka merasa diledek dengan mimik Abu Nuwas dan lampu di tangannya.
"Hai Abu Nuwas, tentu saja neraka ada di akhirat dan itu milik Allah. Kenapa kamu tanya?"
"Paduka, mohon maaf," kata Abu Nuwas kepada khalifah Harun. "Tolong sampaikan pada mereka, jika neraka ada di akhirat dan yang punya neraka itu adalah Allah, kenapa mereka di dunia ini gemar menentukan orang lain masuk neraka? Apakah mereka asisten Allah yang tahu bocoran catatan Allah? Atau jangan-jangan merekalah yang gila?"
ADVERTISEMENT
Ha-haaa-ha ... Khalifah Harun Al-Rasyid tertawa kecil. Di matanya Abu Nuwas tetaplah lelaki jenaka. Dia lalu berkata sambil tertawa: "Abu Nuwas, besok siang lanjutkan mencari neraka. Jika sudah ketemu, jebloskan orang-orang ini ke dalamnya."
2. Tingkatan Mata, Tingkatan Otak, Tingkatan Hati
Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit. Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu.
Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya, "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.
ADVERTISEMENT
"Mengapa?" kata orang pertama.
"Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu. Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang kedua.
"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.
Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama."Manakah yang iebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa' besar." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang ketiga.
ADVERTISEMENT
"Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima alasan Abu Nawas.
Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas. Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya. "Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?"
"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati."
"Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu
"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.
"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.
"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah."
ADVERTISEMENT
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda, la bertanya lagi.
"Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?" "Mungkin." jawab Abu Nawas.
"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu. "Dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa." kata Abu Nawas
"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta murid Abu Nawas
"Doa itu adalah : llahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi."
Sedangkan arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.
ADVERTISEMENT
Melihat kisah diatas bahwa Abu Nawas menunjukkan kecerdasannya, dan kerendahan hatinya kepada Allah Swt.
3. Menanti Raja
Pada suatu sore ketika Abu Nawas ke warung teh, kawan-kawannya sudah lebih dulu berada di sana. Ternyata mereka sengaja menunggu Abu Nawas.
“Nah ini dia Abu Nawas datang”, kata salah seorang dari mereka.
“Ada apa?” kata Abu Nawas sambil memesan secangkir teh hangat.
“Kami tahu engkau selalu bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap Raja Harun Al-Rasyid. Tetapi kami yakin kali ini engkau pasti dihukum baginda raja bila engkau melakukannya”, kawan-kawan Abu Nawas membuka percakapan.
“Apa yang harus kutakutkan. Tidak ada sesuatu apapun yang perlu ditakuti kecuali Allah SWT”, kata Abu Nawas menentang.
“Selama ini belum pernah ada seorangpun di negeri ini yang berani memantati Baginda Raja Harun Al-Rasyid. Bukankah begitu hai Abu Nawas?” tanya kawan Abu Nawas.
ADVERTISEMENT
“Tentu saja tidak ada yang berani melakukan hal itu karena itu adalah pelecehan yang amat berat, siapa saja yang melakukannya pasti akan dipancung”, kata Abu Nawas memberitahu.
“Itulah yang ingin kami ketahui darimu. Beranikah engkau melakukannya?” tanya temannya yang lain.
“Sudah kukatakan bahwa aku hanya takut kepada Allah SWT saja. Sekarang apa taruhannya bila aku bersedia melakukannya?” Abu Nawas balik bertanya.
“Seratus keping uang emas. Selain itu, baginda harus tertawa pada saat engkau pantati," tantang mereka.
Bukan Abu Nawas namanya jika tidak bisa menyelesaikan suatu masalah. Ia menyanggupi tawaran yang amat berbahaya itu dan kembali pulang ke rumahnya.
Kawan-kawan Abu Nawas merasa tidak yakin Abu Nawas sanggup untuk memantau baginda dan membuat baginda raja tertawa. Karena tantangan ini sangat berat, maka kali ini Abu Nawas pun harus berhadapan dengan algojo pemenggal kepala.
ADVERTISEMENT
Minggu depannya, Baginda Raja Harun Al-Rasyid akan mengadakan jamuan kenegaraan. Para menteri, pegawai istana, dan orang-orang dekat baginda diundang, termasuk juga Abu Nawas. Abu Nawas merasa hari-hari berlalu dengan cepat karena ia harus menciptakan jalan keluar yang paling aman bagi keselamatan lehernya dari pedang algojo. Tetapi bagi kawan-kawan Abu Nawas hari-hari terasa amat panjang. Karena mereka sudah tidak sabar menunggu pertaruhan yang amat mendebarkan itu.
