Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
9 Tradisi Menyambut Bulan Ramadan dari Berbagai Daerah di Indonesia
4 Februari 2025 23:09 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, Indonesia memiliki beragam tradisi dalam menyambut Ramadan. Tradisi tersebut tidak hanya menjadi bagian dari persiapan puasa selama satu bulan penuh, tetapi juga cerminan kekayaan budaya Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di beberapa daerah, tradisi ini dilakukan melalui ritual keagamaan, seperti doa bersama atau ziarah ke makam leluhur. Ada juga sebagian daerah yang menyambut Ramadan dengan kegiatan sosial seperti makan bersama dan mengadakan pawai.
Meski setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda, tetapi kegiatan yang dilakukan memiliki tujuan yang sama, yaitu memperkuat hubungan antarindividu serta hubungan dengan Allah SWT.
Tradisi Menyambut Bulan Ramadan
Umat Islam di Indonesia selalu menyambut bulan Ramadan dengan penuh kegembiraan. Setiap daerah di Indonesia memiliki cara khas masing-masing dalam merayakan datangnya bulan suci ini.
Berbagai tradisi yang ada dilakukan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari upaya untuk melestarikan budaya serta adat istiadat yang telah lama ada. Berdasarkan buku Tradisi Unik Ramadan Nusantara yang diterbitkan oleh Badan Informasi Spasial, berikut ini beberapa tradisi menyambut Ramadan dari berbagai daerah di Indonesia:
ADVERTISEMENT
1. Suru Maca atau Suro' Maca (Sulawesi Selatan)
Suru Maca atau dikenal juga sebagai Suro' Maca adalah tradisi khas masyarakat Bugis-Makassar yang dijalankan menjelang bulan Ramadan. Secara harfiah, istilah ini berarti "meminta doa.
Suru’/Suro’ berarti meminta dan Maca berarti membaca doa. Tradisi ini biasanya dilakukan sekitar satu pekan sebelum bulan Ramadan dimulai dan menjadi bagian dari persiapan spiritual masyarakat untuk menyambut bulan suci.
Tradisi Suru Maca dilakukan dengan cara mengirimkan doa kepada leluhur yang telah meninggal dunia. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang, ritual ini juga bertujuan untuk membersihkan jiwa dan rohani sebelum melaksanakan ibadah puasa.
Menurut sejarah, tradisi ini telah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Bugis-Makassar dan tetap dilestarikan, terutama di daerah pedesaan. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh keluarga besar secara bersama-sama, menjadikannya momen untuk mempererat hubungan keluarga sekaligus merenungi makna Ramadan.
ADVERTISEMENT
2. Meugang (Aceh)
Meugang adalah tradisi unik masyarakat Aceh dalam menyambut Ramadan. Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman Kesultanan Aceh, khususnya di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607–1636).
Kata "Meugang" berasal dari istilah lokal "makmu that gang nyan," yang secara harfiah berarti "makmur sekali pasar itu." Istilah ini muncul karena suasana pasar yang ramai dan penuh dengan aktivitas jual beli menjelang Ramadan.
Awalnya, tradisi Meugang dilakukan oleh para uleebalang (bangsawan Aceh) sebagai bentuk berbagi rezeki. Mereka membagikan makanan, pakaian, dan daging sapi kepada kaum dhuafa, anak yatim, dan fakir miskin. Tujuannya adalah untuk memastikan semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang kurang mampu, dapat menikmati makanan bergizi saat Ramadan tiba.
Daging sapi yang disembelih dalam tradisi ini dibagikan secara merata kepada masyarakat, sehingga setiap keluarga memiliki kesempatan untuk menikmati hidangan istimewa, seperti gulai atau rendang, pada hari pertama Ramadan. Tradisi Meugang juga dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
ADVERTISEMENT
3. Pawai Tanglong dan Bagarakan Sahur (Kalimantan Selatan)
Di Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin, ada dua tradisi khas Ramadan yang selalu dinanti-nantikan, yaitu Pawai Tanglong dan Bagarakan Sahur. Keduanya menjadi bagian penting dari semarak Ramadan di daerah ini.
Pawai Tanglong merupakan tradisi menyalakan lampu lampion pada malam ke-21 Ramadan. Kegiatan ini dilakukan untuk menyambut malam Lailatul Qadar yang diyakini sebagai malam penuh berkah. Lampion-lampion ini hadir dalam berbagai bentuk dan ukuran, melambangkan cahaya yang senantiasa bersinar di malam-malam terakhir bulan Ramadan.
Tradisi ini biasanya dimulai setelah salat Isya, di mana masyarakat berkumpul untuk berpartisipasi dalam pawai. Lampion-lampion tersebut diarak mengelilingi kota atau kampung, menciptakan suasana yang meriah sekaligus khidmat.
Sementara itu, Bagarakan Sahur adalah tradisi membangunkan warga untuk bersantap sahur dengan cara memukul berbagai peralatan rumah tangga, seperti panci, ember, atau gong kecil. Tradisi ini sudah ada sejak lama dan menjadi cara unik masyarakat Kalimantan Selatan untuk saling mengingatkan pentingnya sahur sebelum menjalankan ibadah puasa.
ADVERTISEMENT
Bagarakan Sahur dilakukan oleh kelompok pemuda atau komunitas di lingkungan tertentu. Biasanya, mereka akan berjalan berkeliling kampung sambil memukul alat-alat dengan ritme tertentu, menciptakan suasana yang ramai dan penuh semangat.
