Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Apa Itu Tone Deaf yang Ramai di Media Sosial? Ini Penjelasannya
23 Agustus 2024 9:43 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, istilah tone deaf kembali berseliweran di media sosial , terutama X dan Instagram. Ini memang bukan istilah baru dalam khazanah bahasa gaul, tapi masih banyak yang belum tahu apa itu tone deaf.
ADVERTISEMENT
Secara harfiah, terjemahan tone deaf berarti tuli nada atau buta nada. Namun, penggunaannya di media sosial sering kali bukan dalam konteks musik, tapi untuk mengkritik opini seseorang.
Saat melihat masyarakat kelas atas melemparkan opini yang tidak peka terhadap situasi publik di media sosial, warganet akan berbodong-bodong menulis ‘tone deaf’ di kolom komentarnya. Untuk lebih memahami makna tone deaf dalam konteks kehidupan sosial, simak pembahasan selengkapnya berikut ini.
Apa Itu Tone Deaf?
Merujuk laman Dictionary, setidaknya ada tiga arti dari tone deaf. Arti pertama adalah tidak dapat membedakan nada musik ketika memproduksi atau mendengar sebuah lagu.
Makna kedua, tone deaf diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memahami sentimen, sikap, atau preferensi publik. Sedangkan makna terakhir adalah kurang wawasan emosional, tidak sensitif atau tidak simpatik terhadap orang lain.
ADVERTISEMENT
Makna kedua dan ketiga itulah yang sering menjadi maksud warganet di media sosial. Ketika melihat kelompok masyarakat yang dilimpahi kemewahan (privilege) beropini terhadap isu sosial, tapi menunjukkan ketidak-pekaan terhadap kondisi rakyat kecil, mereka akan disebut tone deaf.
Namun, tone deaf tidak selalu merujuk pada orang yang berkelimpahan. Siapa pun yang melakukan tindakan atau melontarkan opini bernada tidak simpati terhadap orang lain, masuk dalam kategori tone deaf.
Hanya saja, sikap tidak simpati memang lebih sering ditunjukkan oleh kelompok orang kaya. Mengutip Scientific American, saat seseorang menaiki tangga sosial, perasaan empati mereka terhadap orang lain jadi menurun.
Hal tersebut dibuktikan psikolog Berkeley Paul Piff dan Dacher Keltner dalam studinya yang berjudul Higher social class predicts increased unethical behavior.
Di dalam studi tersebut ada banyak ekperimen yang mereka lakukan. Salah satunya adalah mengamati pengemudi mobil mewah dan menemukan bahwa mereka cenderung menyalip pengendara lain di jalan.
ADVERTISEMENT
Ketika berhadapan dengan pejalan kaki yang ingin menyebrang, pengemudi mobil mewah juga cenderung melaju duluan meskipun mereka sudah kontak mata dengan pejalan kaki itu.
Sebaliknya, pengemudi mobil tua dan murah lebih sering berhenti di depan pejalan kaki yang sedang berupaya menyeberang. Tujuannya tentu saja untuk memberi kesempatan pada mereka agar menyebrang dengan aman.
Dalam studi lain berjudul Social Class, Contextualism, and Empathic Accuracy susunan Michael W. Krauss dkk juga ditemukan bahwa orang-orang yang kelas ekonominya rendah bisa lebih baik dan akurat dalam mengidentifikasi emosi orang lain. Dengan kata lain, mereka lebih berempati.
Namun, adanya studi ini tidak lantas menjadi afirmasi untuk menggeneralisasi kelompok sosial tertentu, apalagi mencap seluruh kaum kelas atas sebagai tone deaf. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang kompleks, dan sifat tidak peka atau tone deaf bisa dialami oleh siapa saja.
ADVERTISEMENT
(DEL)