Persiapan-persiapan di halaman istana sudah dimulai. Baginda raja menginginkan acara itu akan digelar dengan meriah. Baginda tidak ingin mengecewakan para tamunya, terkhusus untuk raja-raja dari negeri sahabat yang datang.
Akhirnya hari yang dijanjikan telah tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu Nawas. Kawan-kawan Abu Nawas yang menyaksikan dari jauh merasa kecewa karena Abu Nawas tidak hadir. Namun ternyata mereka keliru, Abu Nawas bukan tidak datang, tetapi terlambat sehingga Abu Nawas duduk ditempat yang paling belakang.
ADVERTISEMENT
Ceramah-ceramah yang mengesankan mulai disampaikan oleh para ahli pidato. Kemudian giliran Baginda Raja Harun Al-Rasyid menyampaikan pidatonya. Setelah menyampaikan pidato, baginda melihat Abu Nawas duduk sendirian ditempat yang tidak ada karpetnya. Karena merasa heran baginda bertanya, “Mengapa engkau tidak duduk diatas karpet?”
“Paduka yang mulia, hamba haturkan terima kasih atas perhatian baginda. Hamba sudah merasa bahagia duduk di sini," kata Abu Nawas.
“Wahai Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet nanti pakaiannmu kotor karena duduk di atas tanah,” baginda raja menyarankan.
“Ampun tuanku yang mulia, sebenarnya hamba ini sudah duduk di atas karpet," jawab Abu Nawas dengan santai.
Baginda bingung mendengar pengakuan Abu Nawas. Karena baginda melihat sendiri Abu Nawas duduk diatas lantai.
ADVERTISEMENT
“Karpet yang mana yang engkau maksudkan itu wahai Abu Nawas?” tanya baginda masih bingung.
“Karpet hamba sendiri tuanku yang mulia. Sekarang hamba selalu membawa karpet ke manapun hamba pergi,” tata Abu Nawas seolah-olah menyimpan misteri.
“Tetapi sejak tadi aku belum melihat karpet yang engkau bawa," kata baginda raja bertambah bingung.
“Baiklah baginda yang mulia, kalau memang ingin tahu maka dengan senang hati hamba akan menunjukkan kepada paduka yang mulia,” kata Abu Nawas sambil beringsut-ringsut kedepan.
Setelah cukup dekat dengan Baginda, Abu Nawas berdiri kemudian menungging menunjukkan potongan karpet yang ditempelkan dibagian pantatnya. Abu Nawas kini seolah-seolah memantati Baginda Raja Harun Al-Rasyid. Melihat ada sepotong karpet menempel dipantat Abu Nawas, Baginda Raja tak bisa membendung tawa sehingga beliau terpingkal-pingkal diikuti oleh para tamu yang datang.
ADVERTISEMENT
Menyaksikan kejadian yang menggelikan itu kawan-kawan Abu Nawas merasa kagum. Mereka harus rela melepas seratus keping uang emas untuk Abu Nawas.
4. Menjual Matahari
Sejumlah penduduk Baghdad berkumpul di depan istana Khalifah Harun Al-Rasyid. Sebagian kasak-kusuk tak jelas, sebagian lagi berteriak-teriak menuntut Abu Nuwas ditangkap.
Mereka protes baliho raksasa milik Abu Nuwas yang dipasang di depan rumahnya: “Dijual Cepat: Matahari Baghdad; Siapa Cepat Dapat Bonus Anak Onta”.
Penduduk yang kasak-kusuk di depan istana itu rata-rata panik jika Matahari Baghdad jadi dijual. Bagaimana mungkin mereka bisa hidup berlama-lama di kolong langit Baghdad tanpa Matahari?
Jika pindah ke Zakhu, mereka khawatir daerah in tertinggal, infrastruktur di sana kurang canggih dibanding infrastruktur di Baghdad. Pindah ke Bakhtaran enak, tak jauh dari Baghdad, tapi bahasa penduduk di sana sulit dipelajari. Pokoknya pindah ke luar Baghdad adalah problem, bertahan di Baghdad tanpa Matahari juga bukan perkara gampang.
ADVERTISEMENT
“Abu Nuwas, antum serius mau menjual Matahari?’’ tanya khalifah sambil mengamati massa yang terus membludak di depan istananya.
“Benar baginda, supaya kita bisa ikut cara mereka menggunakan otak.’’
“Maksud antum?” tanya khalifah kaget.