4. Nyorog (Tradisi Silaturahmi di Jakarta)
Suku Betawi, sebagai masyarakat asli Jakarta, memiliki tradisi yang kaya dan penuh makna. Salah satu tradisi yang terus dilestarikan hingga kini adalah Nyorog. Tradisi ini biasanya dilakukan dengan memberikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua, seperti orang tua atau mertua, serta tokoh masyarakat setempat.
Bingkisan yang diberikan dalam tradisi Nyorog beragam, mulai dari makanan khas Betawi hingga bahan makanan pokok seperti beras, gula, atau minyak. Tradisi ini menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi, terutama bagi keluarga yang tinggal berjauhan.
ADVERTISEMENT
Nilai yang terkandung dalam Nyorog sangat erat kaitannya dengan konsep kebersamaan dan kekeluargaan, di mana penghormatan kepada orang tua menjadi hal yang utama.
Selain membawa makanan, tradisi ini juga sering disertai dengan doa bersama untuk memohon kelancaran dalam menjalankan ibadah selama Ramadan.
5. Cucurak (Jawa Barat)
Di Jawa Barat, masyarakat Sunda memiliki tradisi yang unik untuk menyambut Ramadan, yaitu Cucurak. Dalam bahasa Sunda, Cucurak berarti bersenang-senang dan berkumpul bersama keluarga besar atau kerabat. Tradisi ini biasanya dilakukan dengan makan bersama secara lesehan, menggunakan daun pisang sebagai alas. Hidangan yang disajikan pun sederhana tetapi penuh makna, seperti nasi liwet, ikan asin, tempe, sambal, dan lalapan.
Cucurak bukan hanya sekadar acara makan bersama, tetapi juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan bersyukur atas nikmat rezeki yang diberikan oleh Tuhan. Tradisi ini juga mengajarkan pentingnya berbagi kebahagiaan dengan orang terdekat.
ADVERTISEMENT
6. Padusan (Yogyakarta)
Masyarakat Yogyakarta memiliki tradisi unik bernama Padusan. Istilah ini berasal dari kata "padus" dalam bahasa Jawa yang berarti mandi. Padusan biasanya dilakukan di tempat-tempat pemandian umum, seperti sungai, mata air, atau kolam, yang dianggap memiliki air bersih dan suci.
Padusan tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas fisik untuk membersihkan tubuh, tetapi juga sebagai momen introspeksi diri dan refleksi spiritual. Tradisi ini juga menjadi pengingat untuk merenungi perjalanan hidup, memperbaiki diri, dan meningkatkan kualitas keimanan.
7. Marpangir (Sumatra Utara)
Di Sumatra Utara, terdapat tradisi Marpangir yang dilakukan oleh beberapa komunitas masyarakat untuk menyambut bulan Ramadan. Marpangir adalah tradisi mandi menggunakan bahan-bahan alami, seperti daun pandan, bunga mawar, kenanga, daun serai, jeruk purut, dan akar wangi. Bahan-bahan ini digunakan untuk memberikan aroma wangi yang khas, sekaligus membersihkan tubuh secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Makna di balik tradisi Marpangir sangat mendalam. Selain membersihkan tubuh, tradisi ini juga diyakini sebagai cara untuk menyucikan jiwa dan raga sebelum menjalankan ibadah puasa. Aroma wewangian yang dihasilkan dari bahan alami tersebut dipercaya dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan, sehingga membantu umat Islam mempersiapkan diri secara spiritual.
8. Mattunu Solong (Sulawesi Barat)
Salah satu tradisi yang dilakukan untuk menyambut Ramadan di Sulawesi Barat, tepatnya di wilayah Polewali Mandar, adalah Mattunu Solong. Tradisi ini melibatkan proses penyalakan pelita tradisional yang terbuat dari buah kemiri yang ditumpuk dengan kapuk dan dililitkan pada potongan bambu. Pelita-pelita ini kemudian ditempatkan di berbagai tempat seperti pagar, halaman rumah, anak tangga, pintu masuk, dan dapur.
Tradisi ini dilakukan dengan harapan mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa dalam menyambut datangnya bulan Ramadan. Selain itu, masyarakat yang melaksanakan tradisi ini juga memohon agar diberikan kesehatan dan umur panjang, sehingga mereka dapat menjalankan ibadah puasa dengan lancar dan penuh keberkahan.
ADVERTISEMENT
9. Megibung (Bali)
Di Bali, tepatnya di Kabupaten Karangasem, terdapat tradisi unik yang dikenal dengan nama Megibung. Tradisi ini mengedepankan kebersamaan dalam menyambut Ramadan, di mana keluarga atau kelompok berkumpul untuk memasak dan makan bersama.
Yang menarik dari tradisi Megibung adalah cara penyajian dan penataan makanan yang sangat khas. Nasi yang telah dimasak akan diletakkan di sebuah wadah besar yang disebut gibungan, sementara lauk-pauk disajikan di atas alas karangan, tempat makanan diletakkan bersama-sama untuk dimakan secara bergotong-royong.
Dalam tradisi ini, setiap orang duduk melingkar di sekitar hidangan dan menikmati makanan secara bersama-sama tanpa piring atau sendok. Hal ini mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan, saling berbagi, dan kebersamaan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali, khususnya dalam mempererat tali silaturahmi di bulan suci Ramadan.
ADVERTISEMENT
(DR)