“Begini baginda, apakah antum senang infrastruktur di Baghdad terbangun hebat di zaman baginda? Baginda bangga bisa menjadi teladan buat rakyat bahwa selama menjabat jadi khalifah bagida tidak korupsi? Baginda senang tidak mempertontonkan keserakahan dengan menguasai ratusan ribu hektar padang pasir, padahal baginda bisa melakukannya dengan kekuasaan yang sekarang baginda genggam?’’
“Abu Nuwas, coba ke inti masalah!”
“Jika baginda turun dan tanya massa yang sekarang berdemonstrasi itu, ketahuilah bahwa mereka akan menjawab buat apa bangun infrastruktur, infrastruktur tidak bisa dimakan! Jadi, jalan-jalan mulus yang baginda bangun selama ini, puluhan bendungan yang baginda banggakan, lapangan terbang, rel kereta api di Khorramabad, pasar-pasar di Kirkuk, itu semua percuma, tak bisa dimakan!’’
ADVERTISEMENT
Khalifah Harun Al-Rasyid terdiam.
‘’Baginda bangga tidak korupsi? Anak baginda jual pisang goreng? Itu malah membuat mereka marah dan cemburu. Buat mereka baginda mestinya korupsi agar mereka tak repot-repot lagi bikin isu tak masuk akal, misalnya baginda keturunan Mongolia, baginda memusuhi ulama, baginda membiarkan partai Ba’ts yang sudah dilarang tumbuh lagi, wah pokoknya banyak baginda …’’
“Lalu apa hubungannya dengan menjual Matahari?’’
Dengan pelan-pelan Abu Nuwas kemudian menjelaskan bahwa apa yang dianggap Khalifah Harun sebagai prestasi nasional tapi justru dianggap pemborosan dan membebani negara adalah karena mereka terbiasa melihat semua prestasi yang ada di ruang gelap. Di ruang gelap, gadis cantik tak terlihat, sebatang emas bisa dianggap besi. Apalagi jika cara melihatnya sambil bergelantungan.
ADVERTISEMENT
“Tapi, kalau pun mata mereka tak melihat di ruang gelap, bukankah telinga mereka mendengar, hati mereka terbuka? Bagaimana mungkin mereka menuduhku memusuhi ulama padahal wakilku sekarang adalah ulama besar? Jika pun mereka tak suka aku, bukankah kepada mereka sekarang aku sodorkan ulama yang dulu mereka klaim mereka bela? Mengapa sekarang mereka tinggalkan?’’
“Baginda, itulah enaknya melihat dunia di ruang gelap sambil terbalik. Kita bisa menikmati apa yang mereka nikmati selama ini. Baginda tidak capek berpikir rasional?”
Khalifah terdiam.
‘’Percayalah baginda, hanya dengan melihat segala sesuatu di kegelapan, baginda akan paham mengapa selama ini mereka melihat infrastruktur megah, pemerataan pembangunan di daerah tertinggal, … semuanya sama sekali tak berguna karena tak bisa dimakan. Mohon jangan katakan ‘’infrastruktur memang tak bisa dimakan, tapi dengan infrastruktur kita semakin mudah cari makan’’ itu cara berpikir rasional dan normal, paduka … ’’
ADVERTISEMENT
Massa di luar istana makin membludak, tapi Khalifah kali ini diam saja. Dia memberi isyarat membenarkan Abu Nuwas.
“Jadi, boleh saya jual Matahari?”
Besok Baghdad gelap. Banyak rakyat bergelantungan. Aspal di jalan terlihat ketan.
5. Jalan ke Neraka
Suatu ketika Abu Nawas ditanya seseorang, "Kapan kamu mati?
"Maaf, barang kali Tuan bisa memberikan penjelasan sedikit terkait dengan pertanyaan Tuan tadi,' pinta Abu Nawas yang ternyata juga bisa menampilkan mimic serius.
"Begini, kalau kamu mati saya mau titip surat buat mendiang ayah saya yang telah mati beberapa tahun yang lalu," sambungnya.
"Terimakasih sebelumnya atas kepercayaan Tuan," jawab Abu Nawas, "Tapi maaf sekali, dengan sangat terpaksa keinginan Tuan tidak bisa kupenuhi.
"Kenapa?" Tanya Tuan kepada Abu Nawas.
ADVERTISEMENT
Lalu Abu Nawas menjawab, "Sebab aku tak tahu jalan ke neraka Jahannam."
Mendadak wajah orang itu merah padam, dan sambil merunduk ia pun segera pergi.
Pertanyaan yang nyelekit dari Tuan kepada Abu Nawas, dijawab lebih nyelekit oleh Abu Nawas, itulah pintarnya Abu Nawas dalam kondisi yang seperti itu bisa membalasnya dengan cerdas dan penuh makna.
(ADS)